60 Balita di Sekitar Tembok Biara di Nita, Flores Menderita “Stunting”

Nita merupakan satu-satunya kecamatan di Kabupaten Sikka dengan jumlah biara terbanyak. Oleh karena itu, Nita bisa dijuluki sebagai kecamatan dengan 1000 biara. Akan tetapi, di balik tembok biara, hidup puluhan anak bangsa yang menderita “stunting” alias kerdil.

Maumere, Ekorantt.com – Jumlah anak penderita stunting – masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak, yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya – di wilayah kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur, menunjukkan angka yang memprihatinkan.

Enam puluh orang (60) anak di kecamatan dengan 1000 biara itu teridentifikasi menderita stunting.

Keseriusan dan kerja keras semua pemangku kebijakan dan elemen lainnya mesti ditingkatkan jika mau anak-anak kita bebas stunting.

Kepala Puskesmas Nita Maria Mathilda, A.Md. Keb. kepada EKORA NTT di Kantor Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Senin (22/7/2019) mengungkapkan, faktor penyebab stunting adalah gizi kurang dan/atau gizi buruk dalam rentang waktu yang lama. Akibatnya, pertumbuhan anak menjadi terhambat.

Berdasarkan data bulan Maret 2019, penderita stunting di Kecamatan Nita mencapai 60 orang.

Dari jumlah itu, 33 orang anak masuk kategori kurus dan 3 orang anak sangat kurus. Sementara itu, 12 orang anak lainnya alami pertumbuhan yang paling buruk.

Keadaan tersebut terbaca dalam Kartu Menuju Sehat (KMS) yang memperlihatkan pertumbuhan di bawah garis merah.

Menurut Mathilda, persoalan stunting mesti jadi perhatian semua pemangku kepentingan. Bukan hanya para petugas kesehatan saja.

Stunting ini harus menjadi perhatian dan menuntut keterlibatan dari semua pemangku kepentingan,” tutur dia.

Mathilda berpendapat, penanganan stunting tidak boleh hanya sekadar ditujukan pada bayi balita dan ibu hamil semata, melainkan juga dialamatkan pada semua gadis remaja, terutama pada mereka yang akan berkeluarga.

Sebab, menurut dia, remaja putri yang sehat akan alami proses kehamilan yang lebih sehat dari pada remaja putri yang sakit-sakitan.

Mathilda memberi beberapa tips kepada para ibu hamil terkait persoalan stunting ini.

Pertama, selama masa hamil, ibu hamil harus rutin melakukan pemeriksaan kesehatan di fasilitas kesehatan untuk mendapatkan pelayanan terbaik.

Kedua, ibu hamil mesti konsumsi makanan dengan kandungan nutrisi gizi yang lengkap.

Ketiga, ibu hamil mesti menjalankan lima pilar sanitasi berbasis masyarakat yang antara lain meliputi tidak buang air besar di sembarangan tempat, cuci tangan pakai sabun sebelum makan, membuat tata kelola sampah rumah tangga yang aman, dan membuat tata kelola limbah cair yang aman dari genangan.

Mathilda sambut baik langkah Kepala Desa Takaplager yang telah mengalokasikan dana desa tahun anggaran 2019 untuk membiayai kegiatan penanggulangan stunting di desa.

Dia berharap, alokasi anggaran penanggulangan stunting tidak berhenti di tahun ini saja, tetapi terus berlanjut pada tahun-tahun yang akan datang.

Sementara itu, Pemerintah Desa Takaplager sudah mengalokasikan dana desa tahun anggaran 2019 sebesar Rp93,2 juta untuk penanggulangan beberapa masalah kesehatan di Desa Takaplager. Dana tersebut akan dipakai untuk membiayai program pemberian makanan tambahan (PMT) bagi bayi balita dan ibu hamil serta penanganan rabies.

Kepala Desa Takaplager Albertus Juang, SH kepada EKORA NTT di sela-sela kegiatan PMT bagi bayi balita dan ibu hamil di Kantor Desa Takaplager, Senin (22/7) mengungkapkan, dari dana desa sebesar Rp93,2 juta di atas, pemerintah akan alokasikan dana sebesar Rp43.200.000,00 untuk penanggulangan stunting dan Rp50.000.000,00 untuk penanggulangan rabies.

Kades Albertus menjelaskan, alokasi puluhan juta dana desa itu bertujuan meningkatkan kualitas kesehatan bayi, balita, dan ibu hamil di desanya.

Menurut dia, selama ini, PMT hanya diberikan sekali dalam sebulan. Namun, semenjak dana desa cair, PMT diberikan dua kali sebulan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) masing-masing.

“Pemberian makanan tambahan itu sebagai upaya mendukung program pemerintah untuk menangani masalah stunting,” pungkas dia.

Camat Nita Y.A. Yance Padeng, SH dalam sambutannya di hadapan puluhan ibu hamil dan bayi balita mengaku sambut baik kebijakan Pemerintah Desa Takaplager yang mengalokasikan dana desa untuk penanggulangan masalah stunting.

Dia mengajak para ibu hamil untuk menjalankan pola hidup sehat.

Menurut dia, pola hidup sehat itu meliputi menjaga perilaku hidup bersih bagi diri sendiri, rumah tangga, dan lingkungan sekitar, menjaga pola makan serta pola asuh anak.

Putri Riyanti (37), seorang ibu hamil yang hadir pada kesempatan itu, mengatakan, dirinya sangat senang dengan kegiatan demo PMT itu.

“Saya sangat senang dan menyampaikan terima kasih kepada Bapak Kepala Desa yang mau memberikan dukungan peningkatan kesehatan ibu hamil,” tutur Riyanti.

Ibu yang hamil anak keduanya itu berharap, pemerintah tidak hanya beri makanan tambahan, tetapi juga bagi pengetahuan tentang cara mengolah pangan lokal yang baik bagi anak dan ibu hamil sesuai dengan periode pertumbuhan mereka.

Bupati Sikka Robby Idong kepada EKORA NTT di kediamannya, Senin (29/7) mengatakan, stunting merupakan isu nasional.

Dari ratusan kabupaten di Indonesia, terdapat 72 kabupaten/kota dengan angka stunting terbesar. Termasuk Kabupaten Sikka.

Bupati Robby berpendapat, karena stunting merupakan masalah nasional, maka penanggulangannya mesti dilakukan secara berkesinambungan mulai dari pemerintah desa, kabupaten, provinsi, dan pemerintah pusat.

Menurut dia, stunting tidak hanya berhubungan dengan persoalan kesehatan, tetapi juga berhubungan dengan keadaan infrastruktur yang tidak memadai.

Di Kabupaten Sikka, infrastruktur yang mesti dibenahi untuk menanggulangi stunting adalah akses terhadap air bersih.

Bupati Robby mengatakan, pemerintah sudah mengganggarkan biaya penanggulangan stunting dalam APBD Perubahan 2019.

Tokoh Agama Pater Otto Gusti Nd. Madung saat dimintai tanggapannya, Sabtu (27/7) mengatakan, tingginya angka penderita stunting di Kecamatan Nita menunjukkan, hak anak atas kesehatan tidak terpenuhi. Padahal, Negara punya kewajiban untuk memenuhi hak dasar tersebut atau obligation to fulfill.

“Angka 60 itu sudah sangat tinggi. Pemerintah harus menanggap persoalan ini secara serius,” ungkapnya.

Pater Otto juga mengingatkan agar para anggota DPRD Sikka harus bicara tentang persoalan stunting ini. Mereka harus kontrol penggunaan anggaran kesehatan agar dinikmati oleh kelompok rentan.

Menurut Pater Otto, para wakil rakyat itu tidak boleh hanya lempar diksi ke publik untuk membela kepentingannya, seperti persoalan tunjangan perumahan dan transportasi mereka.

Saat ditanyai EKORA NTT tentang hubungan antara pola hidup umat yang suka berpesta pora dan stunting, Formator di Seminari Tinggi Ledalero ini berpendapat, Gereja perlu beri perhatian pada pastoral keluarga. Gereja tentu tidak hanya berurusan dengan dunia akhirat, tetapi juga persoalan konkret hidup sehari-hari, termasuk urusan gizi.

“Umat perlu dilatih hidup hemat dan tahu melihat prioritas dalam hidup. Urusan gizi berkaitan dengan hidup manusia, hidup yang dikehendaki Tuhan. Kita mengikuti Allah yang adalah kehidupan,” ungkapnya.

Sementara itu, di sisi lain, pesta pora adalah ungkapan dari budaya kematian. Budaya kematian tidak dikehendaki Tuhan. Karena itu, harus dilawan.

Untuk diketahui pembaca, berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sikka bertajuk “Kecamatan Nita dalam Angka 2018”, Kecamatan Nita terdiri atas 12 desa, yaitu Desa Tilang, Lusitada, Bloro, Tebuk, Nita, Takaplager, Nitakloang, Wuliwutik, Ladogahar, Riit, Nirangkliung, dan dan Desa Mahebora.

Fasilitas kesehatan di Kecamatan Nita terdiri atas Puskesmas (1), Posyandu (45), Polindes (10), dan Pustu (4). Tenaga kesehatan terdiri atas tenaga medis (106), tenaga keperawatan (38), tenaga kebidanan (54), tenaga kefarmasian (3), dan tenaga kesehatan lainnya (13). Dokter di Nita terdiri atas dokter umum (2) dan dokter gigi (1).

10 kasus penyakit terbanyak di Kecamatan Nita adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (9.230), Melgia (1.601), Hipertensi (1.272), Rematoi Artristik Akut (1.238), Gastristik Akut (1.156), Infeksi Lain pada Saluran Pernapasan (762), Dispepsia (446), Gastristik Stronis (485), Penyakit Kulit Alergi (373), dan Benigna Prostatica, Hiperlasia (230).

Penyakit lainnya adalah HIV/AIDS (60), Infeksi Menular Seksual (2), Demam Berdarah Dengue (3), Diare (290), dan TBC (16).

Sementara itu, Kecamatan Nita juga dikenal sebagai daerah dengan banyak biara.

Di Desa Nita ada Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Biara Carmel, Biara St. Camilian, Biara Stigmata, Biara Bruder Nazaret, Unit Rafael Seminari Tinggi Ledalero, dan Unit Nitapleat Seminari Tinggi Ledalero.

Di Desa Takaplager, ada seminari tinggi terbesar di dunia, yaitu Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero.

Di Desa Ribang, ada Biara Vocasionist, Biara Agustinian, dan Biara Rogasionist. 

Di tetangga Kecamatan Nita, ada Biara Somascan, Biara MSFCC, Biara Bernabita, dan Unit Gere Seminari Tinggi Ledalero di Dusun Gere, Desa Koting A, Kecamatan Koting.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA