Hilin Kimang Buleng, Motor Mogok, dan Pria Berhati Mulia di Riit

Oleh Indah Mukin*

Seperti kata kebanyakan orang, jalanan menuju tempat ini seperti jalanan ninja hatori: harus naik dan turun gunung ataupun lembah. Saya sangat penasaran dengan pemandangan yang ada di baliknya. Tanpa pikir panjang, saya putuskan memberi jawaban “yakin” kepada sahabat saya ketika ia bertanya, “yakin, mau ke sana?’’ Anggukan penuh semangat saya berikan kepada Siska.

Saat melewati jalanan yang penuh tantangan itu, saya teringat sebuah lirik lagu berjudul “Jangan lupa Maumere Manise”. Energi dan stamina saya bertambah karena senyuman dan sapaan bersahabat inang dan amang di desa itu. Desa Riit, Kecamatan Nita. Di desa inilah, gunung ini menjulang tinggi dengan hamparan sayur mayur para petani.

Setangkai Bunga Matahari tumbuh bermekaran di puncak Gunung Kimang Buleng di Desa Riit, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Foto/INDAHMUKIN

“Jangan terlalu bergerak. Di samping kiri kita ini ada jurang yang dibaluti oleh alang-alang. Jadi, jangan terlalu bergerak,” kata Siska sembari menoleh ke arah saya.

Tingkah saya mengagumi pemandangan di sepanjang jalan sempat membuat motor kami sedikit oleng. Siska pun tidak pernah bosan mengingatkan saya untuk tetap tenang dan jangan terlalu beger alias jangan terlalu banyak bergerak. Karena takut motor kami nyemplung ke jurang, saya pun memutuskan untuk diam walaupun jiwa dan raga saya meronta-ronta ingin menari di antara ilalang-ilalang itu.

Kurang lebih sejam, akhirnya kami pun tiba di kaki gunung itu. Saya sedikit kecewa karena pemandangan di kaki gunung itu tidak seelok yang saya bayangkan. Tanah tandus dan tanaman yang mulai menguning dan kering membuat saya menyesal telah mengunjungi tempat ini. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan dan berharap gunung ini masih menyimpan salah satu tempat yang bisa menyembuhkan kekecewaan saya dan Siska.

Ternyata, alam menyediakan banyak sekali keindahan dan keelokan yang tidak pernah kami duga, termasuk gunung ini. Lima ratus meter dari tempat sebelumnya, suara kami bergema di lereng gunung. Kami berteriak riang karena tempat yang menjadi pijakan kami seperti negeri di atas awan. Awan putih menyelimuti dan menaungi pegunungan layaknya kembang gula raksasa yang berwarna putih. Dan jingga pun datang perlahan memberi warna pada sekumpulan awan yang menyerupai bunga kol tersebut. Sekilas, pemandangan Gunung Kimang Buleng tampak seperti Bukit Wolobobo di Kabupaten Ngada.

Gunung Kimang Buleng di Desa Riit, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Flores, NTT. Foto/INDAHMUKIN

Gunung Kimang Buleng merupakan salah satu gunung di Pulau Flores, tepatnya di sebelah barat Kota Maumere. Gunung ini dikelompokkan sebagai gunung strato atau biasa dikenal dengan gunung kerucut. Jejak vulkanik berupa sobekan kawah yang membuka ke arah utara memberi nilai tambah pada keindahan gunung ini. Angin yang bertiup sepoi-sepoi, hamparan tanaman yang menghijau, dan kicauan burung-burung yang merdu memberi kesan indah dalam perjalanan kami mendaki Gunung Kimang Buleng.

Berpose di tempat ini adalah ide yang sangat bagus dilakukan. Menari di bawah awan yang menggumpal dengan warna emasnya membuat saya merasa benar-benar berada di atas awan. Tapi, saya pun harus berhati-hati karena saya berada di antara tanaman para petani yang sedang tumbuh seperti lombok besar, worte, kol, dan tomat. Sesekali, saya melihat sekeliling saya, takut jika ada petani yang datang dan menegur saya karena berada di perkebunan mereka tanpa izin.

