Seksinya Dana Desa

Ada klaim tentang kesuksesan pengelolaan dana desa, khususnya pencapaian di bidang infrastruktur di pedesaan. Di lain sisi, korupsi juga merajalela di desa-desa. Hal ini ditandai dengan meningkatnya angka korupsi dalam pengelolaan dana desa dari tahun ke tahun.   

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa pemerintah mengalokasikan dana desa. Dana ini bersumber dari APBN. Dana desa dialokasikan untuk desa dan ditransfer melalui APBD kabupaten/kota.

Tujuannya untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, serta pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.

Dana desa pun mulai bergulir sejak tahun 2015. Tahun 2015, Rp20,67 triliun digelontorkan ke desa-desa. Angka ini meningkat pada tahun berikutnya. Rp46,98 triliun dialokasikan pada tahun 2016 lampau.

Pada tahun 2017 dan 2018 dana yang digulirkan besarannya sama yakni Rp60 triliun. Tahun 2019, besarnya Rp70 triliun.

Selama lima tahun kepemimpinan Jokowi-Kalla, pemerintah pusat sudah telah menggelontorkan dana sebesar Rp257 triliun ke 74.900 desa. Pemerintah pun berjanji akan menganggarkan dana desa sebesar Rp400 triliun lima tahun mendatang.

Dengan aliran dana triliuran rupiah ini, pembangunan di desa berlangsung besar-besaran. Empat tahun terakhir, hal yang sangat nampak adalah pembangunan infrastruktur dasar. Hal ini memacu denyut nadi ekonomi di pedesaan. Adanya sarana dan prasarana di pedesaan, aktivitas ekonomi menjadi lebih hidup  

Sebagaimana yang dilansir antaranews.com, dana desa membantu pembangunan 1.140.378 meter jembatan, jalan desa 191.600 kilometer, pasar desa sebanyak 8.983 unit, kegiatan BUMDesa sebanyak 37.830 unit, embung desa sebanyak 4.175 unit, sarana irigasi sebanyak 58.931 unit.

Selain itu, dana desa juga telah turut membangun sarana prasarana penunjang kualitas hidup masyarakat desa melalui pembangunan 959.569 unit sarana air bersih, 240.587 unit Mandi Cuci Kakus (MCK), 9.692 unit Polindes, 50.854 unit PAUD, 24.820 unit Posyandu, serta drainase 29.557.922.

Menukil data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dana desa turut berkontribusi menurunkan angka kemiskinan di pedesaan.

Sepanjang Maret 2017-2018 terjadi penurunan 1,82 juta atau sebanyak 1,29 juta juta jiwa yang ada di pedesaan. Menteri Desa, Pembangunan

Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendesa PDDT) Eko Putro Sandjojo berujar “Adanya program dana desa terbukti efektif dan telah berhasil mengurangi kemiskinan di desa-desa”.

Sejak bergulirnya dana desa, pengangguran terbuka juga turun dari 4,93 dari tahun 2015 menjadi 3,72 pada tahun 2018 di wilayah pedesaan.

Data Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Mei 2018 menunjukkan, dana desa juga berpengaruh pada tingkat perkembangan desa.

RPJMN 2015-2019 menargetkan penurunan 5.000 desa tertinggal dan peningkatan 2.000 desa mandiri. Realisasinya terpenuhi bahkan melampaui target.

Ada penurunan 8.035 desa teringgal dan kenaikan 2.318 desa mandiri. Sejauh ini ada 5.216 desa mandiri, 57.341 desa berkembang dan 12.397 desa tertinggal.

Data yang sama menampilkan, jumlah Bumdes meningkat setiap tahun. 1.022 unit Bumdes pada 2014 meningkat menjadi 45.549 unit Bumdes pada tahun 2018.

61 % dari total desa tahun 2018 telah memiliki Bumdes. Tenaga kerja yang terserap Bumdes sebanyak 1.074.754 orang. Omzet Bumdes mencapai Rp1,16 triliun pertahun dengan laba bersih Rp121 miliar pertahun.

Khusus untuk provinsi NTT, pemerintah pusat telah mengucurkan dana desa Rp10,5 selama lima tahun. Perinciannya; tahun 2015 sebesar Rp812.875.565.000.

Tahun 2016 meningkat menjadi Rp1,8 triliun. Tahun 2017 bertambah menjadi Rp2,3 triliun. Tahun 2018 dana desa dikucurkan sebesar Rp2,5 triliun. Dan tahun 2019 angkanya naik mencapai Rp 3,2 triliun.

Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa Nusa Tenggara Timur (NTT), Sinun Pieter Manuk, mengatakan “Alokasi dana desa yang dikucurkan pemerintah pusat untuk NTT setiap tahun mengalami peningkatan yang sangat besar sebagai upaya pemerintah dalam menurunkan jumlah warga miskin di daerah ini,” demikian dilansir antaranews.com, 8 Maret 2019 lalu.

“Perhatian pemerintah pusat melalui pengalokasian dana desa untuk NTT. Dana Rp 10,5 triliun itu telah dimanfaatkan untuk pembangunan infrastruktur desa dan mendukung kegiatan ekonomi masyarakat desa setempat,” tambah Pieter Manuk.

Berdasarkan data DPMD NTT, dana desa juga mendanai lahir dan tumbuhkembangnya Bumdes di NTT. Ada 1.087 Bumdes yang tersebar di 3.026 desa di NTT. Namun yang aktif berjumlah 781 Bumdes dengan intevensi modal Rp118 miliar dari dana desa.    

Korupsi Dana Desa

Dana desa jelas memberikan dampak positif bagi kehidupan di desa. Tapi tak bisa dimungkiri pula kenaikan dana desa dari tahun ke tahun ikut menaikkan angka korupsi  di desa. Angka korupsi berbanding lurus dengan kenaikan dana desa.

Indonesia Corruption Watch (ICW) melansir di tengah besarnya anggaran yang dialokasikan, pengelolaan dana desa berhadapan dengan maraknya permasalahan korupsi di desa.

Tahun 2015, ketika pertama kali dana desa dikucurkan, tercatat 17 kasus korupsi. Angka ini meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2016 yakni 41 kasus.

Sementara pada tahun 2017, angka korupsi dana desa mencapai 96 kasus. Demikian pula pada tahun 2018, angka korupsi di desa sebanyak 96 kasus.

Indonesia Corruption Watch (ICW) juga melansir korupsi dana menyumbang kasus korupsi terbanyak pada tahun 2018 dibandingkan dengan sektor-sektor lain.

Dari 454 kasus yang ditindak pada tahun 2018, tercatat 96 kasus anggaran desa dengan kerugian negara sebesar Rp37,2 miliar.

“Itu terdiri dari kasus korupsi di sektor infrastruktur anggaran desa yang mencapai 49 kasus dengan kerugian negara mencapai Rp17,1 miliar, dan kasus korupsi sektor non-infrastruktur sebanyak 47 kasus dengan kerugian negara Rp20 miliar,” CNN melansir demikian.

Khusus di NTT, sebagaimana yang dilansir Florespedia, ada 24 kepala desa di Nusa Tenggara Timur (NTT) terbukti melakukan korupsi Dana Desa dan Aloksi Dana Desa (ADD). Data ini diperoleh dari Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Kupang dari Januari 2017-April 2019. 

Selain kepala desa, korupsi anggaran desa di NTT juga menyeret perangkat desa dan pelaksana proyek di desa. Angka ini akan meningkat dari waktu ke waktu mengingat banyak laporan masyarakat dan juga sejumlah kasus sudah mulai terkuak untuk dibawa ke meja hijau.

Minim Kreativitas

berdesa.com

Dalam catatan liputan Ekora NTT, tentang pengelolaan dana desa dan terlebih untuk pengembangan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) masih belum menunjukan hasil yang menggembirakan.

