Demo Mahasiswa: Dialektika Isi dan Bentuk

Oleh Eka Putra Nggalu*

Pada Kamis, 26/9/2019, elemen-elemen mahasiswa di Maumere yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Gerakan Kerakyatan (AMGK) Kabupaten Sikka menggelar aksi demonstrasi/turun ke jalan. Demonstrasi tersebut merupakan bentuk penolakan mahasiswa terhadap UU KPK hasil revisi dan beberapa RUU lainnya yang dinilai diskriminatif.

Aksi mahasiswa di Maumere ini merupakan bagian dari gelombang protes mahasiswa yang pertama kali terjadi di Jakarta dan beresonansi ke berbagai daerah di Indonesia, di antaranya di Riau, Bandung, Makassar, Kupang, hingga Papua. Para mahasiswa dari berbagai daerah bergabung dalam solidaritas yang sama, melawan keputusan legislatif yang dinilai mengancam penegakkan demokrasi di Indonesia.

Mereka menuntut Presiden RI Joko Widodo untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang KPK dan membatalkan beberapa rancangan undang-undang yang dinilai akan mendiskriminasi rakyat Indonesia,

Para mahasiswa itu berteriak lantang di jalan-jalan sepanjang nusantara. Mereka ingin didengarkan. Sebab mereka percaya. Di sebuah negara demokrasi seperti Indonesia, suara rakyat adalah suara Tuhan.

iklan

Di tengah gelombang protes dari berbagai elemen mahasiswa, pihak kampus di berbagai daerah mengeluarkan surat edaran berisi larangan terhadap mahasiswa untuk terlibat dalam demonstrasi. Di NTT, beberapa kampus seperti UNIPA, UNWIRA Kupang, dan UNDANA mengancam akan mengenakan sanksi bagi elemen civitas akademika-nya yang terlibat demonstrasi. 

Hal ini kemudian diikuti oleh peraturan Menristek Dikti dan Menteri Pendidikan yang secara terang-terangan meminta pihak kampus dan sekolah-sekolah menengah atas untuk segera melarang keterlibatan mahasiswa dalam demonstrasi yang marak merebak beberapa pekan terakhir.

Dalam skala yang lebih global, beberapa opini berusaha mempertentangkan antara isi dan bentuk dari berbagai gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan.

Hans Hayon dalam opininya berjudul Mempertanyakan Bentuk Gerakan Mahasiswa yang (dipublikasikan di nalarpolitik.com)secara terang-terangan menyampaikan dukungannya terhadap berbagai gerakan mahasiswa yang terjadi belakangan. Meski demikian, ia mempertanyakan, mengapa substansi yang demikian penting tersebut disuarakan dengan cara-cara yang anarkis dalam demonstrasi?

Secara lebih radikal Hans Hayon mengimpikan adanya gerakan ideologis tepat ketika di mana-mana basis massa justru tidak punya ideologi, atau kalaupun punya, ideologinya tidak jelas dan sekadar spontanitas.

Menurutnya, gerakan mahasiswa saat ini mengkooptasi bentuk gerakan yang persis sama dengan apa yang terjadi pada 1998. Akibatnya, gerakan mahasiswa cenderung tersandera isu-isu yang dimainkan elite politik yang menyetir media massa nasional.

Menurutnya, gerakan massa yang ideal haruslah ideologis, dan tepat jika gerakan mahasiswa hari ini mampu menghubungkan dan membangun kembali atau melampaui perjuangan politik rakyat yang terbentuk pada 1912-1965. Tidak hanya bergerak dalam dunia maya seperti halnya ‘gerakan’ petisi ‘online’.

Selain itu Hans Hayon juga menekankan pentingnya kajian ilmiah atau aktivitas intelektual yang mendahului sebuah gerakan. Menurutnya, setiap gerakan haruslah dilakukan dalam kerangka kerja seorang ahli.

Hatib Abdul Kadir dalam opininya di Jawa Pos berjudul Demonstrasi tanpa Pemimpin, menilai tuduhan gerakan protes mahasiswa sebagai ditunggangi jelas merupakan bagian dari teori konspirasi. Tidak adanya pemimpin pemersatu menunjukkan bahwa gerakan itu lahir dari kolektivitas perasaan antarmanusia yang tidak saling terhubung satu sama lain, tetapi mempunyai struktur perasaan yang sama.

Kesamaan perasaan itu bergerak dan berhubungan satu sama lain. Kemunculan gerakan protes menjadi proses mimetik. Ia tercipta, kemudian ditiru di tempat lain, lantas berkembang ke berbagai arah dengan tidak linier.

Gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia bergerak tanpa pemimpin, mungkin tanpa ideologi yang jelas sejak awal. Meski demikian mereka terarah pada satu musuh bersama, yaitu oligarki yang sudah menggurita dan menutup telinga negara.

Dalam serba polemik mengenai isi dan bentuk dari gerakan mahasiswa, demonstrasi mahasiswa di Indonesia perlu dilihat secara tak terpisah dengan demokrasi Pancasila yang melingkupi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara. Beberapa poin perlu dicatat.

Pertama, demonstrasi mahasiswa adalah sebuah aktivitas demokrasi serentak proses demokratisasi yang terjadi dalam satu medan sosial tertentu. Secara substansial maupun bentuk, gerakan mahasiswa haruslah bercorak demokratis.

Kedua, demonstrasi mahasiswa adalah sebuah gerakan moral dan intelektual. Setiap gerakan sosial harus memiliki basis dan atau proyeksi terhadap nilai dan juga rasionalitas yang jelas.

Ketiga, gerakan moral intelektual ini tidak berlangsung secara kronologis melainkan dialektis. Gerakan moral intelektual itu secara sederhana terjadi dalam kerang kerja demikian: refleksi-aksi-refleksi. Dialektika ini berlangsung secara terus menerus.

Keempat, dialektika itu harus bisa memberi tawaran baru, entah pada tatanan sosial dan sistem politik tertentu, maupun paradigma-paradigma baru.

Demonstrasi adalah idiom dari demokrasi. Demonstrasi mahasiswa berdasar dan terarah pada nilai dan rasionalitas yang jelas sejak awal, yaitu demokrasi Indonesia yang kian terancam oleh UU dan RUU yang dinilai diskriminatif. Demonstrasi itu telah melalui kajian, meski boleh jadi tidak oleh individu-individu dalam massa yang besar itu. Ada basis argumentasi yang jelas sejak awal. Ada proses intelektual sebelumnya.

Kendati itu tidak dibingkai oleh satu ideologi yang sama, demonstrasi itu digerakan oleh refleksi berdasarkan nasib dan perasaan yang sama, yaitu perasaan kaum terpinggirkan yang dikhianati oleh wakil-wakilnya sendiri.

Demonstrasi itu diarahkan pada sistem parlemen yang bobrok, oligarki yang tamak dan menjilat. Perlawanan ini mencita-citakan tatanan demokrasi yang adil dan merakyat.

Dengan demikian, gerakan mahasiswa dalam demonstrasi-demonstrasi yang terjadi harus didukung sembari terus dikawal. Tegangan antara bentuk dan isi, aktivisme dan intelektualisme dan bias-biasnya perlu dijernihkan oleh setiap rakyat Indonesia, yang setiap kepentingan, hak, dan hidupnya saat ini, sadar atau tanpa sadar, terwakilkan oleh suara-suara yang menggema dari mulut-mulut mahasiswa di jalan-jalan di seluruh nusantara.

*Redaktur EKORA NTT

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA