Emil: Paranoid atau Parrhesiast (?) (1/2)

Oleh Elton Wada*

Setelah agak lama diam, merenung, dan berniat untuk tidak ingin lagi membalas kritik Emil terhadap saya dalam tulisannya di ekorantt.com, “Yang Terakhir untuk Para Demagog”, (22/10/2019) saya menyadari bahwa sikap “pasrah” demikian rupanya hanya membuat Emil merasa diri paling benar, tanpa memunyai rasa bersalah lebih kurang pada diri sendiri setelah memberikan label negatif kepada saya di hadapan publik (apakah ini termasuk dalam tindakan pidana pencemaran nama baik, saya tidak tahu pasti, Emil tahu, barangkali) yang sangat vulgar dan ad hominem seperti “demagog, kapitalis, penyebar hoax, pembohong, orang licik dan kikir, arogan, dan sebagainya”

Dalam pandangan yang sedikit futuristik, saya akhirnya menyadari bahwa ketika tulisan itu dihadapkan kepada sidang pembaca yang lebih luas, dengan tingkatan pemahaman yang berbeda-beda, dengan status dan posisi ideologis yang berlainan apalagi yang tidak mengikuti perdebatan ini dari awal lalu hanya mendengarkan perdebatan ini dari orang lain alias perantara, tulisan terakhir Emil ini bisa jadi akan dipandang sebagai satu-satunya kebenaran berikutnya bersifat taken for granted (diterima begitu saja) tanpa sikap kritis. Pada akhirnya, saya hidup dengan suatu stigma sosial yang dapat menjadi batu sandungan bagi karier saya ke depan.

Untuk itu, tulisan ini sekali lagi hendak mengklarifikasi penggunaan label atau cap yang dikenakan Emil terhadap saya, berikutnya mengkritik kembali Emil yang tidak fair dalam perdebatan ini. Sebisa mungkin saya akan menanggapi kembali Emil dengan terlebih dahulu mengkaji istilah “demagog” (yang di dalam tulisan Emil, lulusan Melbourne – Australia rupanya tidak mengerti dengan baik arti dan ruang lingkup penggunaan kata itu, sehingga hanya bisa mengartikannya sebagai penyebar kebohongan) yang menurut saya sangat menentukan bagi cap dan label negatif lainnya yang dikenakan pada saya, berikutnya menganalisis ketepatan penggunaan istilah tersebut dan/atau implikasi praktis ketika istilah itu digunakan. Implikasi praktis ini sangat menentukan bagi keseluruhan penjelasan Emil yang bagi saya hanya dilakukan oleh seorang yang telah mengalami gangguan jiwa akut (paranoia) daripada seorang intelektual yang “mengatakan kebenaran” (parrhesia).

Demagog

iklan

Demagog adalah suatu istilah politik yang berasal dari Yunani, yang dibentuk dari kata demos yang berarti rakyat dan agagos yang berarti pimpinan (dalam konotasi negatif), yang bertujuan menyesatkan orang demi kepentingan pribadinya. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan demagog sebagai penggerak (pemimpin) rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memeroleh kekuasaan. Dalam kaitannya dengan demagog, kita temukan juga kata demagogi dan demagogis yang dekat dengan kata itu. Demagogi sendiri dalam kamus yang sama berarti penghasutan terhadap orang banyak dengan kata-kata yang dusta untuk membangkitkan emosi rakyat. Sedangkan demagogi berarti (yang) bersifat demagogis.

Dari pengertian ini, demagog hanya dapat dimengerti dalam relasi antara seorang pemimpin dan rakyatnya, terutama dalam konteks politik. Relasi ini dibangun dalam suatu model demagogi yang memiliki mekanisme yang khas, yang pada akhirnya memunculkan wacana kebencian terhadap pihak-pihak tertentu. Tentang mekanisme khas seorang demagog dalam menghasut orang banyak ini, Haryatmoko, dalam Etika Politik dan Kekuasaan (Jakarta: Kompas, 2003) menulis: (a) seorang demagog biasanya selalu mencari kambing hitam atas segala masalah yang terjadi agar kebencian terhadap suatu kelompok ditumbuhkan, dipelihara hingga diperdahsyat identitasnya; (b) argumen yang digunakan oleh demagog biasanya ad hominem (menyerang pribadi orang), dan bukannya ad argumentum (menyerang argumen orang); (c) seorang demagog membuat skematisasi yang lihai dengan menyederhanakan gagasan atau pemikiran demi efektivitas sosial, agar berterima sebagai opini dan keyakinan.

Merujuk pada Haryatmoko, pertanyaan saya kini adalah pertama apakah tepat istilah ini digunakan dalam perdebatan ilmiah yang tidak terutama bernuansa politis ini? Kedua, bila berbau politis, apakah dalam perdebatan ini ada upaya sadar pihak-pihak yang terlibat dalam perdebatan ini teristimewa saya yang divonis sebagai demagog untuk meraih jabatan politis tertentu? Terhadap pertanyaan ini, rupanya sah-sah saja jika istilah ini digunakan dalam banyak konteks mengingat dalam studi hermeneutika, terdapat keunggulan bahasa (kata) seperti dikatakan von Humboldt: language is the infinite use of finite means yang berarti “penggunaan tak terbatas dari sarana yang terbatas” (dalam diktat kuliah Leo Kleden, 2019).

Namun, yang menjadi soal di sini adalah “siapakah yang lebih pantas disebut sebagai demagog: Emil atau Toni atau Elton?” Hanya dengan memahami mekanisme (b) saja, sudah tersedia kebenaran bahwa Emil adalah demagog yang selalu saja dalam tulisannya membangun argumentum ad hominem. Baiklah kalau demagogi sang demagog ini dibahas lebih jauh dalam hubungannya dengan mekanisme (a dan c) yang lebih rumit dan kompleks yang hanya bisa dipahami bila kita kembali pada konteks perdebatan serentak melihat lebih jauh bagaimana Emil tidak sanggup mempertahankan ide awal yang menjadi titik berangkat perdebatan dimulai lalu berusaha membenarkan diri, menyerang pribadi orang, dan memuaskan sentimen pribadinya. (Bersambung…)

TERKINI
BACA JUGA