Desa-desa di NTT belum optimal mengembangkan gelontoran dana desa untuk pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa. Untuk pengembangan Bumdes saja, desa-desa di NTT belum sepenuhnya menampilkan hasil yang membanggakan.

Memang ada beberapa desa yang telah menunjukan perkembangannya secara signifikan sayangnya jumlah desa-desa yang sukses masih bisa dihitung dengan jari.

Saat ini jumlah desa di NTT mencapai 3.026. Masing-masing desa menerima anggaran dana desa yang besaran tiap tahap pencairannya mencapai RP600-Rp700 juta bahkan ada yang mencapai angka Rp1 miliar. Sayangnya proses pengelolaan terlebih untuk Bumdes masih panggang jauh dari api.

Beberapa desa di kabupaten Sikka dan Flores Timur berdasarkan penelusuran Ekora NTT punya potensi desa pada bidang pertanian dan perikanan yang layak jadi nilai jual dan punya pasar, sayangnya perangkat desanya malah jadi inisiator untuk usaha pengembangan Bumdes dengan membuka tempat fotokopy, penjualan ATK (alat tulis kantor) kios Sembako dan penjualan pulsa.

Bayangkan di desa yang kantornya cuma kantor desa dan paling tinggi dua sekolah dasar dan satu taman kanak-kanak, Bumdes yang dikembangkan adalah tempat fotocopy dan penjualan ATK.

Maka pertanyaannya adalah sudah besar-besar keluarkan biaya untuk belanja mesin fotocopy dan pengadaan etalase pendapatan sebulan untuk Bumdesnya tak sampai ratusan ribu apalagi jutaan.

Sudah begitu banyak Bumdes di NTT lebih mirip Koperasi Unit Desa (KUD). Dengan begitu maka sia-sialah gelontoran dana desa yang besar tapi nihil keuntungan.

Maka litani yang didaraskan adalah besar dana bukan lagi melipatgandakan keuntungan justru makin terseok. Jadilah ungkapan besar pasak dari tiang. Besar dana minim kreativitas.

Tentang Bumdes itu sendiri perlu digarisbawahi adalah, yang paling penting menentukan berkembang dan tidaknya ekonomi desa adalah kepala desa.

Bagaimanapun seluruh rangkaian proses ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan persoalan seorang kepala desa dalam menjalankan visi ekonomi untuk desanya.

Menurut Darius Don Boru, Kepala Desa Boru Kedang, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, kepala desa tidak hanya berfungsi sebagai pemberi tanda tangan berbagai dokumen administratif dan hal-hal yang formal saja.

Kepala desa harus memiliki visi yang kuat, pengetahuan yang mumpuni mengenai undang-udang termasuk UU Desa, menguasai informasi terbaru mengenai potensi ekonomi desa dan memiliki kemampuan melakukan analisis terhadap berbagai peluang ekonomi baik di desa maupun di luar desanya.

Dengan kata lain untuk menangani desa dengan berbagai kemudahan gelontoran dana desa yang besar seorang kepala desa harus menjadi arsitek ekonomi di desanya.

Dana desa tidak hanya difokuskan untuk program ekonomi saja melainkan juga untuk pembangunan infrastruktur, meningkatkan kualitas pelayanan publik juga termasuk memberantas gangguan pertumbuhan anak-anak di desa akibat stunting.

Tetapi semua program itu pada akhirnya bakal secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kesiapan desa mengembangkan ekonomi warganya.

Desa Boru Kedang misalnya jadi salah satu desa di NTT yang sebelumnya masuk kategori desa terbelakang mampu mengolah dana desa untuk pencegahan stunting dan peningkatan taraf hidup warga desa.

Melalui program Posyandu Bapak yang digagas Darius Don Boruk, desa ini maju pesat. Pemahaman warga desa terutama para bapak yang sebelumnya menyerahkan tanggung jawab pengasuhan anak hanya pada ibu.

“Kami mulai program Posyandu Bapak sejak tahun 2015, awalnya banyak orang pikir saya kepala desa ini sudah gila karena buat program aneh-aneh saja. Bapak-bapak sudah kerja di kebun jadi tugas antar anak ke Posyandu adalah tugas ibu,” kisah Kades Don.

“Saya katakan tidak, pokoknya harus dan wajib ikut. Jika tidak akan ada beberapa aturan yang bakal membuat warga desa tidak bisa memperoleh akses layanan di desa,” tambah Kades Don.

Lanjutnya, memang agak memaksa tapi sekarang hasilnya luar biasa. Anak-anak di desa Boru Kedang tumbuh sehat. Para bapak menyadari pentingnya pendampingan mereka akan kondisi anak-anak mereka. Anak-anak punya tabungan pendidikan dan semuanya dikontrol secara rutin.

Dalam hal Bumdes, Desa Boru Kedang sukses besar dengan pendapatan mencapai belasan bahkan naik sampai puluhan juta setiap bulannya karena secara optimal mengembangkan usaha air minum galon dan juga desa wisata.

Melaui Bumdes Borked Citra Mandiri, Desa Boru Kedang kini punya warga desa yang secara kasat mata dapat dilihat kemajuan dari cara mereka berpikir untuk kemandirian ekonomi keluarga dan juga pendidikan anak-anak mereka.

“Kami punya kepala desa yang malang melintang di dunia pemberdayaan ekonomi dan LSM sehingga kami sangat bersyukur untuk itu. Desa kami maju juga karena faktor kepala desa sebagai pimpinan wilayah yang sangat tegas. Pikirannya yang selalu visioner dan penuh kreativitas jadi pemicu bagi para perangkat desa dan juga warga desa untuk terpola,” tutur Frengky salah satu warga Desa Boru Kedang. 

Dengan demikian menjadi benar bahwa sekalipun dana desa itu besar tapi minim kreativitas maka desa bisa saja stagnan pembangunannya dan bahkan bisa saja mati suri. 

Hengky Ola Sura & Irenius J A Sagur

Megu Moong Nian Tana, Memurahmeriahkan Hiburan Berwisata (2/3)

Di tengah gempuran modal atau kapitalisme ke seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, segala sesuatu dijadikan komoditas atau dikomodifikasi dengan tujuan tunggal: meraup laba seoptimal mungkin dengan pengorbanan seminimal mungkin.

Tidak terkecuali pariwisata. Akibatnya, berwisata menjadi kemewahan orang-orang berduit. Orang miskin atau masyarakat kelas bawah susah berwisata.

Bagaimana Komunitas Megu Moong Nian Tana menyiasati fenomena ini?

Saudaraku, Minggu, 7 Juli 2019, saya berkesempatan alami langsung persaudaraan yang tercipta di Komunitas Megu Moong Nian Tana.

Kecuali Mbak Cucun Suryana dan Kakak Betty, semua orang di komunitas itu adalah orang asing bagi saya. Namun, dari sinilah, cerita itu bermula.

Pagi itu, udara Maumere dingin sekali.

Tiupan angin Munson dari Australia sungguh beri suasana berbeda sejak dua bulan terakhir.

Namun, udara yang dingin sama sekali tidak surutkan semangat para wisatawan lokal untuk melakukan trip ke Pulau Harapan atau Hopping Island di Perairan Teluk Maumere.

Seperti sudah ditulis sebelumnya, trip 1 day Hopping Island adalah satu dari tiga (3) program unggulan komunitas di samping 1 Day Ikat Weaving Excursion + Arak Distiling dan 1 Day Mount Egon Trail/Trekking.

Para turis lokal itu sudah lama tunggu di Markas Komunitas Megu Moong Nian Tana di Kedai Kopi Kampung Asli Maumere “Mokblek”, di Jalan Don Thomas, Kelurahan Kota Baru, Kecamatan Alok Timur, Kabupaten Sikka.

