Jakarta, Ekorantt.com – Anggota DPR RI Komisi IV Fraksi PDI Perjuangan, Yohanis Fransiskus Lema menagih komitmen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar segera membuka data izin pelepasan kawasan hutan.
Diketahui, hingga saat ini KLHK belum melaporkan rincian data perusahaan yang belum mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan sebesar 3,2 juta hektare. Data yang baru diberikan oleh KLHK dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Menteri LHK Ibu Siti Nurbaya pada Kamis lalu (3/2/2022) seluas 713 ribu hektare.
“Artinya, masih ada sekitar 2,487 juta hektare data yang belum diberikan rincian nama-nama perusahaannya. Dalam Raker sebelumnya, KLHK berjanji akan membuka semua data 3,2 juta hektare yang belum mendapat izin. Kami tagih janji KLHK tersebut dalam Raker tersebut,” ujar politisi muda yang akrab dipanggil Ansy Lema di Jakarta, (Jumat 2/2/2022).
Buka Data Izin Pelepasan Hutan
Menurut Ansy, KLHK sebagai penjaga konservasi seharusnya memiliki data-data rinci terkait izin pelepasan kawasan hutan. Tidak bisa KLHK secara gampang beralasan mengategorikan 3,2 juta lahan yang tidak berizin tersebut sebagai “data indikatif.” Itu berarti, KLHK mau mengatakan bahwa data 3,2 juta hektare kawasan hutan tanpa izin pelepasan merupakan perkiraan, bukan data objektif.
Padahal, sebelumnya KLHK justru mengakui bahwa pada tahun 2019 tercatat 2,611 juta hektare dari 3,372 juta hektare kawasan hutan untuk kelapa sawit merupakan lahan tanpa proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Artinya, pelepasan hutan tersebut riil dan praktik ilegal telah terjadi sekian tahun.
“Ironisnya, KLHK juga tidak mampu membuktikan melalui data obyektif bahwa 3,2 juta hektare tersebut hanya sebagai perkiraan atau data indikatif. Jangan sampai ini hanya menjadi dalih KLHK untuk tidak membuka data atau tidak transparan kepada publik,” tegas Ansy.
Ansy menegaskan, 3,2 juta hektare kawasan hutan yang tidak berizin bukan angka yang kecil. Karena itu, KLHK harus membuka data tersebut agar menjadi rujukan obyektif dalam membuat penindakan tegas kepada individu ataupun korporasi yang melakukan aktivitas ilegal di kawasan hutan.
Ansy menambahkan, aktivitas ilegal di kawasan hutan tidak saja merusak alam, melainkan secara ekonomi juga merugikan negara karena negara tidak mendapatkan pendapatan dari aktivitas bisnis yang dilakukan korporasi maupun perorangan di kawasan hutan. Padahal, keuntungan yang diperoleh pasti sangat besar.
Penindakan Tegas
Apalagi Presiden Joko Widodo baru-baru ini menginstruksikan KLHK untuk mencabut ratusan izin sektor kehutanan seluas jutaan hektare. Pertama, pencabutan SK Konsesi Kawasan Hutan selama periode september 2015 hingga Juni 2021 yang berjumlah 44 SK seluas 812.796,93 hektare.
Kedua, pencabutan 192 unit perizinan/perusahaan seluas 3.126.439,36 hektare.
Ketiga, evaluasi dan penertiban izin usaha keseluruhan yang dimulai dengan 106 unit perizinan/perusahaan seluas 1.369.567,55 hektare.
“Semangat Presiden menertibkan perizinan di sektor kehutanan harusnya menjadi semangat KLHK. Namun, hal ini harus didukung data yang transparan dan obyektif oleh KLHK, sehingga kebijakan yang diambil tepat untuk melindungi hutan,” tambahnya.
Akhirnya, Ansy mengingatkan bahwa izin pelepasan kawasan hutan sangat erat terkait dengan kepentingan konservasi keanekaragaman hayati. Masa depan bumi sebagai rumah bersama sangat ditentukan oleh kelestarian hutan dan ekosistemnya. Maka KLHK harus menindak tegas perusahaan yang melakukan aktivitas di hutan tanpa izin.
“KLHK harus melarang dan memidanakan korporasi/perorangan yang tanpa izin melakukan aktivitas di kawasan hutan. Serentak KLHK menertibkan bahkan mencabut izin korporasi yang merusak hutan dan mencemari lingkungan hidup,” tutupnya.