Berdayakan Perempuan Lewat Olahan Sorgum

Borong, Ekorantt.com – Biarawati Katolik, Suster Maria Irmina, KFS (Kongregasi Fransiskanes Sambas) dan Matildis Maria Jelina (59) sibuk mengolah tepung sorgum menjadi susu sorgum, kue, stik, puding sorgum, dan teripang sorgum di Kampung Peot, Kelurahan Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

“Susu sorgum dan kue berbahan dasar sorgum memiliki protein tinggi, sedangkan kadar gula dalam sorgum hanya 0,4 persen,” ungkap Suster Maria kala disambangi Ekora NTT beberapa waktu lalu.

“Pangan lokal sorgum yang merupakan warisan nenek moyang orang Manggarai Timur mampu mengatasi stunting, menekan laju penyakit diabetes dan meningkatkan kecerdasan otak anak,” sambung Matildis.

Sejak 2022 lalu, kata Suster Maria, keduanya mendorong Kelompok Tani Santa Clara Peot beranggota 15 perempuan untuk komit mengembangkan usaha pangan lokal, khususnya mengolah biji sorgum menjadi bahan makanan dengan gizi tinggi.

“Kami menangkap peluang yang disampaikan Presiden RI, Jokowi dan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat untuk menanam tanaman sorgum dan mengolahnya menjadi bahan makanan yang memiliki gizi tinggi,” tutur mereka.

iklan

Suster Maria berpendapat, kalau bukan sekarang memulai, kapan lagi memberdayakan sumber pangan milik sendiri.

Merawat Kearifan Lokal

Suster Maria dan Matildis rupanya memiliki visi dan misi bersama yakni merawat kearifan lokal di Kabupaten Manggarai Timur.

“Kaum perempuan sangat bekerja keras dalam merawat kearifan pangan lokal yang diwariskan leluhur orang Manggarai Timur. Kami juga merawat keberlanjutan dan keberlangsungan ketahanan pangan dalam keluarga dan menambah pendapatan ekonomi keluarga,” sebut Suster Maria.

Ia menegaskan, perempuan mesti membangun ketahanan pangan dan kemandirian ekonomi yang terus berlanjut. Atas tujuan mulia ini, pada 2010 lalu, pihaknya membentuk Kelompok Wanita Tani Sehati Peot yang berfokus mengolah pangan lokal berupa ubi tatas, keladi, pisang, kastela, anggur pisang dan sekarang berbahan sorgum.

“Semua bahan pangan lokal itu, kami bisa olah menjadi makanan, berbagai jenis kue karena kami (perempuan) memiliki kemampuan untuk mengolahnya,” jelasnya.

Dikatakannya, perjalanan kelompok mereka tidak mudah karena dari kelompok Wanita Tani Sehati perlahan menjadi Kelompok Tani Santa Clara Peot dengan prioritas tetap mengembangkan pangan lokal jenis makanan.

“Aktivitas kami mengolah pangan lokal agar kaum perempuan memiliki penghasilan dalam keluarga selain penghasilan dari suami, sebab tantangan ekonomi saat ini terus meningkat,” ucap Matildis diamini Suster Mari.

Menyikapi Perubahan Iklim

Saat ini, isu perubahan iklim menjadi sorotan, sebab banyak dampak dalam kehidupan nyata tentang perubahan iklim.

Keduanya sepakat bahwa kaum perempuan di pelosok Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki kemampuan untuk menyikapi krisis iklim lokal lewat pemberdayaan perempuan.

Dikatakan, salah satu tanaman yang tidak membutuhkan pupuk kimia adalah sorgum karena tahan segala cuaca.

“Saat ini kami tanam sorgum di sekitar rumah dan tanah lahan kering sebagai bahan dasar pangan lokal dan kami kekurangan bahan baku sorgum,” jelas Matildis.

Oleh karena kekurangan, keduanya membeli bahan baku sorgum dari Kampung Dampek, Kecamatan Lambaleda Utara dengan harga beras sorgum Rp30.000 per kilogram dan tepung sorgum seharga Rp25.000 per kilogram.

Peningkatan Ekonomi Keluarga dan Anggota

Suster Irmina dan Ibu Matildis menjelaskan, selain menjaga kearifan lokal dan perubahan iklim, pihaknya memperjuangkan peningkatan pendapatan ekonomi keluarga dan anggota kelompok.

“Hingga sekarang omzet kelompok sudah Rp5 juta di luar hasil untuk anggota kelompok itu sendiri. Sejauh ini bergabung di kelompok tani memiliki nilai positif untuk meningkatkan keterampilan mengolah pangan lokal sesuai tuntutan pasar,” jelasnya.

Dikatakan, Bupati Manggarai Timur, Agas Andreas pernah memesan 1.000 kotak pangan lokal dengan harga Rp10.000 per kemas kotak kue. Ada juga yang memesan 400 kotak kemas kue dengan harga bervariasi dari Rp5000 hingga Rp15.000.

“Variasi kue dalam satu kotak kue, ada pisang, sorgum, ubi talas, ubi keladi, ubi kayu. Intinya pangan lokal. Kami tidak mengolah kue dari bahan tepung yang dijual toko. Kami mengolah dengan bahan dasar pangan lokal. Itu komitmen kami,” jelasnya.

Namun, keduanya berjuang dalam tantangan. Suster Maria bilang, mereka memiliki kendala pada saat pemasaran dan juga bagaimana mendapatkan dana secukupnya. Belum ada pasar di Manggarai Timur yang khusus menampung pangan lokal, kata dia.

“Selama ini kami jual ke Jakarta, Labuan Bajo, Ruteng, dan beberapa toko kecil di Kota Borong karena hubungan relasi saja. Kami juga sudah mempromosikan ke kantor-kantor di pusat perkantoran Lehong. Butuh perjuangan keras untuk mengembalikan kebiasaan masyarakat yang sudah konsumsi nasi,” ungkap Suster Maria.

“Khusus saya, sudah memiliki pendapatan dari hasil jual pangan lokal sorgum dengan hasil bersih berkisar Rp600.000 sampai Rp700.000 sebulan. Saya biasa jual di kios depan rumah,” akui Matildis.

Keduanya juga mengaku pernah mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur untuk peralatan kerja untuk mengolah pangan lokal.

“Harapan kami, bisa diperhatikan supaya dikenal lebih banyak lagi ke depan,” pungkas Matildis.

TERKINI
BACA JUGA