Ada banyak jalan ke sini. Saudara bisa susuri Jalan Don Thomas melewati LPPL Suara Sikka FM dan Hotel Go ke arah utara bawah.

Atau lewat Jalur Monumen Tsunami di Area Pertokoan Maumere melewati SDK Maumere 1.

Di belokan berbentuk huruf L, mata Saudara akan terpaku pada satu pohon beringin yang rindang. Di bawah pohon beringin itulah markas Komunitas Megu Moong Nian Tana bertakhta.

Jika sempat, Saudara bisa nikmati jua Kopi Kampung Asli Maumere “Mokblek” asuhan Elisia Digma Dari dan berbagai suvenir “Art Shop Floressa Etnik” besutan Du’a Sonya da Gama. 

Di bawah pohon beringin, Elisia Digma Dari tampak piawai mengkoordinasi 36 wisatawan lokal. 10 dari tim organizer dan pers plus 26 wisatawan lokal.

Kertas putih berisi manifes atau daftar hadir wisatawan dan ringkasan cerita tentang pulau destinasi wisata berkibar-kibar tertiup angin Munson di tangannya.

Judulnya, Explore The Best Maumere: One Day Hopping Islands. Para wisatawan terlebih dahulu berkumpul di Tourist Information Corner (TIC) di markas komunitas pada pukul 06.00 WITA, lalu berangkat ke Pelabuhan Nanghale.

Dalam perencanaannya, para wisatawan akan mengunjungi Pulau Pangabatang dan Pulau Babi.

Pulau Pangabatang adalah pulau mungil berpasir putih di Timur Teluk Maumere dengan spot snorkeling yang aduhai.

Sementara itu, Pulau Babi adalah salah satu pulau di Teluk Maumere yang kena hantaman gempa-tsunami paling parah pada 1992.

Namun, blessing in disguisse. Berkat selalu ada dalam bencana. Para wisatawan dapat menikmati snorkeling di retakan tsunami.

Yups! Saudara benar. Ada jejak retakan bumi di bawah taman laut di Pulau Babi akibat tsunami 27 tahun lampau.

Tak diragukan lagi, Pulau Babi merupakan salah satu destinasi menyelam terpopuler di Teluk Maumere.

Bersama gugus pulau lainnya, ia sumbang kredit poin sehingga Teluk Maumere bisa gondol Piala Anugerah Pesona Indonesia (API) pada Desember 2017 lalu. 

Akan tetapi, sungguh di luar dugaan Elis, seluruh peserta trip perdana komunitas ke Pulau Harapan di Teluk Maumere adalah wisatawan lokal.

Mereka datang dari berbagai profesi: ASN, jurnalis, perawat, guru, siswa praktik, mahasiswa, seniwati, guide, pegiat LSM, karyawati koperasi, dan lain-lain.

Dari Kabag Humas Setda Sikka Even Edomeko sampai Siswa Praktik dari Sekolah Kejuruan Pariwisata Larantuka Yulia, antusias jadi turis lokal.

Selama ini, dia berpikir, trip wisata merupakan kemewahan para turis mancanegara.

Oleh karena itu, target awal komunitas adalah mengumpulkan dan mengorganisasi para turis mancanegara yang tercecer di setiap sudut Nian Tana.

Tak dinanya, ternyata, rakyat Flores pada umumnya dan Sikka pada khususnya butuh hiburan wisata. Fakta ini membuat perempuan kelahiran Nagekeo ini terharu bukan kepalang.

“Dalam waktu 3 hari, saya sudah harus tutup pendaftaran peserta trip di media sosial. Ternyata, banyak orang lokal kita di sini semangat sekali untuk berwisata. Seluruh peserta trip perdana ini adalah orang lokal. Saya sungguh terharu,” demikian ungkapan perasaan wanita kelahiran 12 Juni 1978 ini.

Ternyata, istilah turis telah secara semena-mena digunakan hanya untuk para wisatawan mancanegara saja. Para penduduk lokal yang berwisata tidak disebut turis.

Padahal, secara etimologis, tur, dari kata dasar tour, berarti berjalan untuk bertamasya. Turis berarti orang yang berjalan untuk bertamasya.

Orang yang berjalan untuk bertamasya bukan hanya bule, bukan? Salah kaprah penggunaan istilah ini saja sudah cukup menjadi bukti bahwa kita memang telah merdeka secara politik, tetapi sebenarnya masih dijajah secara kebudayaan dan tentu saja ekonomi.

Di dunia pariwisata, mimpi Tri Sakti Sukarno “Berdaulat dalam Politik, Berdikari dalam Ekonomi, dan Berkepribadian dalam Kebudayaan” masih jauh menggantung di atas bintang gemintang.

Memang, mencumbu alam Flores yang indah sebenarnya bukan monopoli hasrat para turis bule semata, melainkan juga hasrat terpendam penduduk lokal di sini, Sang Empunya pemilik keindahan.

Hanya saja hasrat tersebut sulit tersalurkan karena pertama, estimasi biaya trip wisata yang mengangkasa dan kedua, tidak adanya trip organizer wisata yang profesional nan murah meriah.

Bayangkan Saudara, untuk bisa mencumbui Pulau Pangabatang yang molek, Saudara butuh duit minimal Rp1 juta. Rp500 ribu untuk sewa boat atau motor laut.

Sisanya untuk konsumsi selama di perjalanan dan di destinasi wisata.

Biaya bisa lebih tinggi kalau Saudara mulai titik start bukan dari Pelabuhan Nanghale.

Itu kalau Saudara jalan sendiri. Beban biaya bisa lebih membengkak kalau jalan dalam rombongan. Tentu saja ini adalah estimasi biaya minimal tanpa memperhitungkan perlengkapan standard safety seperti P3K, life jacket, peralatan snorkelling, pelampung, power bank, radio/orari, pluit, senter, korek api, air bersih, dan terpal.

Selain biaya, penduduk lokal juga ogah berwisata karena tidak punya road map atau peta jalan destinasi wisata yang mencerahkan.

Boleh jadi, rakyat Sikka tidak tahu tahu permainya 10 Pulau Harapan di Teluk Maumere, moleknya Pantai Pangabatang, dan mempesonanya taman laut di Pulau Babi, Pulau Kojadoi,  Pulau Parumaan, Pulau Dambila, Pulau Kondo, Pulau Pemana, Pulau Sukun, dan kawan-kawan lainnya.

Apakah mereka tahu Teluk Maumere pernah gondol Piala API?

Dua kekurangan mendasar itulah yang coba diisi oleh sama saudara kita di Komunitas Megu Moong Nian Tana.

Mereka mau menjaga API di Teluk Maumere tetap menyala dengan mengorganisasi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.

Harapannya adalah dengan semakin terorganisasinya para wisatawan dalam sebuah wadah komunitas trip dengan biaya yang terjangkau, pariwisata di Nian Tana akan semakin dikenal.

Bukan itu saja, mimpi baru yang melambung paska trip adalah agar rakyat Sikka dari berbagai kelas sosial tanpa pandang bulu dan bulus kekayaan bisa menikmati surga yang jatuh ke bumi Nian Tana.

Objek pariwisata dan aktivitas berwisata bukanlah kemewahan kelas-kelas berduit.

Dia mesti bisa dinikmati juga oleh misalnya du’a-du’a atau mo’at-mo’at Sikka yang saban hari berkeringat menjual sayur dan ikan di Pasar Alok atau di Pasar Tingkat Maumere.

