Praperadilan Ditolak, Kuasa Hukum Maksi-Ronald Lapor Hakim Pengadilan Negeri Ruteng ke Komisi Yudisial

Salah satu prinsip dasar dalam melakukan penafsiran undang-undang pidana adalah prinsip exceptio firmad regulam. Artinya, penafsiran Undang-undang pidana harus selalu menguntungkan terlapor, tersangka, dan terdakwa.

Ruteng, Ekorantt.com Hakim Pengadilan Negeri Ruteng Charisma Gaga Arisatya menolak permohonan praperadilan atas penetapan tersangka Maksi Ngkeros dalam kasus dugaan kampanye hitam atau black campaign di Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri’i pada 7 Oktober 2024

Keputusan hakim tunggal itu disampaikan saat sidang putusan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Ruteng, Jumat, 15 November 2024.

Lantas tim kuasa hukum pasangan calon bupati dan wakil bupati Manggarai, Maksimus Ngkeros dan Ronald Susilo (Maksi-Ronald) melaporkan Charisma ke Komisi Yudisial.

Koordinator tim kuasa hukum Maksi-Ronald, Edi Hardum menegaskan, Charisma layak diperiksa oleh Komisi Yudisial dan bagian pengawasan Mahkamah Agung (MA).

“Hakim seperti ini jangan salahkan kita menduga bekerja bukan menegakkan kebenaran dan keadilan, tapi lebih kepada kepentingan tertentu,” ujar Edi dalam keterangan pers yang diterima awak media, Jumat sore.

Anggota tim kuasa hukum lain, Robertus Antara berkata, Charisma diduga tidak profesional dalam menangani perkara itu, di mana hak-hak dari pihak pemohon praperadilan diabaikan.

“Pendapat kami selalu ditepisnya,” kata Candra, sapaan karib Robertus Antara.

Candra bilang, sejak awal para kuasa hukum pemohon meminta putusannya jatuh pada Selasa, 19 November 2024. Namun Charisma sebagai hakim tunggal menetapkan keputusan Senin, 18 November 2024.

“Penetapan Senin kami ikuti, ternyata hari ini (Jumat) saat kami menyampaikan kesimpulan, sang hakim dengan kuasanya menetapkan putusan atas perkara a quo dibacakan juga,” tuturnya penuh heran.

“Kami semua kaget. Kami mau bicara dia sudah ketuk palu dan meninggalkan ruangan sidang,” tambah Melkhior Yudiwan, kuasa hukum lainnya.

Melkhior menduga, dalam membuat materi putusan, hakim terlebih dahulu tidak membaca argumentasi pemohon dalam permohonan maupun replik, serta kesimpulan dari permohonan.

“Hakim juga diduga tidak melihat bukti-bukti serta keterangan ahli yang kami hadirkan. Kami sangat kecewa dengan hakim Charisma,” ujar Melkhior.

Kemudian, menurut dia, karena sikap hakim yang dinilai arogan, pihaknya sebagai kuasa pemohon tidak hadir dalam agenda putusan.

“Kami sudah tahu ketika pendapat kami selalu ditepis bahwa permohonan kami ditolak, makanya kami sampaikan bentuk protes dengan tidak hadir dalam agenda putusan. Kami akan segera melaporkannya ke KY,” tutur Melkhior.

Hak Pemohon

Kepada Ekora NTT, Charisma mengatakan laporan ke Komisi Yudisial adalah hak pemohon. “Saya sangat menghormatinya,” katanya.

Charisma juga merespons tudingan “sering menepis dan tidak memberikan kesempatan bagi pemohon untuk menyampaikan keberatan kepada majelis pada saat agenda penyampaian kesimpulan.”

Ia menegaskan, dirinya hanya menjalankan tugas sebagaimana Hukum Acara Praperadilan yang memang selambat-lambatnya hanya tujuh hari hakim sudah harus menjatuhkan putusannya.

Gakkumdu Dinilai Ceroboh

Pakar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Rian Van Frits Kapitan justru berpendapat berbeda atas kasus dugaan kampanye hitam Maksi Ngkeros.

Rian bahkan menilai Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Manggarai terlalu ceroboh menetapkan calon bupati Manggarai, Maksi Ngkeros sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kampanye hitam.

Ia mengaku telah mengkaji kata-kata yang diucapkan Maksi Ngkeros saat kampanye di halaman Kampung Rampasasa. Pernyataan Maksi Ngkeros, kata dia, bukan kampanye hitam.

“Lah, kenapa kenapa Gakkumdu terlalu ceroboh menetapkan beliau tersangka? Miris juga,” kata Rian dalam keterangan yang diterima awak media, Selasa, 12 November 2024.

Ia mengatakan, penerapan Pasal 187 ayat (2) jo Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada terhadap peserta Pilkada seyogyanya dilakukan dengan hati-hati dan sedapat mungkin dihindari.

Kemudian, kalimat “Ende-ema..,agu sanggen taung ase ka’en.., Pu’ung ce’e mai ho’on lite pande di’an Manggarai ho’o; Agu neka teing caan suara latang thia Bupati Hery Nabit (Bapa-mama, saudara/i, sekalian.., mulai dari sini kita buat baik Manggarai ini, dan jangan kasih satupun suara kepada Hery Nabit)

Lalu disusul dengan kalimat,  Neka pilih hia kole tite, ai hia Hery Nabit poli pande hancurn Manggarai ho‘o (Jangan pilih dia lagi, karena dia Hery Nabit telah menghancurkan Manggarai ini).

Bagi Rian, kata-kata ini bukanlah merupakan penghinaan, hasutan, dan fitnah terhadap Hery Nabit sebagai petahana. Hal utama yang harus diberi makna adalah pengertian penghinaan, hasutan dan fitnah.

Apabila dilakukan interpretasi otentik dari penjelasan resmi UU Pilkada, maka tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut tentang “apakah yang dimaksud dengan penghinaan, hasutan, dan fitnah.”

Karena itu, menurut dia, harus dilihat maknanya menggunakan interpretasi gramatikal atau menurut tata bahasa.

Penghinaan menurut tata bahasa, kata Rian, selalu diartikan sebagai perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.

“Ruang untuk menilai kinerja seorang petahana sebagai materi dalam kampanye,” katanya.

“Saya berpendapat bahwa dua kalimat tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, sebab dalam dua pernyataan tersebut terdapat frasa “Manggarai telah hancur dan mari kita membuat baik Manggarai ini,” kata dia.

Rumusan “menghasut”, jelas dia, secara ekspresif verbis telah diatur dalam Pasal 160 KUHPidana dengan kualifikasi delik hasutan membuat keonaran yang merupakan jenis delik formil.

Artinya suatu perbuatan pidana yang tidak diperlukan akibat yang timbul dari hasutan itu, asalkan ada kalimat berupa hasutan, maka pelaku sudah dapat dipidana.

Perumusan delik dalam Pasal 160 KUHP itu sebagai delik formil membawa implikasi yang luas dalam bidang penegakan hukum pidana.

Sebab orang dapat diproses hukum tanpa pembuktian yang kompleks tentang kalimat yang dianggap menghasut itu.

Akan berbeda jika perumusannya berbentuk sebagai delik materil, maka pembuktiannya harus dilihat “apakah hasutan itu dilakukan oleh orang-orang yang dihasut ataukah tidak (akibat).”

Rian mengatakan, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 7/PUU-VII/2009, tanggal 22 Juli 2009 telah menegaskan bahwa tindak pidana menghasut a quo merupakan delik materil, maknanya harus menimbulkan akibat berupa berhasilnya hasutan tersebut.

Salah satu prinsip dasar dalam melakukan penafsiran undang-undang pidana adalah prinsip exceptio firmad regulam. Artinya, penafsiran Undang-undang pidana harus selalu menguntungkan terlapor, tersangka, dan terdakwa.

Oleh karena itu, Rian berpendapat bahwa menghasut dalam norma Pasal 69 huruf c harus diinterpretasi sistematis dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 7/PUU- VII/2009, tanggal 22 Juli 2009.

Sebab konteksnya adalah kedudukan Hery Nabit sebagai petahana yang dinilai tidak merealisasikan janji kampanye periode sebelumnya saat menjabat sebagai bupati Manggarai.

Sebelumnya, Ketua LSM Lembaga Pengkaji Peneliti Demokrasi Masyarakat (LPPDM) Marsel Ahang telah melapor Maksi Ngkeros ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Kabupaten Manggarai pada Senin, 14 Oktober 2024.

Ahang menilai, dalam materi kampanye Maksi Ngkeros telah menyudutkan pasangan calon nomor urut dua, Hery Nabit-Fabianus Abu.

spot_img
TERKINI
BACA JUGA