Dugaan Gratifikasi di Balik Studi Banding Bupati Manggarai ke Tomohon

Menurut dia, korupsi telah berakar hampir di semua lembaga negara, termasuk lembaga penegak hukum seperti kejaksaan.

Ruteng, Ekorantt.com – Bupati Manggarai Herybertus G. L. Nabit dan unsur Forkopimda berkunjung ke Tomohon, Sulawesi Utara pada 9-12 Maret 2025. Di sana, mereka menimba ilmu dan sharing terkait pengembangan Panas Bumi Lahendong.

Biaya studi banding ke Tomohon tersebut dilaporkan ditanggung pihak PLN. Kepala Prokopim Setda Kabupaten Manggarai, Hipolitus Kory mengatakan, kunjungan Bupati Nabit dan unsur Forkopimda ke Tomohon merupakan hajatan PLN.

“Kan begini, itu kan PLN punya hajatan. PLN kan dari aspek aturannya Badan Usaha Milik Negara. Fungsi komunikasinya ada di ekonomi (Bagian Ekonomi Setda Manggarai),” ujar Hipolitus ketika dikonfirmasi di ruang kerjanya, Rabu, 12 Maret 2025.

Hal ini juga terkonfirmasi dengan pengakuan Plt. Asisten II Setda Manggarai Yos Jelamu. Ia menjelaskan, agenda Bupati Manggarai dan rombongan yang diinisiasi oleh PLN adalah melakukan perjalanan dinas Tomohon dalam rangka studi banding di PLTP Lahendong selama lima hari.

“PLTP Lahendong beroperasi sejak tahun 2001. Lokasinya berada sekitar permukiman penduduk,” jelas Yos.

Ketua DPRD Manggarai Paulus Peos juga menjelaskan, kunjungan ke Tomohon bertujuan untuk melihat pengelolaan geotermal Lahendong yang usianya sudah cukup dan didukung oleh masyarakat sekitar.

“Saya, Ketua Komisi B Avent Mbejak, dan Ketua Komisi C Clement Malis. Selama tiga hari. Ada Kajari, Kapolres, dan pak Dandim. Forkompinda lengkap. Masyarakat Poco Leok juga,” kata Peos kepada Ekora NTT.

Studi banding Bupati Nabit dan unsur Forkompimda Manggarai ke Tomohon mendapat kritik keras dari Koordinator JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan.

“Saya sudah sampaikan itu ke media, jika kita bisa menilai, maka itu adalah bentuk gratifikasi,” ujar Pater Simon dihubungi Ekora NTT pada Jumat, 14 Maret 2025.

Di sisi lain, menurut dia, studi banding tersebut adalah bentuk ketidakpedulian terhadap kondisi negara, yang kian sulit.

“Sementara PLN terus merugi, bisa lihat data laporan direktur PLN pusat. Maka ada indikasi gratifikasi,” ujarnya.

Pater Simon mengungkapkan keraguannya terhadap aparat penegak hukum yang dianggapnya tidak akan berani memeriksa dugaan gratifikasi yang terjadi, mengingat Kepala Kejaksaan Negeri Manggarai juga turut serta dalam studi banding ke Tomohon.

“Tapi siapa yang bisa diharapkan untuk memeriksa ini? Jaksa sendiri sudah terlibat dalam studi banding. Maka tidak bisa kita harap banyak dengan penegakan hukum di Indonesia,” tegas Pater Simon.

Menurut dia, korupsi telah berakar hampir di semua lembaga negara, termasuk lembaga penegak hukum seperti kejaksaan.

Ia menyoroti keterlibatan Kepala Kejari Manggarai dalam studi banding tersebut dan berharap Jaksa Agung dapat memeriksa bawahannya.

“Demikian pula dengan kepolisian, kapolresnya juga terlibat, hadir dalam studi banding. Siapa yang kita harapkan?” ujarnya.

Pater Simon pesimistis bahwa dugaan gratifikasi ini akan sulit ditangani karena PLN melibatkan aparat penegak hukum, jaksa dan polisi, dalam melakukan studi banding ke Tomohon.

“Kita berharap KPK bisa menindak itu tanpa sentimen lain, politik misalnya. Kita harap pada KPK. Karena selain indikasi gratifikasi dalam stuba kemarin, proyek PLN di Poco Leok juga terindikasi korupsi,” tegasnya.

Pater Simon kembali menilai studi banding ke Tomohon memperlihatkan ketidakpedulian yang nyata dari Bupati Nabit dan aparat negara terhadap kondisi masyarakat, terutama di Poco Leok, yang saat ini sedang menderita akibat dampak proyek geotermal.

Tekanan terhadap Penolak Geotermal

Studi banding yang dilakukan oleh Bupati Manggarai, Herybertus G.L. Nabit, bersama rombongan ke PLTP Lahendong di Tomohon, Sulawesi Utara juga mendapat sorotan tajam dari dosen sekaligus praktisi hukum, Siprianus Edi Hardum.

Menurut dia, kegiatan tersebut bisa dimaknai sebagai bentuk tekanan terhadap masyarakat Poco Leok, Manggarai, yang menolak proyek pembangunan geotermal di wilayah mereka.

Dalam studi banding itu, rombongan yang dipimpin oleh Bupati Nabit terdiri dari Kapolres Manggarai, Kajari Manggarai, Dandim, dan sejumlah anggota DPRD yang dibiayai oleh PT PLN.

“Saya menilai studi banding itu tidak efektif. Sekarang sudah terjadi pro dan kontra soal pembangunan Geotermal di sana,” ujar Edi dalam keterangannya yang diterima media pada Sabtu, 15 Maret 2025 malam.

Edi juga menilai studi banding ini memberi pesan kepada warga Poco Leok dan masyarakat umumnya bahwa: pertama, pihak PLN dan Pemkab Manggarai akan jalan terus, tidak akan mengindahkan semua seruan penolakan masyarakat.

Kedua, siapa pun yang menolak tidak akan sukses karena bukan hanya berhadapan dengan PLN dan bupati saja tetapi Forkompinda, di mana di sana ada pimpinan penegak hukum yakni Kajari dan Kapolres, serta Dandim.

“Jelas ini bisa dinilai menutup jalan bagi pihak penolak untuk meminta perlindungan hukum dalam semua usaha mereka menolak pembangunan geothermal di sana,” ujar Edi.

Ia menyebut aneh dengan studi banding yang melibatkan Forkompinda ini. Bila mau studi banding, menurut Edi, seharusnya cukup pihak PLN dan bupati, serta timnya.

Sayangkan Kajari dan Kapolres

Edi menyayangkan Kapolres Manggarai, Kajari Manggarai dan Komandan Kodim 1612 Manggarai ikut dalam tim ini. Sebab, mereka adalah aparat penegak hukum yang harus bersikap netral dalam pro dan kontra pembangunan geotermal Poco Leok.

“Dengan hadirnya pimpinan aparat penegak hukum dalam studi banding itu, masyarakat akan takut dan ragu untuk meminta perlindungan hukum,” tegasnya.

Karena itu, ia mendesak Kapolri agar menegur dan bila perlu memberi sanksi kepada Kapolres Manggarai yang ikut dalam tim studi banding itu.

Edi juga mendesak Jaksa Agung agar menegur serta memberi sanksi Kajari Manggarai yang ikut dalam tim itu.

Demikian juga Pandam Udayana atau bahkan Bapak Panglima TNI agar menegur Komandan Kodim Manggarai yang ikut dalam rombongan itu.

“Beliau-beliau yang ikut keliru besar,” tegasnya.

Ia mengingatkan Forkompinda Manggarai, khususnya, dan se-NTT umumnya, bahkan seluruh Indonesia, bahwa suburnya korupsi di daerah sejak dulu dilanggengkan oleh adanya Forum Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida).

Forum ini tidak efektif dalam mewujudkan masyarakat yang bebas dari tindak pidana korupsi, karena lebih berfungsi sebagai tempat untuk mengakomodasi persengkokolan di bawah payung keamanan, ketenteraman, dan ketegangan masyarakat.

Di tingkat kabupaten, forum ini terdiri dari Bupati dan Wakil Bupati, Ketua DPRD, Kapolres/Wakapolres, Dandim, Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), dan bahkan Ketua Pengadilan Negeri setempat.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak pejabat daerah yang tidak terjerat korupsi. Bahkan, jika ada yang terjerat, biasanya hanya pejabat setingkat kepala dinas, sementara bupati atau wakil bupati hampir tidak tersentuh.

“Saya tidak sedang menuduh Forkompinda Manggarai melakukan korupsi tetapi sekegar mengingatkan,” tegasnya.

Masyarakat, kata Edi, bisa saja menduga bahwa Forkompinda Manggarai mendapat sesuatu atas studi banding di Sulawesi Utara atau bahkan keberadaan proyek geotermal di Poco Leok.

Karena itu, pimpinan aparat penegak hukum perlu menjaga jarak dalam setiap proyek yang menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

Edi meminta kepada masyarakat Poco Leok yang merasa dirugikan dengan kehadiran proyek geotermal agar terus berjuang dengan cara-cara tidak melanggar hukum.

“Masyarakat Indonesia pasti bersama kalian selama perjuangan kalian untuk mempertahankan hak kalian,” kata Edi.

Sementara itu, Manajer Perizinan, Komunikasi, dan TJSL UIP Nusra, Bobby Robson Sitorus, belum memberikan klarifikasi terkait dugaan gratifikasi tersebut.

Pesan konfirmasi melalui aplikasi WhatsApp telah dikirimkan berkali-kali kepadanya.

Meskipun Bobby berjanji akan memberikan klarifikasinya, hingga beberapa hari menunggu, jawaban yang diharapkan belum diterima.

“Mohon bantu nanti saya akan buatkan informasinya ya. Wait agak sore,” tulis Bobby pada Sabtu, 15 Maret 2025.

TERKINI
BACA JUGA