Udara semakin dingin dan warna langit berubah seiring dengan kembalinya matahari ke peraduannya. Rasanya cepat sekali kami harus kembali ke rumah.

“Sabar, satu foto lagi. Saya pegang kamera e, supaya seolah-olah candid,” bujuk Siska.

Satu foto dan berujung puluhan foto yang dilandasi dengan kata sabar, itulah yang kami berdua lakukan. Langit tidak lagi memunculkan warna indahnya. Gemerlap lampu-lampu pijar dari Kota Maumere kembali menciptakan kekaguman baru bagi kami.

Sembari bersiap-siap pulang, datanglah seorang kakek tua menghampiri kami. Wajahnya keriput dengan topi bundar melekat di kepala. Usia sekitar enam puluhan tahun. Senyuman di balik wajah keriputnya membuat kami pun tersenyum dan menyapanya. Singkat cerita, kami berkenalan. Kakek itu bercerita tentang kehidupannya. Ia merupakan salah satu petani di desa ini. Dua jerigen yang berada di kedua tangannya menjelaskan kepada kami bahwa ia hendak pergi untuk mengambil air.

Seorang kakek tua di kaki Gunung Kimang Buleng. Foto/INDAHMUKIN

Setelah berpamitan dengan kakek tersebut, kami melanjutkan perjalanan pulang. Udara semakin dingin. Kabut berlomba-lomba menemani perjalanan. Motor yang kami tumpangi sepertinya betah untuk tetap tinggal di gunung ini. Karena ini motor milik mama, saya pun mencoba membujuknya, tetapi hasilnya nihil. Motor kami mogok dan kami pun harus mendorongnya melewati jalanan yang curam dan gelap. Pepohonan yang begitu tinggi dan semak-semak belukar di sepanjang jalan membuat suasana saat itu sangat mencekam. Tidak ada penduduk desa di sekitar kaki Gunung Kimang Buleng. Pemandangan cantik yang tadi kami nikmati pun berubah menjadi pemandangan yang sangat gelap.

“Jangan panik. Kita pasti dapat bantuan,” kata Siska.

Sesekali kami mencoba menyalakan motor itu, tetapi hasilnya sama saja. Kami terpaksa berjalan kaki sambil mendorong motor itu di tengah kegelapan malam. Alam mempunyai cara tersendiri untuk memberikan kami pengalaman dan pelajaran. Alam mengajarkan kepada kami bagaimana bisa dekat dan mengerti kegelisahan mereka.

Sesekali kami tertawa saat bernostalgia tentang kejadian-kejadian lucu yang pernah kami alami hanya untuk sekedar menghilangkan rasa takut dan cemas. Padahal, saat itu, nafas kami terengah-engah dan jantung berdetak dengan sangat cepat.

Dari kejauhan, tampak seorang lelaki berumur empat puluhan membawa sebuah ember putih. Kami segera mendekati lelaki itu sembari berharap ada bantuan yang bisa kami dapatkan. Awalnya, saya ragu mendekati lelaki itu karena daerah ini jauh dari pemukiman warga. Ternyata, keraguan saya tak beralasan. Lelaki itu sama seperti kami. Kami pun menceritakan musibah yang sedang menimpa kami. Laki-laki itu pun menawarkan diri untuk membantu kami. Dengan sabar, dia menerangi kami melalui cahaya lampu motornya. Rasa takut dan kecemasan kami hilang begitu saja. Sinar-sinar gemerlap lampu di Kota Maumere menenangkan hati kami.

Senyuman dan ucapan terima kasih menutup perjumpaan kami dengan lelaki itu. Kami tidak hanya menikmati pemandangan dan bermain bersama gumpalan awan, tetapi juga bertemu dengan orang-orang baru yang sangat baik. Gunung Kimang Buleng telah membuktikan kepada saya kata-kata leluhur bahwa pemandangan indah harus dinikmati dengan pengorbanan dan bahwa semua orang berhati mulia selalu ada di setiap sudut tempat yang ada di dunia ini.

*Mahasiswi Ilmu Komunikasi UNIPA Maumere

TERKINI
BACA JUGA