Yang Terakhir untuk Para Demagog (2/3)

Tentang Dialektika Hegel dan Marx

Setelah membahas hal yang remeh temeh tentang Elton, saya akan membahas hal yang lebih serius dan substansial dari tulisan Elton.

Dalam menjelaskan dialektika Hegel dan Marx, penjelasan Elton kelihatan seperti seorang yang sedang kesurupan.

Elton menulis demikian: “Benar bahwa dalam Hegel prinsip dialektis tetap tinggal dalam pikiran. Sejarah, alam, dan manusia terus menerus berubah itu disesuaikan dengan pikiran yang juga terus menerus berubah. Marx menerima itu. Akan tetapi, Marx serentak mengawinkan dengan realitas; sejarah, alam, dan manusia dan menjadikannya bercorak ilmiah di atas landasan dan gerakan “material-kebendaan” –dapat disebut kini sebagai ilmu Marxisme.”

Pernyataan Elton ini adalah sebuah hoax terbesar dalam sejarah pemikiran Marxisme di dunia. Saya makin ragu jika Elton sudah membaca seluruh isi bukunya Plekhanov yang dikutipnya dalam tulisannya itu, yang berjudul “Masalah-Masalah Dasar Marxisme.” Di buku ini, Plehanov sudah menjelaskan –bahkan berulang kali dengan formulasi berbeda– dengan sangat tegas perbedaan posisi dialektika Marx dan Hegel serta bagaimana peran Feuerbach bagi lahirnya dialektika Marx.

Inilah akibatnya jika pembaca, seperti Elton, yang mungkin percaya bahwa hanya dengan membaca halaman satu (yang nampak dari hampir semua kutipan Elton di halaman satu di tulisannya yang terakhir) dari sebuah buku, ia akan dapat memahami seluruh isi buku secara magis. Alhasil, pemahaman yang dihasilkan hanyalah sebuah hoax, yang mematikan perkembangan ilmu itu sendiri.

Adalah sesuatu yang sangat tidak masuk akal Marx menyetujui watak dialektika idealistisnya Hegel untuk mendirikan dialektika materialis Marxis sebagaimana –sekali lagi– yang ditulis Elton “sejarah, alam, dan manusia terus menerus berubah itu disesuaikan dengan pikiran yang juga terus menerus berubah. Marx menerima itu.”

Artinya, dengan kata lain, menurut Elton, Marx sejalan dengan dialektika idealis Hegel bahwa Roh Absolutlah yang menentukan perubahan sejarah, alam, dan manusia.

Kesimpulan ini adalah sebuah pemerkosaan yang paling brutal dalam sejarah manusia terhadap ilmu Marxisme.

Yang Marx setuju dari Hegel hanyalah metode dialektikanya, yang kemudian dibalikkannya dari yang bersifat idealis menjadi materialis. Marx, karena itu, sama sekali tidak mengamini watak dialektika idealisnya Hegel untuk kemudian membangun dialektika materialis Marxis, seperti yang ditulis oleh Elton. Justru yang dilakukan oleh Marx adalah pembalikan total atas Filsafat (dialektika) idealisnya Hegel menjadi Filsafat (dialektika) materialis, yang juga diinspirir oleh Filsafat materialisnya Feuerbach.

Sebagai almuni sekaligus pengajar di STFK Ledalero, penjelasan Elton soal Marxisme ini sangat saya sesali karena datang dari seorang yang beberapa bulan lagi akan menjadi seorang sarjana Filsafat dari STFK Ledalero, yang kualitas pendidikannya selalu diagung-agungkan oleh masyarakat NTT.

Saya ingin menjelaskan perbedaan antara Hegel dan Marx secara singkat untuk Elton, yang dalam tulisannya berlagak seperti orang yang sudah membaca seluruh karya Hegel dan Marx walau hanya membaca halaman satu dari bukunya Plekhanov yang dikutipnya itu.

Dialektika Hegel bersifat idealis.

Oleh karena itu, bagi Hegel, ide-idelah yang mengkonstitusi esensi dari realitas dan perkembangan ide-ide jugalah yang mendorong gerak perubahan dalam realitas.

Oleh karena itu, Hegel mereduksi seluruh gerak realitas dunia sebagai penjelmaan tunggal dari Roh Absolut (Absolute Idea) dan terus berkembang menuju kesempurnaan di dalam Roh Absolut, nama lain dari Tuhan versi Hegel.

Dengan demikian, sejarah perkembangan realitas dalam dunia adalah sejarah perealisasian dari Roh Absolut ini.

Dengan demikian, proses historis Hegel tidak bersifat dari yang yang lama menjadi yang baru, tetapi bersifat sirkular dari the original pre-existing abstract idea through nature and society to its ultimate fulfillment in the concrete Absolute Idea(Novack, 1975: 103).   Dengan gerak sirkular seperti ini, bagi Hegel, realitas alam tidak mengalami perkembangan historis yang fundamental, tetapi berada pada posisi yang kurang lebih sama ketika sudah mencapai puncaknya.

Perkembangan masyarakatnya Hegel, misalnya, berhenti pada masyarakat kapitalisme, seperti yang diyakini kaum borjuis.

Dalam bidang politik, di masanya, Hegel sendiri tidak membayangkan ada sistem Negara yang lebih sempurna selain Negara monarki konstitusional.

Baginya, pikiran manusia sudah mencapai puncak dalam perkembangannya dalam sistem Roh Absolut.

Berbeda dengan Hegel, dialektika Marx bersifat materialis.

Namun, Marx tidak sepenuhnyamenolak Hegel.

Benar bahwa Marx menolak watak idealisme dialektika Hegel.

Namun, seperti yang sudah saya singgung di muka, Marx masih menggunakan logika dialektika Hegel, tetapi dalam bentuk dan wataknya yang materialis.

Bagi Marx, konsep-konsep di dalam kepala manusia secara materialistik sebagai gambaran dari realitas dunia daripada melihat realitas alam dan dunia sebagai gambaran dari Roh Absolut.

Dengan demikian, Marx, seperti profesor Vedi Hadiz, guru dari Dr. Otto Gusti Ndegong Madung di Universitas Melbourne, Australia saat ini membalikkan populismenya Laclau dan Mouffe dari kepala ke kaki dan kaki ke kepala, demikian pula Marx membalikkan Hegel dari kepala ke kaki dan kaki ke kepala.

Marx, mengikuti Feuerbach, Roh Absolut-nya Hegel, dalam dirinya sendiri, adalah tidak ada apa-apanya (nothing) kecuali a thing of thought, yakni sebuah ekspresi general untuk proses berpikir dari manusia-manusia riil yang bergantung pada marcapada.

Namun, meskipun demikian, Marx mengakui bahwa Hegel sudah berkontribusi dalam menemukan ekspresi abstrak, logis, dan spekulatif untuk perkembangan sejarah.

Di atas pengakuan itu, Marx ingin menemukan kekuatan dan motif yang riil, yang meliputi alam dan masyarakat, yang bersifat material yang menggerakkan sejarah manusia. 

Lalu, di mana peran dan posisi Feuerbach dalam kaitannya dengan Marxisme?

Marx mendapatkan kritik materialis terhadap Hegel dari Feuerbach dan menaikkan kembali posisi materialisme yang sudah terdegradasi kala itu di Jerman dan tempat lain di Eropa.

Feuerbach-lah orang pertama yang menanggalkan spekulasi fetisistik dari Hegel dan menggantinya dengan materialisme.

Oleh karena itu, Feuerbach adalah orang pertama yang menentang esensi religius dari sistem Filsafat Hegel dan serentak membangun kebenaran material bahwa dunia realitas adalah basis riil pemikiran dan sumber paling ultim dari semua ide-ide (ideas).

Namun, meskipun demikian, Marx, juga Engels, tidak menarik garis posisi intelektual seperti Feuerbach.

Kurang lebih, ada dua persoalan yang Marx persoalkan dari Feurbach.

Pertama, apa yang dipersoalkan Feuerbach dari Hegel bersifat non-dialektik dan serentak merupakan materialisme yang tidak lengkap. Oleh karena itu, Feuerbach mengkritik hanya sebagian dari dialektikanya Hegel.

Kedua, secara umum, Feuerbach adalah seorang materialis dalam pandangan umumnya tentang realitas, tetapi bukan dalam aplikasi spesifik dari materialisme sejarah dan masyarakat. Walau sebagai seorang materialis, dalam kaitannya dengan sejarah, Feuerbach bukan seorang materialis. Sebab, Feuerbach berpendapat bahwa cintalah yang menjadi pengerak sejarah manusia.

Namun, meskipun demikian, sumbangan Feuerbach dalam mengkritik Hegel sangat fundamental bagi evolusi pemikiran Marx untuk materialisme historisnya.

Dengan penjelasan seperti ini, membedakan antara Marx dan Hegel serta posisi Feuerbach, dalam tulisan saya terdahulu, saya menggunakan teologi terlibat Budi Kleden yang sangat kuat dipengaruhi oleh Filsafat proses Alfred North Whitehead untuk menjelaskan soal Logos dalam huruf besar, yang bisa dikatakan sebagai Tuhan, yang idealis sekaligus materialis mengikuti logika dialektika materialis Marxis, A sama dengan A dan non-A.

Logos adalah diri-Nya serentak bukan diri-Nya.

Martin Suryajaya pernah berupaya menjelaskan bahwa Allah materialis adalah “seluruh kemungkinan dan ketidakmungkinan semesta itu sendiri.”

Logos, atau Allah materialis Martin ini, sesuatu yang materialis dan berada antara ruang kemungkinan dan ketidakmungkinan yang ada dalam ruang logis (logical space) manusia. 

Namun, penjelasan Allah seperti ini, yang material murni, tentunya sulit diterima oleh orang beriman, sekurang-kurangnya saya.

Oleh karena itu, saya menggunakan teologi terlibatnya Budi Kleden, yang bertolak dari Filsafat Proses Alfred North Whitehead, untuk menjelaskan Logos yang idealis serentak materialis.

Pada titik ini, saya harus akui, penafsiran terhadapnya bisa membawa kesimpulan bahwa saya ingin menjelaskan sesuatu yang logika materialis Marxis menjadi logika dialektika idealis Hegel. Selain itu, penjelasan seperti ini bisa jatuh pada kesimpulan Spinoza, yang mengeliminasi dualisme antara Tuhan (God) dan alam dunia (Nature) karena dia melihat ekspresi dan tindakan dari Nature adalah dari God, yang menjadi dasar dari keberadaan Nature.

Namun, saya ingin menjelaskan tentang persoalan ini secara lebih jauh sebagai berikut.

Seperti yang ditulis oleh Kleden (2002: 34), Logos, yang dalam hal ini dipahami sebagai Allah, “dalam fungsinya sebagai penggerak dan pengarah proses penjadian diri tidak dapat dilihat sebagai substansi yang sempurna. Peran berkaitan dengan objek-objek abadi ini baru merupakan suatu sisi dari Allah yang disebut sebagai the primordial nature atau hakikat awali. Tanpa Dia proses penjadian akan kehilangan awalnya dan tidak akan ada arti yang dimunculkan dari dunia yang konkret. Tetapi Allah bukan hanya yang merupakan awal, Dia juga adalah akhir dari segala sesuatu. Ungkapan ini mendapat interpretasinya di dalam Filsafat organisnya Whitehead. Karena Allah sebagai dasar kemungkinan segala satuan aktual menyertai satuan aktual itu dalam proses penjadian dirinya, maka mesti diandaikan pula pengaruh balik dari satuan aktual terhadap Allah. Tidak hanya berpartisipasi di dalam Allah melalui objek abadi, Allah pun berpartisipasi di dalam dunia karena informasi yang diberikannya untuk Allah. Prehensi Allah atas dunia pun bersifat konstitutif bagi Allah, sebagaimana bagi dunia prehensi atas Allah menjadi bagian penting dalam proses pembentukan dirinya. Sisi lain dari Allah adalah the consequent nature atau hakikat akhiri yang menerima dan menampung segala yang diberikan oleh semua satuan aktual. Dia adalah tujuan bersama seluruh universum. Dia menjamin bahwa tidak sesuatupun yang hilang begitu saja.”

Dengan penjelasan Kleden (2002) yang panjang ini, jelas bahwa Allah dalam pengertian ini sangat berbeda dengan Roh Absolut atau Allah-nya Hegel yang dianggap sempurna, dan juga berbeda dari Allah-nya Spinoza yang dilihat sebagai subyek dan alam dilihat sebagai predikat.

Allah-nya Kleden (2002) yang dipengaruhi oleh Filsafat Proses Whitehead adalah Allah yang tidak sempurna, yang senantiasa berproses dalam komunikasi dan relasi-Nya dengan dunia. Allah-nya Kleden, karena itu, berbeda dengan Allah-nya Spinoza, karena Dia adalah subyek sekaligus predikat, dan, di hadapan Allah-nya Kleden, Nature, sama seperti God, adalah serentak predikat dan subyek.

Allah Kleden yang tidak sempurna, yang menurut, saya adalah serentak realis dan idealis berbeda dengan Allah-nya Hegel yang idealis dan sempurna, dan juga Allah-nya Spinoza yang adalah semata sebagai subyek.

Allah-nya Kleden, yang adalah serentak realis dan materialis, subyek serentak predikat, adalah Allah yang membutuhkan dunia dan dunia tidak dilihat sebagai sesuatu yang tidak hidup (lifeless).

Relasi keduanya adalah adalah saling mengisi dan melengkapi (subyek sekaligus predikat) tanpa ada peremehan terhadap yang lain.

Sebaliknya, bagi Hegel, dunia realitas adalah mode eksistensi yang tersebar yang tidak hidup (lifeless) yang bertentangan dengan gerakan abadi dan interkoneksi universal  yang hidup (lively), yang melekat secara inheren dalam Roh Absolut.

Dengan demikian, menurut saya, adalah kurang tepat bila analisis saya di tulisan saya terdahulu langsung disebut sebagai analisis berdasarkan dialektika Hegelian.

Sebab, saya sadar secara teoritik, sebelum menarik garis posisi itu dan, karena itu, tidak semena-mena meletakkan posisi intelektual saya dari sebuah khayalan personal yang jatuh dari surga, yang sering dibuat Elton dalam tulisan-tulisannya.

Mereka yang menuduh seperti ini, termasuk Elton, adalah orang-orang yang mungkin tidak terbiasa membaca pemikiran secara serius dengan melihat variasi-variasi kecil yang penting dalam sebuah evolusi pemikiran dalam sejarah Filsafat.

Namun, saya sadar, Elton mungkin baru belajar membaca tulisan-tulisan Filsafat yang berat dengan berbagai detail-detail kecil yang rumit.

Dalam pembacaan literatur dalam bahasa Inggris, Elton juga banyak melakukan pereduksian terhadap makna literer dari tulisan, yang mengarah pada pemerkosaan terhadap makna teks asli, yang akan saya tunjukkan kemudian dalam tulisan ini.

Namun, meskipun demikian, saya begitu salut dengan arogansi intelektual Elton bak seorang ahli Filsafat yang sudah menguasai beberapa bahasa asing dengan baik dan sudah membaca seluruh pemikiran Filsafat yang sempat hadir di dunia ini. (bersambung…)

spot_img
TERKINI
BACA JUGA