“Berbuat Baik adalah Cara Kami agar Diterima Masyarakat” : Kisah Perjuangan Transpuan di Flores Timur Melawan Stigma

Larantuka, Ekorantt.com – “Saya tidak mempersalahkan Tuhan. Tapi, kenapa harus ada rasa seperti ini. Kenapa saya punya suara, cara jalan, dan naluri seperti perempuan? Kenapa saya mencintai sesama jenis?”

Echa Weruin, transpuan 29 tahun di Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), selalu merasa bersalah ketika mulai menyukai ‘sesama jenis’ saat ia memasuki usia remaja.

Ia tidak berani terbuka tentang apa yang ia rasakan saat itu. Echa hanya bisa bergumam dan memilih berjuang sendiri melawan keinginan dan naluri yang bertentangan dengan identitas gender yang ia peroleh sejak lahir. 

Lingkungan masyarakat dan sekolah tidak memberikan rasa aman baginya. Ia selalu mendapat stigma dan diskriminasi.

“Saat saya awal masuk SMA, ada guru yang bilang, ‘kamu boleh sekolah di sini, tetapi jangan buat diri,'” cerita Echa. “Saat itu mental saya down karena baru masuk sudah distigma.”

iklan

Echa masih ingat betul saat ia melarikan diri dari sekolah dan memilih berhenti melanjutkan pendidikan. Saat itu, salah satu guru marah dan mengeluarkan kata-kata yang membuatnya tersinggung.

“Guru itu bilang, Tuhan menciptakan bla-bla…, kita tersinggung kakak. Saya bilang ‘saya sekolah  di sini, saya punya hak bicara. Ibu, kalau saya buat salah, ibu omong kita baik-baik.’ Dia tidak terima. Dia pukul saya pakai kayu,” kisahnya. “Mulai saat itu sampai sekarang, saya tidak sekolah lagi.”

Stigma dan diskriminasi sosial yang ia alami sejak masa remaja memupuskan harapan Echa untuk merengkuh pendidikan yang lebih tinggi.

Setelah berhenti sekolah, Echa memutuskan untuk belajar tata rias. Ia mulai berkenalan dengan sejumlah transpuan yang membuka usaha salon kecantikan di Flores Timur. Dari teman-temannya itu, ia mendapat banyak pengetahuan tentang tata rias.

Ia kemudian memutuskan untuk membuka usaha salon kecantikan. Dari usaha itu, kini Echa bisa hidup mandiri.

Membuka Diri dan Berbuat Positif

Echa berani menunjukkan identitasnya sebagai transpuan sejak ia belajar tata rias. Bersama teman-teman transpuan lain, ia menjadi lebih percaya diri.

Ia mulai berani berpenampilan feminim sesuai keinginannya sejak kecil. Echa juga berani menunjukkan bakat bernyanyi hingga kemudian mendapat banyak tawaran untuk tampil pada acara-acara pesta seperti pesta pernikahan dan pesta-pesta lainnya.

Echa juga kemudian bergabung dengan Ikatan Waria Asal Larantuka (IKWAL) – sebuah komunitas khusus transpuan di Flores Timur. Komunitas ini sudah memiliki 20 anggota.

Anggota IKWAL berpose bersama usai mengikuti salah satu acara. (Foto: Echa)

Di komunitas ini, ia bersama kawan-kawannya melakukan berbagai kegiatan positif. Tujuannya, supaya stigma terhadap transpuan di tengah masyarakat bisa terkikis.

“Kita harus berbuat sesuatu, yang mana supaya orang mengakui keberadaan kita. Kita harus tunjukan lewat perbuatan baik,” kata Echa.

Setiap Rabu, IKWAL menjalani kegiatan rohani bersama seperti ibadah dan lainnya. Kegiatan ini dilakukan secara bergilir di rumah-rumah anggota IKWAL.

Para anggota IKWAL yang semuanya menganut Katolik ini juga terlibat dalam kegiatan-kegiatan gereja seperti ikut serta dalam kegiatan doa dan meditasi bersama pastor paroki.

Selain itu, IKWAL juga aktif dalam berbagai gerakan sosial kemasyarakatan seperti memberikan bantuan kepada warga yang terdampak badai seroja di Adonara.

Dukungan

Romo Hendra Kleden, Pr, Pastor Rekan Paroki Bama, Keuskupan Larantuka mengatakan, Paus Fransiskus telah menyatakan bahwa gereja harus lebih terbuka dan terpanggil untuk menghormati transpuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

“Pandangan saya sesuai dengan spirit sinode para uskup, di mana gereja ada dalam dunia dan harus menjangkau dan merangkul pelbagai individu, kelompok, komunitas dan lembaga manapun, termasuk terlibat untuk mendengar dan berjalan bersama dengan mereka yang tersingkir, tertindas dan terbuang dalam ruang-ruang publik karena mendapat sitgma atau pandangan yang buruk dari kehidupan bersama, termasuk di dalamnya para transpuan,” katanya.

Gereja, kata dia, harus melindungi, menghormati dan mencintai transpuan sebagai bagian yang tak terpisahkan, sembari tetap melakukan animasi, penguatan, pendampingan dan memberi ruang positif bagi mereka untuk berkarya dan berbagi dalam, bersama dan melalui gereja. 

“Di samping itu sosialisasi kepada masyarakat publik yang erat dan khas dengan dinamika adat budayanya maupun faktor-faktor lain yang mempengaruhi dunia keberadaan kelompok transpuan ini harus digemakan dan digaungkan agar masyarakat memiliki pandangan positif terhadap kehadiran mereka dan tetap memberi ruang bagi mereka untuk berekspresi dan mengekspresikan diri dalam pelbagai bidang kehidupan yang dapat membawa perubahan yang baik dalam kehidupan publik,” ujar pastor yang juga membidangi urusan perkawinan dan perceraian di Keuskupan Larantuka ini.

Anselmus Atasoge, dosen Sekolah Tinggi Pastoral (STP) Reinha Larantuka mengatakan, transpuan adalah manusia dalam arti yang penuh, tidak sebagai manusia yang menyimpang dari keutuhan pribadi. 

“Dari pihak mereka, mereka menyadari bahwa mereka terlahir dalam keadaan yang demikian. Jika demikian maka dalam diri mereka melekat identitas sebagai ciptaan Tuhan. Dengan posisi ini, maka mereka harus dihormati seperti manusia lainnya,” kata mantan sekretaris Dewan Pengurus Paroki San Juan Lebao, Keuskupan Larantuka tersebut.

Menurutnya, saat ini, institusi gereja di Larantuka dan Flores Timur umumnya, mulai membuka diri dan menerima keberadaan kelompok transpuan sebagai sesama ciptaan Tuhan yang harus dihormati. 

Pandangan atau sikap yang demikian dari institusi agama terhadap transpuan, kata dia, menjadi penting agar “tidak ada lagi aksi diskriminasi terhadap kelompok ini.”

“Kadang mereka (transpuan) menghadapi stigma dan tekanan sosial yang pada gilirannya memosisikan mereka sebagai kaum yang dipandang dengan sebelah mata,” ujarnya.

Ia mengatakan, hal-hal baik yang dilakukan transpuan, baik sebagai pribadi maupun sebagai kelompok, tidak sekadar untuk menguatkan eksistensi mereka, tetapi juga sebagai bentuk perjuangan untuk keluar dari stigma-stigma negatif yang dilekatkan pada transpuan.

“Bagi saya, bisa jadi mereka ‘lebih suci dan bermartabat’ dari manusia-manusia lain yang selalu memandang diri suci dan benar hanya dengan kata-kata yang sangat jauh panggang dari api perbuatan nyata,” pungkasnya.

Sementara Anggota DPRD NTT, Anna W. Kolin mengatakan para transpuan yang ada di Flotim adalah sosok yang unik dan punya ciri khas tersendiri. 

“Unik maksudnya bahwa mereka selalu tampil sangat percaya diri kapan pun dan di mana pun mereka berada. Dan mereka sangat menjaga privasi mereka masing-masing tanpa ada rasa sirik di antara mereka, karena memang mereka semua pekerja keras,” ujar Politisi PKB yang kini menjadi pendamping kelompok IKWAL tersebut.

“Coba kita lihat mereka satu persatu, tidak ada satu pun yang menganggur. Mereka semua dengan segala hobi dan talenta yang mereka miliki, yang tentunya menghasilkan uang untuk membiayai kehidupan mereka,” imbuhnya.

Para transpuan di Kabupaten Flores Timur, kata dia, tidak menggantungkan diri pada orang lain. 

“Mereka sangat hebat dan luar biasa sehingga tidak salah kalau  kita sebut mereka unik,” ujarnya.

Menurut Anna, para transpuan di Flores Timur selalu memupuk kebersamaan. Mereka bersatu dalam wadah IKWAL.

“Mereka begitu solid dalam diskusi-diskusi internal terkait organisasi mereka sehingga saya anggota DPRD NTT sangat bangga,” ucapnya. 

“Saya  menghimbau kita semua agar belajar pada para transpuan ini karena walaupun di tengah-tengah perekonomian lesu akibat covid 19, mereka tetap aman-aman saja, memang ada guncangan juga, tapi hanya sebentar saja karena  mereka sudah terbiasa hidup  mandiri tanpa ada sifat ketergantungan,” tambahnya.

Anna meminta kepada masyarakat untuk menjauhkan sikap  diskriminasi terhadap para transpuan karena “mereka tidak pernah mengusik kita semua.” 

“Mereka juga tidak pernah mau seperti itu tapi lingkungan sudah membentuknya dan kita tidak  perlu saling menyalahkan, tapi yang paling penting adalah kita harus support mereka, kita harus bekerja sama karena mereka juga makhluk seperti kita yang lain,” katanya.

Echa mengatakan, saat ini masyarakat Flores Timur sudah mulai menerima kehadiran transpuan.

“Penerimaan masyarakat terhadap torang (kami) mulai pelan-pelan terbuka. Jadi, tidak lagi menjadi Tuhan atas diri sendiri,” ujarnya. “Saya selalu omong teman-teman agar bisa menghargai diri sendiri. Jadi  transpuan itu kebanyakan orang melihat dari penampilan. Jadi, kita tidak harus menampilkan sensasi tapi prestasi.”

TERKINI
BACA JUGA