Kota Bekasi, Ekorantt.com– Sejumlah aktivis 98, aktivis mahasiswa, badan eksekutif mahasiswa kampus dan pemuda Kota Bekasi mengadakan kegiatan bedah buku Hitam Prabowo Subianto: Sejarah Kelam Reformasi 1998 dan Ancaman Demokrasi Indonesia menjelang pemilu 2024 mendatang. Kegiatan bedah buku berlangsung di Kopi Raga STIES Mitra Karya, Kota Bekasi Jawa Barat pada Selasa, 9 Januari 2024 sore.
Hadir pada kegiatan tersebut sejumlah narasumber mulai dari aktivis 98 dan pegiat HAM Irwan Suhanto, penggerak sosial kerakyatan Hari Purwanto, pegiat pemilu dan demokrasi Hasnu Ibrahim, akademisi Hasanuddin, dan aktivis milenial Rahbar Ayatullah.
Pegiat HAM dan sosial politik Irwan Suhanto mengatakan, negara ini akan menghargai kemanusian, dan menghargai demokrasi selama telah mengadili dan pelaku pelanggar HAM.
“Selama pelanggar HAM seperti Prabowo dan kawan-kawan ini belum diadili secara hukum saya pikir Prabowo belum layak untuk mencalonkan diri sebagai presiden di bangsa ini,” jelas Irwan sebagaimana dilansir dalam keterangan tertulis yang diterima Ekora NTT, Rabu, 10 Januari 2024.
Irwan berkomitmen, akan terus menjadi juru bicara rakyat dan mendesak pertanggungjawaban negara untuk mengembalikan 13 kawannya yang diculik dalam aksi unjuk rasa memperjuangkan reformasi tahun 1998 silam.
Bahkan, lanjut Irwan, beberapa aktivis 98 di lingkaran Prabowo Subianto seperti Budiman dan kawan-kawan begitu tega menjual prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai kemanusian di tengah penculikan terhadap aktivis 98 yang belum dikembalikan hingga kini.
“Saya menantang Prabowo untuk menemui massa aksi kamisan ke 801 di depan istana negara besok. Agar clear sejauh mana keterlibatan Prabowo pada penculikan aktivis 98 dan kerusuhan Mei 1998,” jelas Irwan.
Pegiat pemilu dan demokrasi Hasnu Ibrahim
menyampaikan penulis buku Hitam Prabowo Subianto: Sejarah Kelam Reformasi 1998 dan Ancaman Demokrasi Indonesia ini adalah aktivis 98.
Hasnu mengaku, Buya Azwar telah berhasil mengingatkannya sebagai pegiat pemilu dan demokrasi yang lahir pasca-reformasi, di mana pada saat Orde Baru Rezim Soeharto terjadi kasus penculikan aktivis, kerusahanan Mei 1998, tragedi berdarah, upaya kudeta terhadap Presiden Bj. Habibi, tragedi berdarah di Timor-Timur dan Papua.
Beberapa hal tersebut terungkap secara jelas dalam Buku Hitam Prabowo Subianto ini. Diduga kuat aktor sentralnnya, kata dia, adalah Prabowo Subianto.
Hasnu mengatakan, publik tentu bertanya-tanya; mengapa Prabowo hingga kini belum diadili? Tentu ini harus clear dijawab oleh Pemerintahan Presiden Jokowi.
Hasnu melanjutkan, kehadiran buku ini juga memberikan informasi penting kepada generasi muda, aktivis mahasiswa dan rakyat Indonesia secara luas bahwa pemilu 2024 adalah momentum yang baik untuk mengadili pelaku pelanggar HAM berat agar tidak terpilih.
Ia menuturkan, saatnya persatuan rakyat dibutuhkan dalam suksesi kepemimpinan politik nasional untuk menjegal agar pelanggar HAM tidak berkuasa.
Akademisi politik dan hukum Hasanuddin menyampaikan, situasi penghormatan Hak Asasi Manusia dan demokrasi dalam sembilan tahun terakhir mengalami penurunan amat sangat drastis dan mengalami situasi cacat demokrasi karena dikuasi oleh dinasti politik dan oligarki.
Hal ini, kata Hasanuddin, tentu berkorelasi dengan ruang kebebasan sipil yang kian tersumbat oleh hegemoni kekuasaan dan pengabaian Jokowi dalam menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang diduga melibatkan Prabowo Subianto.
Bahkan, kata Hasanuddin, kasus-kasus pelanggaran HAM Berat ini belum kunjung tuntas dan diselesaikan secara berkeadilan dan bermartabat oleh negara.
Ia melanjutkan, Presiden Jokowi telah meruntuhkan pilar-pilar negara hukum demi melestarikan kekuasaan.
Negara hukum dicirikan dengan empat pilar utama, pertama, penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedua, pengadilan yang independen. Ketiga, pemerintahan yang berdasarkan pada perundang-undangan. Keempat, pembagian kekuasaan (sharing power).
“Empat pilar negara hukum ini ambruk dan dirusak oleh syahwat kekuasaan demi melestarikan kekuasaan di dapur keluarga, anak, mantu, kolega dan parahnya berkompromi dengan pelaku pelanggar HAM berat,” jelas Hasanuddin.
Aktivis milenial Rahbar Ayatullah menuturkan, fakta-fakta dan sejarah tersebut telah jelas dan terang benderang. Tapi komitmen negara dalam menyelesaikan itu belum terlihat.
Milenial dan Gen Z, kata Rahbar, pemilih terbanyak dalam pemilu 2024 mendatang. Karena itu, ia mengajak agar memilih pemimpin yang menghargai demokrasi dan tidak memiliki rekam jejak pelanggaran HAM berat masa lalu.
Rahbar menyerukan, situasi tersebut tentu saja mengundang kemarahan publik. Semua pihak tentu saja marah dan bertanggung jawab untuk menggagalkannya agar tidak terjadi pada pemilu 2024 mendatang.