Oleh: Avent Saur, SVD*
Jelang pertengahan September 2022, saya mendengarkan kabar duka dari Manggarai Timur, Pulau Flores. “Om (nama, saya rahasiakan!) sudah pergi selamanya!”
Kabar itu dikirim relawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) yang ia peroleh dari perawat pengelola program kesehatan jiwa pada salah satu Puskesmas. Sesegera mungkin, saya menghubungi perawat itu bukan untuk mendapatkan kepastian kabar duka, melainkan untuk mencari informasi tambahan terkait kepergian Om.
“Kemungkinan besar, ia embuskan napas terakhir malam hari. Siang hari ketika istrinya berikan makanan buatnya, ia ditemukan sudah kaku. Sudah sekian lama, istri hanya berikan makanan siang. Pagi tidak. Malam kadang. Ya hanya karena Om kurang nafsu makan.”
Mengerikan tentunya ketika mendapat kabar dari perawat itu. Memilukan. Perlakuan seorang istri terhadap suami tentu sangat disayangkan.
Namun dukacita yang paling mendalam terkait kepergian Om bukan terutama terkait perlakuan istri terhadapnya, melainkan satu hal lain yang sangat tidak diinginkan terjadi. Apa? Om mengembuskan napas terakhir dalam keadaan terpasung. Dan ia terpasung dua kaki pakai kayu di sebuah pondok reyot di samping rumahnya.
***
Kenapa keadaan seperti itu menggoreskan dukacita yang paling mendalam? Tentu ada narasinya. Sejak organisasi relawan Kelompok Kasih Insanis dibentuk tahun 2016 silam, salah satu perjuangan utama yang senantiasa digelorakan adalah bahwa seorang penderita gangguan jiwa tidak boleh meninggal dalam keadaan terpasung.
Aneka solusi telah relawan tempuh untuk menggapai hal ini. (1) Mendatakan kasus-kasus pasung. (2) Mengadvokasi kepentingan pelayanan medis buat penderita kepada pemerintah khususnya dinas kesehatan dan dinas sosial, bahkan berjuang keras berdiskusi dengan kepala daerah dan para wakil rakyat.
(3) Mengadvokasi kepada Kementerian Kesehatan agar memberikan pelatihan kesehatan jiwa buat para dokter dan perawat di puskesmas-puskesmas; agar para tenaga kesehatan memiliki kompetensi dalam menegakkan diagnosis yang tepat dan memberikan terapi medik kepada para penderita.
Selain itu, (4) sukarelawan juga mendorong keluarga konsumen kesehatan jiwa agar rutin mendampingi para penderita dalam menjalani terapi medik. (5) Mendorong keluarga konsumen kesehatan jiwa agar berubah pandangan dan perilaku terhadap penderita gangguan jiwa.
(6) Memberikan edukasi kesehatan jiwa kepada keluarga dan masyarakat agar tidak cepat-cepat mengambil keputusan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa yang kambuh, yang gaduh gelisah, atau yang agresif. Dan tentu dalam proyek Indonesia bebas pasung atau daerah bebas pasung, (7) sukarelawan mendorong keluarga dan masyarakat serta pemerintah agar bersama-sama membebaskan orang dengan gangguan jiwa dari pasungan bila keadaannya sudah pulih.
Dan lebih dari itu, (8) setelah semua pihak membebaskan penderita gangguan jiwa dari pasungan, secara sukarela para sukarelawan mengantar penderita gangguan jiwa ke Panti Rehabilitasi Jiwa Renceng Mose di Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, Pulau Flores.
Dan tentu hal lain yang sukarelawan lakukan adalah (9) memberikan edukasi dan mengadvokasi pihak kepolisian agar mengendalikan kecenderungan masyarakat pada praktik pemasungan mana kala polisi menerima laporan terkait orang dengan gangguan jiwa yang melakukan kekerasan.
***
Langkah-langkah perjuangan yang sangat nyata seperti ini tentu sangat mahal harganya. Mahal dari sisi kerumitan. Mahal dari sisi energi, waktu, dan pikiran serta perasaan. Mahal dari sisi finansial dan mahal dari sisi nyali. Semuanya itu dilakukan secara sukarela, tanpa sedikit pun imbalan ekonomi.
Namun maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Ketekunan perjuangan sukarelawan diwarnai sekian banyak kendala. (1) Usai berdiskusi dengan kepala daerah (Bupati) atau wakil rakyat (DPRD), pemerintah tak kunjung menyediakan anggaran untuk pengadaan obat-obatan yang memadai buat penderita gangguan jiwa. (2) Para tenaga kesehatan belum maksimal melakukan kunjungan rutin dan belum rutin memberikan edukasi kesehatan jiwa kepada masyarakat.
(3) Pemerintah desa tak kunjung peduli pada warganya yang menderita gangguan sehingga nomenklatur layanan bagi penderita gangguan jiwa yang termuat dalam alokasi dana desa tidak lebih daripada sebuah formalitas belaka.
(4) Pemerintah daerah tak kunjung menyediakan poli jiwa, apalagi ruang rawat inap jiwa di rumah sakit-rumah sakit umum. (5) Pemerintah daerah tak lekas membangun rumah singgah buat penderita gangguan jiwa yang terancam mengalami pemasungan atau penderita gangguan jiwa yang sudah puluhan tahun terpasung, atau juga yang menggelandang.
(6) Luka pada kedalaman perasaan keluarga dan masyarakat atau apa yang disebut dengan trauma lantaran pernah mengalami kekerasan serius dari perilaku penderita gangguan tidak kunjung pulih. (7) Keluarga belum terlalu maksimal mendampingi dan merawat anggotanya yang menderita gangguan jiwa sebagaimana terjadi dalam kasus Om yang mengembuskan napas terakhir di pondok reyot itu. Maafkan kami, Om!
(8) Sukarelawan belum terlalu mampu membiayai perawatan penderita gangguan jiwa di panti rehabilitasi jiwa khususnya bila keluarga memberikan syarat bahwa “boleh bongkar pasung, tetapi jangan langsung tinggal bersama dengan keluarga atau harus dibawa keluar dari kampung untuk dirawat intensif di panti hingga benar-benar pulih.” Maafkan kami, Om!
Langkah-langkah yang sukarelawan tempuh secara militan beserta kendala-kendala yang saya utarakan secara keras di sini menunjukkan bahwa komitmen “tidak boleh ada orang dengan gangguan jiwa meninggal dalam pasungan” adalah sesuatu yang sangat serius.
Sebab hal ini sangat bersentuhan langsung dengan penghargaan terhadap martabat manusia seorang penderita gangguan jiwa yang notabene harus diperlakukan secara manusiawi, bukan sebaliknya, diperlakukan seperti binatang (subhuman).
***
Kembali kepada kasus Om di atas tadi. Beberapa hari setelah kepergian Om, saya menulis refleksi singkat buat para sukarelawan Kelompok Kasih Insanis di daerah-daerah melalui grup-grup media sosial.
“Kita memang tahu keluarga kurang serius merawat dia selama terpasung sejak 2012 silam. Namun patutlah kita mengakui kekurangan-kekurangan kita sebagai sukarelawan. Kita juga kurang mampu menyelamatkannya dari kayu pasungan.”
“Kita sudah menyatakan komitmen sukarela peduli pada keadaannya. Kita memikul tanggung jawab moral pada keselamatan beliau. Karena tanggung jawab moral itu belum sampai sepenuhnya pada dia, maka patutlah kita merasa bersalah.”
“Kekurangan keluarga adalah kekurangan kita juga. Kesalahan keluarga adalah kesalahan kita juga. Dan dukacita keluarga adalah dukacita kita juga.”
Pada refleksi singkat itu, saya menyertakan satu gambar Om selagi ditemukan kaku di pondok reyot tempat pemasungannya. Gambar lainnya adalah sebuah video pada saat saya dan sukarelawan serta perawat puskesmas mengunjunginya beberapa waktu lalu.
Dalam gambar itu, kita melayani dia dalam hal yang sangat sederhana yakni memotong kuku jari kaki dan kuku jari tangannya yang sudah panjang, mengeras, dan belum pernah disentuh air sedikit pun sejak tahun 2012 silam.
Pada video itu, ia tampak tenang dan bisa berkomunikasi dengan cukup baik. Ia sama sekali tidak agresif, tidak seperti yang orang-orang lain komentari.
Kala itu, saya berpikir bahwa kesehatannya akan segera pulih. Deritanya dalam pasungan juga akan segera berakhir.
Namun toh itu hanya sebuah pikiran belaka. Pada jelang pertengahan September 2022, ia justru mengembuskan napas terakhir pada kayu pasungan itu. Tubuhnya berbujur kaku dengan dua kaki tetap merentang pada lubang-lubang balok pasungan itu.
Om, maafkan kami! Entah maaf ini sampai kepadamu atau tidak, refleksi mendalam tentang ziarah hidupmu sebagai manusia korban pemasungan pasti akan membekas pada perasaan dan ingatan kami untuk terus belajar peduli pada kemanusiaan sesamamu yang hingga kini masih terpasung di pondok-pondok reyot yang keluarga bangun buat mereka.
“Tuhan, Engkau tahu semua apa yang telah, sedang, dan akan terjadi pada hidup setiap ciptaan-Mu di dunia ini. Amin.”*
Ende-Flores, 17-9-2022
*Pendiri Sukarelawan Kelompok Kasih Insanis (KKI) Peduli Sehat Jiwa NTT