AMAN Gugat DPR dan Presiden Buntut Tak Sahkan RUU Masyarakat Adat

Menurut Syamsul, berdasarkan fakta sebagaimana pula terungkap di persidangan, pembentukan UU tentang Masyarakat Adat adalah kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda lagi seperti yang terjadi selama ini.

Jakarta, Ekorantt.com – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menggugat Presiden Joko Widodo dan DPR RI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.

Dalam gugatan itu, AMAN menggandeng delapan orang anggota komunitas masyarakat adat, dari Komunitas Masyarakat Adat Ngkiong di Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur, Komunitas Masyarakat Adat Osing di Banyuwangi, Komunitas Masyarakat Adat O’Hangana Manyawa (Tobelo Dalam) di Maluku Utara.

Gugatan AMAN sudah terdaftar dengan nomor perkara 542/G/TF/2023/PTUN-JKT. Mereka sudah menyerahkan kesimpulan di PTUN Jakarta pada Kamis, 25 April 2024.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menjelaskan, gugatan terhadap DPR RI (tergugat I) dan Presiden RI (tergugat II) diajukan karena berbagai upaya advokasi yang telah ditempuh selama ini tersumbat.

Sementara di sisi lain, kerugian yang dialami masyarakat adat terus berlangsung.

Rukka mengatakan, organisasi AMAN sejak berdiri pada tahun 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, telah melakukan berbagai upaya advokasi untuk mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat melalui berbagai regulasi nasional, termasuk mendorong pembentukan Undang-undang Masyarakat Adat.

“Namun, karena tidak kunjung ada itikad baik negara, maka pengadilan menjadi ruang untuk mendidik DPR dan Presiden tentang kewajiban-kewajiban hukum mereka dalam penyelenggara negara,” ujarnya dalam rilis yang diterima awak media, Kamis siang.

Sementara itu, Koordinator tim hukum penggugat Fatiatulo Lazira menjelaskan, objek gugatan dalam perkara ini adalah tindakan administratif pemerintahan, dalam hal ini DPR dan presiden yang bersikap lalai atau diam terhadap permohonan para penggugat untuk membentuk Undang-undang tentang Masyarakat Adat.

Menurut Fatiatulo, Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Masyarakat Adat telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) maupun Proglegnas Prioritas sejak tahun 2004. Sayangnya, sampai dengan saat ini tidak kunjung dibentuk.

“Para penggugat mengajukan surat permohonan nomor 019/PPMAN/VII/2023, tertanggal 24 Juli 2023, perihal: permohonan pembentukan UU tentang Masyarakat Hukum Adat, kepada DPR dan presiden sebagai penyelenggara yang secara atributif berwenang membentuk Undang-undang, namun surat tersebut diabaikan,” tegas dia.

“Sikap abai atau diam (by ommission) atas permohonan para penggugat merupakan tindakan administratif pemerintahan yang melanggar hukum dan dapat digugat di PTUN,” imbuh Fatiatulo.

Ia menegaskan, sikap abai atau diam penyelenggara negara bertentangan dengan fungsi pelayanan (service) sebagai salah satu fungsi administrasi pemerintahan.

Fatiatulo berharap majelis hakim dapat menjalankan fungsinya sebagai ruang bagi para pencari keadilan demi menegakkan hukum dan keadilan sekaligus sarana kontrol atas penyelenggaraan fungsi penyelenggara negara.

Pengadilan, menurut dia, harus menjadi ruang untuk menyelesaikan aspirasi warga masyarakat yang tersumbat akibat fungsi penyelenggara negara tidak berjalan efektif dan menimbulkan kerugian.

“Oleh karenanya, kami memilih judul Kesimpulan ‘Masyarakat Adat Menggugat Kewajiban Konstitusional Negara Melalui Jalan Pengadilan’,” tutur Fatiatulo.

Perda Tidak Menjawab Masalah

Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus menjelaskan, setelah proses pembuktian di persidangan selesai, maka penyerahan kesimpulan adalah agenda terakhir sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan.

“Kami dari Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) sebagai kuasa hukum para penggugat telah mengajukan bukti-bukti di persidangan untuk menguatkan dalil-dalil gugatan, di antaranya bukti surat sebanyak 45, enam orang saksi fakta, dan tiga orang ahli,” urai Syamsul.

Menurut dia, bukti-bukti surat dan saksi-saksi fakta yang diajukan di persidangan mengonfirmasi akibat ketiadaan UU tentang Masyarakat Hukum Adat.

Syamsul bilang, para penggugat mengalami kerugian faktual dan potensial, di antaranya; kriminalisasi, penggusuran dan perampasan wilayah adat, kehilangan identitas, dan keterancaman punah.

Sementara itu, lanjut dia, tiga orang ahli memiliki pendapat yang sama dan sejalan dengan Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, tanggal 6 Mei 2013 (“Putusan MK 35/2012”), bahwa Undang-undang tentang Masyarakat Adat adalah perintah konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945.

Syamsul menambahkan, beberapa Peraturan Daerah (Perda) tentang Masyarakat Adat tidak menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat adat.

Menurut dia, Perda tentang Masyarakat Adat bukan perintah konstitusi. Yang diperintahkan konstitusi adalah pembentukan Undang-undang tersendiri tentang Pengakuan dan Penghormatan Masyarakat Adat.

Kemudian, lanjut Syamsul, Perda-perda tersebut tidak mampu menjamin kepastian hukum bagi masyarakat adat sesuai Putusan MK 35/2012 sebagai salah satu lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman.

Lalu, Perda tentang Masyarakat Adat tidak memberikan kepastian hukum. Hal ini terbukti dengan masih maraknya penggusuran wilayah adat dan kriminalisasi masyarakat.

Hal tersebut seperti yang dialami Mikael Ane sebagai penggugat II dalam perkara ini. Padahal di daerahnya telah ada Perda tentang Masyarakat Adat.

Menurut Syamsul, berdasarkan fakta sebagaimana pula terungkap di persidangan, pembentukan UU tentang Masyarakat Adat adalah kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda-tunda lagi seperti yang terjadi selama ini.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA