Di Mana Tuhan Saat Kita Butuh?

Oleh: Yurgo Purab*

Bila seseorang mengalami penderitaan, boleh jadi ia kesal dengan Tuhan. Mengapa Tuhan mendatangkan musibah kepada saya, juga kepada saudaraku yang baik?

Pertanyaan ini seakan-akan menegaskan, orang baik tidak perlu mendapat celaka, cobaan atau pun penderitaan.

Ketika saya berlibur di Ile Ape, Lembata, saya menemukan gugatan serupa. Sepupu saya, Yohanes Ola Kobu, siswa SMA di Atambua meninggal tersengat listrik. Tak hanya itu, adik kandung saya Nikolaus Wurin juga meninggal saat mengadu nasib di tanah perantauan.

Nasib hidup manusia kita tak tahu dan Tuhan memberi terbaik untuk itu. Kepergian mereka kadang bikin kita mengeluh, sesal, marah dan cemberut dengan Tuhan. Apakah kita kurang melayani Tuhan? Atau lupa melayani sesama?

iklan

Segudang Tanya

Kepergian mereka menyisakan segudang pertanyaan di batok kepala setiap orang. Apakah ini rencana Tuhan bagi keluarga?

Di hadapan musibah, manusia tak sungkan memprotes Tuhan, mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan menimbulkan sikap skeptis terhadap penyelenggaraan Tuhan.

Betulkah Tuhan sungguh ada? Ataukah Tuhan hanyalah sekadar dongeng yang diceritakan dalam Kitab Suci agama berabad-abad tahun lalu? Jika memang Tuhan itu tidak ada, ke mana manusia mengaduh dan ke mana manusia pergi sesudah kematian menjemput?

Ketika menjalani praktik TOP di Paroki Santo Martinus Hinga, Adonara, saya mendapati gugatan yang sama datang dari sebuah keluarga yang mengalami kematian anak laki-laki tunggal mereka.

Anak semata wayang itu baru saja menamatkan pendidikan S-2 bagian Farmasi. Sebelum wisuda, ia mengalami kondisi kritis gara-gara sakit lambung. Nyawa anak itu tidak tertolong dan meninggal dunia. Keluarga merasa sangat terpukul atas kejadian tersebut.

Waktu itu, saya diminta oleh Ketua Dewan Stasi memimpin ibadat penguburan. Saya sempat bingung. Pikiran saya tak henti-henti bekerja memikirkan bagaimana caranya agar saya meneguhkan keluarga duka. Saya sempatkan diri untuk berdoa memohon kekuatan Tuhan.

Setelah berdoa, saya mendapat inspirasi dari sebatang pohon rambutan yang tumbuh di depan rumah. Saya saksikan pohon rambutan itu berbuah lebat dan berjatuhan di tanah.

Saya katakan kepada keluarga yang berduka begini: “Bapa dan mama, keluarga berduka yang terkasih. Lihat pohon rambutan ini. Keluarga menanam dan merawat pohon ini hingga tumbuh besar. Pohon ini tumbuh melewati pelbagai proses. Ketika pohon ini berbuah, kadang buahnya dipetik keluarga, dipetik anak-anak sekolah, juga dimakan kelelawar,” kataku kala itu.

“Begitu pula manusia. Kita boleh mengklaim bahwa anak adalah buah paling manis, yang kita rawat, kita pelihara, dan kita penuhi kebutuhan sekolahnya, namun pada akhirnya bukan kita yang petik hasilnya tetapi Tuhan yang petik hasilnya,” tambahku.

Selanjutnya, saya menyertakan pendasaran biblis dari teks tentang Abraham yang setia dan rela menyerahkan anaknya Isak untuk persembahan bagi Tuhan. Kerelaan itu menandakan iman Abraham akan Allah.

Dari cerita di atas, saya berpikir bahwa pertanyaan tentang keberadaan Tuhan di saat manusia tertimpa musibah adalah pertanyaan yang tidak sekadar menuntut logika. Pertanyaan ini menantang iman manusia.

Gugatan

Harold S. Kushner, dalam bukunya “When Bad Things Happen to Good People” menulis dengan hangat kisah kematian putranya.

Segala bentuk protes dan tuduhan terhadap Tuhan atas kematian putranya mengharuskan ia bergumul dan menemukan Tuhan dalam suatu pemahaman yang lain: “Tuhan yang justru menangis bersama kita, tidak meninggalkan kita, dan bisa mengisi kebutuhan terdalam dari hati kita yang sedang luka.”

Situasi-situasi demikian melahirkan gugatan. Manusia kerap kali menyalahkan Tuhan atas peristiwa hidup, semisal kecelakaan, tantangan, cobaan yang menimpa dirinya dan keluarga.

Ada saja cobaan yang datang silih berganti, yang menuntut manusia untuk mengeluh dan mempertanyakan kebesaran Tuhan.

Lain halnya ketika manusia merasa diri tidak dicintai, tidak dipercaya, tidak berguna, dan tidak diperhatikan oleh keluarga maupun sesama di sekitarnya. Manusia bisa jadi lari dari kenyataan hidup.

Krisis kasih sayang, krisis perhatian dan penderitaan seakan membuat manusia gerah dan mengambil jalan pintas, yakni ingin bunuh diri.

Kasus-kasus ini melahirkan banyak persepsi terhadap keterlibatan Tuhan dalam hidup manusia. Kebimbangan terhadap keterlibatan Tuhan membuat manusia terjebak pada sikap tidak percaya dan kehilangan arah hidup.

Sebenarnya, Tuhan selalu berinisiatif mengundang manusia. Namun manusia tidak menyediakan tempat di hatinya untuk Tuhan. Manusia tidak membiarkan Tuhan masuk dan bersemayam.

Tuhan juga selalu mengundang manusia untuk terlibat sebagai rekan kerja, partner dalam karya keselamatan-Nya. Tentu hal itu membutuhkan jawaban kepastian manusia.

Manusia yang merasa diri selalu bersalah, seharusnya mengundang Tuhan masuk ke dalam kediaman hatinya yang kadang retak dan penuh persoalan tanpa henti. Singkatnya, manusia membutuhkan Tuhan sepanjang hidup.

Mencari Tuhan yang Kontekstual

Kitab Talmud (tahun 200S M-500 SM) menjelaskan ujian yang dijalani Abraham, yakni; “Jika Anda pergi ke pasar, maka Anda akan melihat penjaja keramik akan memukul keramiknya dengan tongkat untuk memperlihatkan betapa kuat dan padatnya keramik itu. Tetapi penjaja yang cerdik hanya akan memukul keramik yang benar-benar kuat, bukan yang rapuh. Jadi, Tuhan akan melakukan ujian dan cobaan yang sama hanya kepada orang-orang yang Tuhan tahu akan mampu menjalaninya agar setelah ujian itu berlalu, orang tersebut dan orang-orang lain di sekelilingnya bisa melihat bagaimana teguh iman mereka” (Harold S. Kushner, 1988: 30).

Dengan begitu, manusia harus percaya bahwa Tuhan yang manusia kenal bukan Tuhan yang berdiam diri, Tuhan yang tinggal di dalam teks-teks teologi, tetapi Tuhan yang selalu hadir dalam konteks hidup manusia.

Ia hadir di tengah hidup manusia dan menguji iman umat-Nya. Tuhan hadir di dalam diri orang-orang yang Ia anggap kuat dan mampu untuk menjalani cobaan dengan setia. Dan, setiap orang yang memandang kesetiaan, mereka juga memandang Tuhan Sang pencipta.

“Tuhan tidak pernah meletakkan beban di atas pundak kita lebih dari yang bisa kita pikul. Tuhan membiarkan hal itu terjadi pada diri kita, karena Ia tahu bahwa kita cukup kuat untuk menanggungnya.”

Manusia percaya, apa pun cobaan, tantangan hidup, penyakit, dan penderitaan jika dijalani dengan iman kepada Tuhan, maka manusia dapat memetik hikmah di balik rasa sakit, derita, air mata, dan luka. Sebab, Tuhan lebih dahulu terluka untuk manusia dan bahkan sampai mati di kayu salib.

Tuhan yang diimani adalah Tuhan yang hadir, terlibat di dalam penderitaan manusia, dan menghadirkan diri saat manusia mengalami situasi batas, krisis identitas, dan juga putus asa.

Oleh karena itu, cara yang paling tepat adalah manusia harus selalu mencari Tuhan dan menghadirkan Tuhan di dalam setiap perjumpaannya dengan siapa pun. Dengan demikian, bukan manusia yang bekerja, tetapi Tuhan yang bekerja di dalam diri manusia dengan segala kesanggupan manusia yang terbatas.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA