Dikukuh Jadi Profesor, Romo John Boy Lon Dipuji Sebagai ‘Lalong Tanah’

Ruteng, Ekorantt.com – Romo Yohanes Servatius Lon resmi dikukuh sebagai profesor dalam Sidang Senat Terbuka Pengukuhan Guru Besar di Aula Asumpta Katedral Ruteng, Sabtu (27/11/2021).

“Kami memujinya sebagai lalong tanah, nera ba gerak; cino ba nggirong; putra daerah pembawa terang,” kata Wakil Rektor 1 Unika Santu Paulus Ruteng, Dr. Fransiska Widyawati, M.Hum saat itu.

Peristiwa ini, kata dia, adalah pembalikan terhadap cap buruk pendidikan di NTT, Flores yang kerap diremehkan dan dijadikan olokan pada level nasional.

Lebih jauh, Fransiska menjelaskan, kebanggaan ini mengingatkan kembali kejayaan pendidikan di Flores beberapa abad lampau. Sejarah mencatat, jauh sebelum negara Indonesia terbentuk, para misionaris ingin menjadikan Flores dan NTT umumnya sebagai pusat pengetahuan dan pendidikan.

Menurutnya, sejak abad 16, 17, 18 dan semakin bersinar abad 19 dan awal abad 20, misionaris Katolik telah membuka sekolah-sekolah di pelosok pulau ini. Banyak lembaga pendidikan di Flores, merupakan sekolah tertua di Indonesia. Bahkan pada tahun kelahiran R.A. Kartini di Jawa sana, perempuan Flores sudah duduk di bangku sekolah.

“Bukan kebetulan, prof sebagai simbol kepakaran yang kita rayakan, hadir di dalam seorang imam Katolik, hasil didikan sekolah Katolik dan berkarya universitas swasta Katolik. Dari Flores, NTT untuk Indonesia. 100% Katolik, 100% Indonesia,” tegasnya.

“Pater Wilhem Gier, Pater Frans Cornelissen, Mgr. Verstraelen, perintis pendidikan di Ledalero; Pater Willem Baak inspektur sekolah Flores, Pater Leo Perik pendiri Seminari Kisol, Mgr. Willem van Bekkum, Pater Yan van Roosmalen, di Manggarai sini, banyak misionaris lainnya, tersenyum bahagia di surga,” tambahnya.

Prof. John, lanjut dia, telah membuka jalan, bahwa yang impossible menjadi possible. Ia berharap hal ini memacu para dosen untuk bertekun sampai ke titik yang sama.

Setiap anak Manggarai, Flores juga bisa bermimpi yang sama. Secara khusus lagi bahwa mengabdi di daerahnya, di tanahnya sendiri, juga dapat mengantar mereka pada capaian tertinggi, dalam bidang apa pun.

Toing, titong, toming kali dited tua pada generasi muda, mari cinta daerah, budaya sendiri. Kudut camacama, kapu tana landuk boto pauy. Riang tana tiwo boto ringangy. Pola tana osang boto moray. Saka tana wida boto matay,” sebutnya.

Prof. John menawarkan perjumpaan yang dialogis dan mutualis sebagai semangat yang dihidupi dalam mengatasi problematika perbedaan antara hukum agama, negara, dan adat terkait legalitas perkawinan.

Hukum harus diabdikan demi manusia, demi keselamatan. Cocok dengan moto kepemimpinan Prof ‘berhati teguh, bertindak etis dan berpikir solutif’.

“Izinkan saya menambahkan. Neither a blue print, nor a law  can solve a problem, but a human being. Tidak ada rumusan tertulis dan hukum yang bisa mengatasi masalah, kecuali oleh tindakan seorang manusia,” ketusnya.

Kebuntuan dan problem-problem kehidupan, hanya akan terurai, jika ada aktor dan agen, yang dalam teori “Tindakan Komunikatif” Habermas, harus bertindak rasional dengan melibatkan banyak elemen berbeda kepentingan di ruang publik, melalui jembatan komunikasi untuk menemukan konsensus demi kebaikan bersama.

“Jadi perlu real person. Dan prof John adalah a person, atau yang telah bertindak dalam kebuntuan akademis kami selama ini,” katanya.

Gelar profesor, kata Fransiska, terbatas pada kalangan khusus. Namun, kita bisa profesor dalam arti luas pada bidang kita masing-masing. Atau setidak-tidaknya, menjadi the making of profesor bagi yang lain, mendukung dengan pekerjaan sekecil apa pun, dengan bersungguh hati agar hidup bagi yang lain dan masyarakat menjadi lebih bermakna.

“Akhirnya, di balik kesuksesan Prof, seperti telah prof uraikan, deretan panjang penjasa adalah penopang,” tutupnya.

Adeputra Moses

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA