Hama Pisang Melanda, Petani di Ngada Keluhkan Pemerintah Tak Lakukan Sosialisasi Pencegahan

Bajawa, Ekorantt.com – Hampir setahun tanaman pisang warga Desa Wogo, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada terserang hama pisang. Pisang merupakan salah satu jenis makanan lokal yang biasa dikonsumsi warga sebagai pengganti beras saat musim kemarau.

Feliks Pere (79), petani di desa itu sempat mengajak Ekora NTT mengelilingi kebun pisang seluas kurang lebih dua hektar yang sedang terserang hama pisang.

Dari pemantauan di kebun Feliks, ciri-ciri pisang terserang hama terlihat daun kering, isi kemerahan, dan berlendir. Padahal pisang masih sangat muda.

Feliks berkata, sejak puluhan tahun ia dan keluarga mengandalkan pisang sebagai makanan lokal selain ubi. Kini bakal terjadi krisis pangan pada musim ini akibat hama.

“Dari dulu kalau beras habis, pisang menjadi makanan kami di rumah. Tapi sejak penyakit saya tidak berani makan,” ucap Feliks.

Makanan lokal berbahan dasar pisang diolah beragam varian oleh masyarakat petani setempat. Biasanya, batang pisang yang masih muda dipotong kecil menjadi sayur.

Persoalan hama pisang itu menjadi pengalaman pertama sejak Feliks menjadi petani puluhan tahun lalu.

Di tengah kebingungannya atas kondisi itu, pemerintah disebut belum turun langsung menjelaskan langkah pengendalian hama pada tanaman pisang.

“Sudah satu tahun, tapi sampai sekarang belum ada sosialisasi. Jadi saya potong itu pisang untuk kasih ternak (kerbau),” beber dia.

Hampir ratusan pohon pisang terserang hama dan belum ada langkah konkret pengendalian dari Pemerintah Kabupaten Ngada, kata Feliks lagi.

Petani lain, Maria Fransiska Uma (40) mengalami hal yang sama. Ia mengatakan pisang dan ubi menjadi bagian penting dalam hidup masyarakat setempat.

Selain untuk makan, Maria mengaku pisang menjadi salah satu sumber pendapatan petani untuk meningkatkan perekonomian keluarga.

“Pisang sangat membantu ekonomi kami sebenarnya. Dulu kami biasa jual per tandan Rp 20.000 tapi saat ini tidak memiliki harga,” jelasnya.

Di sisi lain, harga beras menyentuh Rp16.000 per kilogram menambah beban petani pisang dari segi kebutuhan pokok. Ia mengaku kini ia hanya bersandar pada usaha suaminya sebagai pengrajin parang di desa itu.

“Memang mereka (pemerintah) ada kunjung tapi hanya di kantor desa. Turun ke petani tidak pernah,” katanya.

Penyakit Darah Pisang

Kelapa Dinas Pertanian Kabupaten Ngada Ferdinand D. Burah saat dikonfirmasi Ekora NTT membantah keluhan petani itu.

Menurutnya, semua desa di kabupaten itu sudah dilakukan sosialisasi upaya pengendalian hama pisang. Namun, banyak petani enggan membersihkan rumpun pisang sehingga sulit dilakukan pengendalian.

“Kegiatan sosialisasi ini dilakukan oleh petugas Pengendalian Organisme Penganggu Tumbuhan (POPT) yang berada di kecamatan,” jelasnya.

Ferdinand menjelaskan penyakit yang dikeluhkan masyarakat itu merupakan layu bakteri atau penyakit darah yang disebabkan oleh bakteri Pseudomonas Solanecearum atau lebih dikenal dengan istilah Blood Disease Bacterium (BDB).

Untuk pencegahan, petani perlu membersihkan rumpun yang sudah terserang penyakit dan bisa menanam lagi dua tahun kemudian.

“Saat menaman lagi menggunakan anak dari bibit yang sehat,” ujarnya.

Selain itu, petani juga perlu memperhatikan drainase kebun sehingga pada saat musim hujan air tidak mengalir ke rumun pisang yang sudah terinfeksi.

TERKINI
BACA JUGA