Bagaimana dengan Sampah (dan) Kita?

Erlyn Lasar*

Permasalahan sampah umumnya dan plastik khususnya sudah menjadi isu internasional, juga (seharusnya) sudah menjadi masalah bagi semua orang. Sayangnya, tidak semua orang menyadari bahwa itu adalah masalah.

Tetapi tulisan ini bukan untuk menghakimi siapa yang menganggapnya masalah dan siapa yang belum mengganggapnya sebuah masalah. Sokrates pernah mengatakan, “saya tidak mampu mengajarkan segala sesuatu kepada semua orang, namun saya mampu membuat mereka berpikir”. Semoga tulisan ini pun demikian.

Sangat mudah membandingkan negara-negara berkembang seperti Indonesia, dengan negara-negara maju yang ada di muka bumi, terumata jika menggunakan kebersihan dan pengolahan sampahnya sebagai barometer perbandingan.

Seperti yang baru-baru ini menjadi viral di media sosial, ketika badai Hagibis melanda Jepang dan beredarnya gambar rumah dan bangunan yang terendam air jernih, bersih, bebas dari sampah plastik.

iklan

Terlepas dari keprihatinan kita kepada sama saudara di sana yang tertimpa musibah ini, potret-potret yang mempertunjukkan betapa bersihnya Jepang sesungguhnya menjadi peringatan dan pelajaran berharga bagi orang Indonesia.

Dari waktu ke waktu, pemerintah melalui berbagai program, langkah dan rencana, menggalakkan gerakan sadar sampah dan mendorong seluruh lapisan masyarakat untuk berbuat sesuatu agar sampah tidak menjadi ancaman yang dari hari ke hari semakin mematikan bagi manusia.

Namun dari segala macam bentuk dan model pembelajaran soal sampah dan cara pengelolaannya, sesungguhnya masyarakat perlu menyadari bahwa semuanya harus dimulai dari rumah.

Sebelum bicara soal sampah di tingkat kota dan kabupaten, provinsi dan negara, sampah sudah dimulai dari tiap-tiap pribadi. Dan komunitas terkecil setelah pribadi atau individu adalah keluarga.

Sadar Sampah

Kadang, bagi saya, istilah pahlawan Sampah, duta Sampah, ataupun pejuang Sampah, adalah keliru. Sampah bukan untuk dibela, bukan untuk diwakilkan, apalagi diperjuangkan.

Sampah sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyelengaraan hidup manusia. Setiap orang, setiap satuan waktu, mau tidak mau, pasti memroduksi sampah.

Dan menjadi pahlawan, duta ataupun pejuang bagi sampah, bukanlah langkah pencegahan dan penyelesaian masalah yang tepat. Sebab yang sedang kita perangi bukan sampahnya. Sampah adalah akibat. Sebaliknya, perilakulah yang harus diperangi.

Kampanye soal membuang sampah pada tempatnya, juga bukan satu-satunya solusi. Kadang media, komunitas, bahkan personal, mendengungkan gerakan membuang sampah pada tempatnya seolah-olah sebagai langkah tunggal mengatasi masalah atau dampak negatif dari sampah.

Seolah-olah, membuang sampah pada tempatnya sudah cukup. Kita lupa, bahwa membuang sampah adalah salah satu langkah yang paling sederhana, yang tidak akan bermakna apa-apa jika tidak ada langkah selanjutnya.

Jadi cukuplah kampanye itu didengungkan, ditanamkan dan dibaktikan di tingkat pendidikan dasar. Bagi kita yang sudah dewasa dan (semoga) mapan jasmani serta rohaninya, bergeraklah dengan langkah yang lebih nyata dan berkelanjutan.

Oleh karena itu, pertama-tama perlu diluruskan pemahaman yang sejatinya bagi saya masih belum seragam. Bahwa sampah tidak akan bisa dihapuskan dalam siklus hidup manusia. Apapun bentuknya, selama ada kehidupan dan aktivitas manusia, sampah akan selalu ada.

Kedua, langkah mengatasi dan mengurangi dampak negatif dari sampah haruslah dalam satu rangkaian langkah yang komprehensif dan berkelanjutan.

Dan ketiga, sebelum berpikir untuk membuat dampak besar dalam mengatasi masalah sampah di skala besar, keluarga adalah skala terkecil yang paling mungkin untuk mengambil peran pertama dan utama dalam misa besar mengatasi masalah sampah. Untuk itu, mulailah dengan kesadaran baru kemudian membentuk perilaku.

Klasifikasi Sampah

‘Pergilah’ ke negara-negara maju, dan perhatikan bagaimana mereka memperlakukan sampah. Jika dihitung jumlah tempat sampah di ruang-ruang publik di negara-negara itu, tidak akan jauh bedanya dengan yang ada di negara-negara berkembang seperti kita. Tempat sampah sama-sama tersedia di mana-mana.

Bedanya adalah mereka menyediakan tempat-tempat sampah dengan klasifikasi yang praktis, baik dalam hal cara pengelolaan lanjutannya, maupun dalam hal fungsi hasil pengelolaan sampahnya.

Dan amat mudah menemukan pribadi-pribadi sadar sampah di segala penjuru kota-kota besar di negara-negara maju itu.

Perokok hanya akan merokok dekat tempat sampah yang menyediakan tempat pembuangan puntung rokok. Konsumen restoran membuang sendiri sampah hasil konsumsinya, mulai dari anak kecil sampai lansia.

Mereka dengan mandiri membuang sampah sesuai klasifikasi jenis sampahnya dan paham betul kenapa mereka harus melakukan itu. Dari mana perilaku itu datang, jika bukan dimulai dari keluarga?

Jika kita sungguh ingin mengatasi dampak negatif dari sampah, sediakanlah tempat sampah sesuai klasifikasi jenis sampah kita di rumah.

Di Indonesia, mungkin sudah sedikit lebih lazim klasifikasi sampah organik dan anorganik. Namun sering kita lupa bahkan tidak tahu sama sekali bagaimana pengelolaan lanjutan dari kedua jenis sampah tersebut.

Di akhir cerita, semua jenis sampah disatukan dalam satu wadah sampah saja. Akibatnya semua jenis sampah hanya akan menjadi tumpukan yang kemudian kita setor begitu saja ke tempat pembuangan sampah akhir.

Padahal, jika kita lebih tekun sedikit saja, lebih sabar sedikit saja, klasifikasi sampah bisa menekan jumlah sampah yang dibuang begitu saja, yang akibatnya sudah kita ketahui bersama; menciptakan polusi udara, tanah dan air kita.

Alih-alih bermimpi menghilangkan sampah, mulailah dari keluarga kita dengan memanfaatkan sampah dan menekan jumlah sampah yang berakhir di pembuangan akhir.

Dari berbagai model klasifikasi sampah yang pernah saya amati, berikut ini adalah 3 model klasifikasi sampah yang sekiranya cocok dengan budaya perilaku dan juga fungsi yang mungkin bisa diterapkan di lingkungan sekitar kita.

Yang pertama adalah kategori sampah daur ulang. Sampah ini berupa plastik jenis keras seperti gelas minuman plastik, botol plastik, dan bungkus detergen yang sifatnya tidak lunak.

Yang kedua adalah kategori sampah sisa makanan. Sampah ini berupa sisa-sisa bahan makanan baik dari sayur mentah, buah, ataupun bahan makan dan minum lain hasil olahan. Sampah ini sangat perlu dikelompokan secara khusus karena dapat digunakan sebagai kompos rumah tangga.

Baru kemudian yang ketiga adalah kategori sampah umum. Untuk kategori ini termasuk di dalamnya sampah-sampah plastik lunak seperti kantong plastik, sedotan, dan jenis sampah plastiklainnya yang bersifat lunak atau yang sekiranya tidak dapat didaur ulang sendiri di rumah.

Langkah paling praktis adalah sediakanlah tempat sampah khusus dan berbeda bagi ketiga kategori ini. Atau dengan kata lain, hindari mencampur ketiga kategori sampah tersebut dalam 1 wadah sampah saja.

Setelah pengelompokan sampah dilakukan melalui ketersediaan 3 tempat sampah yang berbeda di rumah, kelompokan kembali kategori sampah daur ulang. Pilahlah sampah-sampah dari kategori ini yang benar-benar dapat digunakan sebagai alat bantu urusan rumah tangga.

Pot bunga, penggayung air, atau alat lainnya. Sisanya, boleh dimasukan ke dalam kategori ketiga. Mengapa hal ini perlu? Bukankah itu namanya penambahan pekerjaan?

Untuk mencapai segala sesuatu yang baik, orang cenderung mengabaikan proses. Ketika kita menyadari bahwa sampah membawa masalah yang berkepanjangan, tentu perlu juga sejalan pikiran dan anggapan kita tentang langkah-langkah pemecahannya.

Usaha mengatasi masalah sampah tidak mungkin semudah membalikkan telapak tangan. Ada waktu dan tenaga yang harus diinvestasikan di dalamnya. Percayalah, bahwa proses ini juga membawa hal positif bagi anak-anak di rumah kita ketika proses yang nampak panjang ini melibatkan mereka juga.

Untuk sampah kategori kedua, kita bisa mengolahnya menjadi kompos rumah tangga. Langkah penting yang perlu diingat dalam pengelolaan sampah kategori kedua ini adalah wadahnya perlu selalu tertutup.

Jangan lupa mencampurkan ke dalamnya air bekas cucian beras. Reaksi kimia yang dihasilkan oleh air bekas cucian beras akan meredam aroma busuk dari sampah sisa makanan agar tidak mengganggu meskipun ditimbun dalam 1 wadah selama satu atau dua hari lamanya. Tentu saja setelah itu harus diolah lagi menjadi pupuk alami untuk tanaman di pekarangan rumah kita.

Untuk sampah kategori ketiga, adalah kumpulan sampah yang kita salurkan ke tempat pembuangan sampah akhir yang sudah difasilitasi oleh pemerintah setempat. Ini adalah kategori sampah yang sudah tidak bisa kita olah secara mandiri di rumah.

Oleh karena itu, kita perlu selalu kembali ke perilaku. Penggunaan kantong belanjaan yang terbuat dari bahan non-plastik, sehingga dapat digunakan berkali-kali, bisa menjadi solusi.

Bangunlah kebiasaan membawa botol minuman sendiri dari rumah sehingga menekan kebiasaan kita membeli air mineral dengan wadah plastik.

Bagi sebagian masyarakat, terutama di kota tempat kita tinggal ini, masih belum lazim untuk membawa tempat makanan sendiri ketika hendak membeli makanan dari restoran atau warung makan. Tetapi tidak lazim, bukan berarti tidak mungkin diterapkan. Dan tindakan paling sederhana dan nampak sepele, adalah penggunaan sedotan plastik.

Keluarga yang sadar sampah pasti merasa juga bahwa sedotan plastik, meski kecil dan sederhana, membawa dampak yang besar dalam menyumbang sampah plastik. Beralihlah ke sedotan berbahan lain yang sekarang sudah mulai ramai dipromosikan.

Akhirnya, pekerjaan mengatasi dampak negatif dari sampah bukan pekerjaan gampang. Namun bagi saya, itu menjadi pekerjaan yang sulit jika kita memulainya dalam skala besar.

Jika kita berani secara konsisten memulainya dari rumah, ini bukan lagi menjadi sesuatu yang terlalu sulit. Karena sekali lagi, sampah sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari hajat hidup manusia.

Maka begitupun jugalah langkah mengatasi masalah yang ditimbulkan olehnya. Jadikan itu sebagai bagian tidak terpisahkan dari hajat hidup kita pula.

*Alumni 2019 Sustainable Tourism Short Course Griffith University, Queensland, Australia

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA