Masyarakat Adat ‘Berjuang Sampai Mati’ Walau Diperintahkan Keluar dari Tanah Eks HGU Nangahale

Ia berharap, melalui mediasi, tanah yang menurut mereka sebagai warisan leluhur itu dapat mereka tempati.

Maumere, Ekorantt.com – Masyarakat adat Suku Soge tetap mempertahankan tanah eks hak guna usaha (HGU) Nangahale dan tinggal di bekas reruntuhan rumah mereka pasca-penggusuran oleh PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) pada Rabu, 22 Januari 2025 lalu.

Kepala Suku Soge Ignasius Nasi mengatakan, mereka bersama masyarakat adat memilih bertahan karena tanah eks HGU tersebut merupakan tanah warisan leluhur mereka dan “akan bertahan sampai mati di tanah itu.”

“Itu tanah kami, kami harus tinggal. Tidak boleh ada yang ambil,” kata Ignasius kepada wartawan dalam konferensi pers di Pendopo Chandraditya pada Kamis, 30 Januari 2025.

Baca Juga: Rumah Digusur Perusahaan Milik Gereja, Masyarakat Adat di Nangahale Terus Berjuang Pertahankan Tanah Leluhur

Penggusuran kali lalu telah merobohkan 120 rumah, antara lain 113 rumah di Pedan, lima rumah di Wairhek, dan dua rumah di Utan Wair. Masih terdapat ratusan rumah yang masih berdiri tegak di Wairhek dan Utan Wair, kata Ignasius.

“Kami tetap tinggal, sampai mati pun di situ. Setelah bongkar kami pasang. Silahkan saja gusur, kami akan bangun lagi,” ujarnya.

“Satu jengkal pun kami tidak akan geser dari tempat itu, apapun tantangannya.”

Pernyataan yang sama juga diungkapkan Anastasia Dua, Fidentia Fin, serta pasangan suami istri Yulens Gobang dan Yosefina Andia, yang turut hadir bersama Ignasius dalam konferensi pers tersebut.
 
Walaupun tidak memiliki dokumen sebagai bukti kepemilikan terhadap tanah eks HGU Nangahale, mereka meyakini bahwa tanah tersebut adalah warisan leluhur berdasar pada cerita turun temurun.

Di tempat itu, kata Ignasius, terdapat beberapa unsur budaya dan adat istiadat mereka berupa nuba nanga, gren mahe, dan gareng lameng.

Ignasius mengatakan, penyelesaian permasalahan keberadaan mereka di tanah eks HGU Nangahale sangat bergantung pada mediasi dari pihak pemerintah.

“Kalau bisa tiga pihak ini duduk bersama. Itu dari gereja, pemerintah, dan masyarakat adat. Tanpa itu, tidak bisa,” kata dia.

Ia berharap, melalui mediasi, tanah yang menurut mereka sebagai warisan leluhur itu dapat mereka tempati.

Utusan masyarakat adat Suku Soge yang mendiami tanah eks HGU Nangahale saat konferensi pers di Pendopo Candraditya, Kamis 30 Januari 2025 (Foto: Risto Jomang/Ekora NTT)

Sikap Pemkab Sikka

Terkait penggusuran dan polemik di tanah eks HGU Nangahale, Penjabat Bupati Sikka Alfin Parera enggan berkomentar saat ditemui Ekora NTT di Kantor Bupati Sikka pada Kamis, 30 Januari 2025.

Akan tetapi melalui rilis pers bertajuk “Penegasan terhadap Tanah HGU PT Krisrama dan Retribusi Tanah eks HGU” yang ditandatangani Alfin, pemerintah memerintahkan semua masyarakat yang masih mendiami tanah eks HGU Nangahale “segera keluar dari lokasi dimaksud.”

Pemerintah juga menganjurkan masyarakat untuk “dapat mengajukan permohonan hak atas tanah kepada Pemerintah Kabupaten Sikka melalui program redistribusi tanah.”

Karena “pemerintah melalui Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Nusa Tenggara Timur telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1/HGU/BPN.53/VII/2023 tertanggal 20 Juli 2023, yang memberikan Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT Krisrama.”

“Tanah yang dimaksud mencakup luas total 3.258.620 meter persegi, yang berada di dua wilayah: Desa Nangahale, Kecamatan Talibura seluas 2.409.520 meter persegi dan Desa Runut, Kecamatan Waigete seluas 849.000 meter persegi.”

Sebagai tindak lanjut, jelasnya, Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka pada 28 Agustus 2023 menerbitkan sepuluh sertifikat HGU, masing-masing bernomor HGU.0004 hingga HGU.0013.

“Pemberian sertifikat ini menjadi landasan hukum bagi PT. Krisrama selaku pemegang Hak yang SAH dalam pengelolaan tanah.”

Klaim Keberhasilan Reforma Agraria

Di tanah eks HGU Nangahale, kata Alfin, PT Krisrama telah melepaskan sebagian tanah seluas kurang lebih 542,86 hektar untuk diawasi dan diatur oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Sehubungan dengan pelaksanaan program reforma agraria, pemerintah melakukan penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan.”

“Reforma agraria dimaksud bertujuan untuk memastikan tanah yang menjadi objek reforma agraria (TORA) dapat diredistribusi atau dilegalisasi demi kemakmuran rakyat.”

Proses ini melibatkan berbagai langkah, termasuk pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) daerah yang bertugas mengkoordinasikan penyediaan TORA, pendataan aset, pemetaan akses, serta menyelesaikan konflik yang terkait.

Dalam pelaksanaan reforma agraria, kata dia, tugas GTRA antara lain mengkoordinasikan penyediaan TORA di tingkat kabupaten/kota, melakukan verifikasi dan pendataan subjek penerima TORA, mengawasi pelaksanaan legalisasi aset dan redistribusi tanah, melaporkan hasil kerja kepada GTRA tingkat provinsi.

TORA tersebut kemudian diberikan kepada warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan, diantaranya berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah, tinggal di wilayah obyek redistribusi tanah, serta memiliki mata pencaharian tertentu.

“Penerima TORA mencakup petani gurem, buruh tani, nelayan kecil, guru honorer, dan pekerja sektor informal lainnya yang tidak memiliki tanah.”

Penataan penggunaan tanah dilakukan untuk memastikan efisiensi dan efektivitas pemanfaatan tanah demi kesejahteraan masyarakat, kata dia.

“Pemerintah berharap melalui penataan ini, pola pengelolaan tanah dapat memberikan hasil optimal secara adil dan berkelanjutan.”

Untuk tujuan itu, Penjabat Bupati Sikka telah mengeluarkan surat dengan Nomor Permukim. 590/10/I/ 2025 Perihal Pendataan Subjek dan Objek Tanah Eks HGU Nangahale tanggal 23 Januari 2025 Kepada Camat Waigete, Talibura dan Waiblama.

Alfin mengklaim, “dengan langkah-langkah yang telah diambil, Reforma Agraria di Tanah Eks HGU Nangahale menjadi model keberhasilan program reforma agraria di Kabupaten Sikka.”

Langkah tersebut, kata dia, “tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menciptakan tata kelola tanah yang lebih adil dan berdaya guna.”

Laporan: Petrus Popi & Risto Jomang

spot_img
TERKINI
BACA JUGA