Kisah Nyata Wanita Buta yang Hidup Seatap dengan Pria Berumur 117 Tahun di Flotim

Larantuka, Ekorantt.com – Wilhelmina Sabu Koten nampak begitu tegar menjalani hidup untuk merawat Lusia Letek Sukun (68), wanita tuna netra yang hidup satu atap dengan Dominikus Dote Ruron yang kini berusia 117 tahun.

Dominikus memiliki seorang istri dan dikaruniai empat orang anak yakni Pete Ruron, Utan Ruron, Padu Ruron dan Hendrikus Hali Ruron. Sayangnya, semua telah meninggal dunia puluhan tahun lalu.

Kini Dominikus hidup bersama dengan Lusia Letek, menantunya yang sudah mengalami gangguan pengelihatan. Mereka hidup di sebuah rumah semi permanen berdindingkan pelupuh yang sudah mulai lapuk beberapa bagiannya.

Nasib hidup Dominikus dan Lusia memang tidak menentu setelah masing-masing ditinggalkan pasangan hidup mereka, selamanya. Belum lagi kondisi kesehatan mereka sakit-sakitan. Gambaran kehidupan mereka seperti pepatah sudah jatuh tertimpah tangga pula.

Beruntung, Wilhelmina Koten selalu membuka hati yang tiap hari menyiapkan makanan hingga merawat mereka. “Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Matius 25:40)”. Begitulah kutipan Injil yang cocok disematkan kepada Wilhemina.

iklan

Di tengah desakan ekonomi keluarga yang terbilang pas-pasan, Wilhelmina Koten tetap tegar merawat Dominikus dan Lusia. Tak ada sedikit pun pengeluhan yang keluar dari bibirnya.

Sebagai ibu rumah tangga, Wilhelmina tahu betul bagaimana menyempatkan waktu bagi keluarga dan mengurus anak-anaknya, hingga mencari nafkah lantaran suaminya masih mengaduh nasib di tanah perantauan.

Di sisi lain, ia juga harus membiayai pengobatan Dominikus dan Lusia Sukun. Bahkan, setiap bulan ia harus merogoh saku demi membiayai pengobatan mereka.

“Kadang mereka sakit kepala. Saya terpaksa berhenti kerja di kebun. Saya harus rawat mereka,” katanya.

Wilhelmina, sedikitnya memang memiliki hubungan keluarga dengan Dominikus dan Lusia. Namun, ia harus berusaha keras, memutar otak demi kehidupan keluarga dan anak-anaknya.

Jarak rumah mereka tak begitu jauh, bahkan dapat dijangkau dengan sepandang mata. Ia bercerita, setiap pagi ia harus bergegas ke rumah Dominikus untuk menyiapkan makan. Belum lagi ia harus mengocek saku membeli kateter yang dipasang kepada Dominikus dua kali dalam sebulan.

“Tiap satu bulan, bapak Domi harus pasang keteter 2 kali dengan biaya 50.000 untuk dua kali pakai,” kisah Wilhelmina.

Wilhemina tak mengingat persis perjuangannya merawat Dominikus dan Lusia sejak ditinggalkan istri dan suami mereka. Diperkirakan sudah hampir puluhan tahun ia menjalani rutinitas tersebut.

“Jadi setiap pagi saya ke rumah bapak Domi. Pagi-pagi sekali itu, saya datang masak nasi untuk mereka. Mereka sering sakit, sakit kadang seminggu dua kali,” tutur Wilhelmina.

Saling Membantu

Langkah Dominikus Ruron kian gontai. Tubuhnya ringkih dan cara bicaranya agak sedikit gemetaran. Hal itu yang  membuat dirinya tak banyak bergerak dan berpindah lokasi. Ia bahkan masih menggunakan tongkat kayu sebagai penopang saat berjalan. Sementara Lusia Letek terlihat meraba-raba beberapa area di sekitar yang sudah dihafalnya.

Dominikus berkata, Lusia Letek ialah anak mantunya. Keterbatasan penglihatan, membuat keduanya kerap saling membantu. Saat Lusia kesulitan mencedok air minum, maka Dominikus turut ambil bagian membantunya.

Meski demikian, seluruh ruangan bagian dalam rumah sudah dihafal oleh Lusia Letek. Hal itu mempermudah baginya saat berpindah lokasi atau mengambil barang keperluaanya.

Dengan hidup sebatang kara, tanpa anak, mereka tetap mengayuh kerasnya samudera kehidupan. Bahkan, tak pernah mengeluh meski saat sedang sakit.

“Jangan buat susah orang lain”, begitulah rahasia umur panjang bagi Dominikus, laki-laki tua yang merekam betul peristiwa kelam antara Lamatou dan Lewohala pada  tahun 1910 silam.

“Jangan buat susah orang lain, jangan suka marah,” ujar Dominikus.

Meski usianya semakin uzur dan pendengarannya hampir lenyap, ia masih saja menangkap percakapan kami di  rumah setengah tembok itu.

“Kalau saya datang lihat bapa belum bangun pagi berarti saya tahu dia lagi sakit,” tandas Wilhelmina di sela-sela pembicaraan kami.

Yurgo Purab

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA