Jakarta, Ekorantt.com – Pimpinan Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) DPD RI mengikuti Rapat Kerja bersama Baleg DPR RI dan Pemerintah untuk mengevaluasi Prolegnas Prioritas RUU Tahun 2021 di ruang Baleg DPR RI, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta. Dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2021, terdapat 33 Rancangan Undang-Undang (RUU), di mana dua RUU di antaranya merupakan usulan DPD RI.
Dua RUU tersebut adalah RUU tentang Daerah Kepulauan dan RUU tentang Badan Usaha Milik Desa yang sama-sama diusulkan pada 17 Desember 2019.
Dalam evaluasi tersebut, para pimpinan dari masing-masing lembaga sepakat bahwa di tengah pandemi Covid-19 dan waktu masa sidang yang singkat, rasionalisasi jumlah Prolegnas prioritas perlu dipertimbangkan lagi. Namun persoalan waktu tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menunda-nunda pembahasan RUU yang sebenarnya sangat urgen. Satu dari dua RUU yang mendesak bagi DPD adalah RUU Daerah Kepulauan.
Angelius Wake Kako, Wakil Ketua PPUU, mengkritisi pembahasan RUU Daerah Kepulauan yang ia nilai sangat lambat dalam satu tahun terakhir.
Angelius menyesalkan progres RUU Daerah Kepulauan di parlemen yang bahkan belum masuk ke pembahasan tingkat I. Padahal, Surat Presiden (Surpres) sudah keluar sejak Mei 2020.
“Februari 2020 yang lalu, kita mengharapkan agar Pemerintah segera keluarkan Surpres. Tapi ketika itu sudah keluar, kok pembahasan hingga September tahun ini masih jalan di tempat?”, tutur Angelius dalam rilis yang diterima Ekora NTT pada 15 September 2021.
Bagi Angelius, persoalannya adalah, semakin pembahasan RUU Daerah Kepulauan tersebut tertunda, semakin lama juga keterbelakangan di daerah kepulauan dibiarkan.
RUU Daerah Kepulauan sangat penting didorong karena pembangunan di provinsi kepulauan tidak dapat disamakan dengan wilayah daratan.
“Kita butuh sarana dan prasarana bagi masyarakat di daerah kepulauan yang berbeda dengan wilayah daratan. Selain itu perlu dipikirkan juga optimalisasi potensi sumber daya kelautan di provinsi kepulauan yang selama ini belum diakomodir oleh UU yang lain”, tegas Angelius, Senator muda asal Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
NTT masuk daftar delapan provinsi kepulauan selain Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara.
“Kalau kita lihat Perpres Nomor 63 Tahun 2020, ada 62 daerah tertinggal yang ditetapkan. 62 daerah tersebut ada dalam 11 provinsi, di mana 4 di antaranya adalah NTB, NTT, Maluku, dan Maluku Utara yang merupakan wilayah kepulauan,” sebutnya.
Bagi Angelius, wilayah kepulauan ini memiliki sumber daya laut yang kaya. Keberadaan RUU Daerah Kepulauan tersebut dapat mengoptimalisasikan sumber daya tersebut untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di daerah Kepulauan.
“Kalau ini kita dorong, maka disparitas kesejahteraan antara wilayah Timur dan Barat Indonesia dapat diatasi,” ujarnya.
Agar tidak berlarut-larut, Angelius mengusulkan agar pembahasan RUU Daerah Kepulauan dipercepat. Selama ini ia menilai bottle neck pembahasan ada di DPR yang belum merampungkan keanggotaan Pansus RUU Daerah Kepulauan.
Menurut Angelius, setidaknya ada tiga fraksi di DPR yang belum memasukkan anggotanya ke dalam Pansus. Sebagai wakil ketua PPUU DPD RI, Angelius mendorong DPR segera menuntaskan persoalan keanggotaan Pansus tersebut.
“Tapi, bila di akhir 2021 juga belum beres, saya usul pembahasan tingkat I diserahkan ke Baleg DPR saja, agar pembahasan secara Tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD sebagai pengusul RUU segera dilaksanakan,” tutupnya.