Memurahmeriahkan hiburan berwisata. Mungkin kata itu bisa lukiskan salah satu mimpi komunitas anak-anak muda yang kreatif dan energik ini. (Bersambung…)

Duta Muda Indonesia asal NTT Ikut Seleksi “Indonesia-USA 70th Youth Ambassadors”

Maumere, Ekorantt.com – Maria Helena Yesenia Jimmy (20), mahasiswi semester VI Universitas Pendidikan Nasional (Undiknas) Bali jurusan Administrasi Negara yang juga alumni SMAK Frateran Maumere, lolos sebagai duta muda Indonesia perwakilan Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Undiknas Denpasar dalam Indonesia-USA 70th Youth Ambassadors.

Dalam keterangan yang dikirim via WhatsApp ke Ekora NTT, Kamis 4 Juli 2019, Yesenia, demikian ia akrab disapa, sudah masuk dalam posisi 20 besar.

Pada seleksi tahap pertama, lanjutnya, terdapat 548 peserta yang melamar. Pada tahap ini semua peserta diwajibkan untuk menulis esai dalam bahasa Inggris.

Yesenia, yang pernah mewakili Indonesia dalam kegiatan pertukaran pelajar South East Asia Youth Leadership Program (SEAYLP) pada tahun 2014 di Illinios dan Washington DC Amerika Serikat yang diadakan oleh USA Embassy Jakarta dan United States Department of State Bureau of Educational and Cultural Affairs, pun menulis esai dengan judul “Strengthening Democratic Values, Pancasila, and Civil Society as the Key to Harmony and Sustainability of Indonesia-America Bilateral Relations”.

Alhasil, bungsu buah kasih pasangan Baba Ice dan Theresia Indri Yuliastuti yang berdomisili di Jalan Nong Meak, Kampung Kabor, Maumere ini, berhasil lolos dalam seleksi tahap pertama dan memasuki tahap kedua yang hanya tersisa 60 peserta.

Selanjutnya, pada tahap ketiga, tersisa 20 orang saja yang lolos.

“Saya baru saja selesai menjalani seleksi tahap ketiga yang diadakan di Jakarta, tepatnya di Kementerian Luar Negeri RI pada tanggal 17-20 Juni 2019 baru lalu,” ujarnya.

Peraih juara II pada ajang Pemilihan Putri Bunga Tingkat Nasional di Banten tahun 2015 silam ini mengakui bahwa ia mendapatkan banyak pengalaman selama mengikuti kegiatan seleksi tahap ketiga di Jakarta.

Ia juga mendapatkan banyak ilmu dan pengetahuan baru karena selama seleksi peserta diberikan materi yang berhubungan dengan diplomasi, seperti materi tentang diplomasi publik, materi tentang hubungan bilateral Indonesia-Amerika Serikat yang menyangkut sektor kerja sama proritas kemitraan strategis serta tantangan hubungan bilateral.

Mahasiswi kelahiran Lela 28 November 1998 yang pernah lolos seleksi Parlemen Remaja dan menjadi Duta NTT mengikuti simulasi rapat di gedung DPR RI Jakarta tahun 2013 ini mengatakan, ada beberapa seleksi yang diikuti selama di Jakarta, yakni tes psikologi, diskusi kelompok dan presentasi kelompok.

Gadis yang ternyata pernah masuk juga dalam nominasi 6 besar Putri Citra Indonesia Tingkat Nasional di Banten tahun 2015 ini, menjelaskan pada akhir Juli 2019 nanti akan diumumkan 10 peserta yang lolos.

Para peserta akan melakukan perjalanan selama tiga minggu ke beberapa kota di Amerika Serikat pada bulan Oktober-November 2019.

Yang mana mereka akan bertemu dengan pejabat pemerintah, pofesional, tokoh agama, kalangan akademik dan kelompok suku untuk merasakan langsung budaya Amerika serta kehidupan sosialnya.

“Saya minta dukungan doa dari masyarakat NTT, lebih khusus masyarakat Kabupaten Sikka. Mudah-mudahan saya bisa terpilih menjadi 10 besar peserta yang akan berangkat ke Amerika pada bulan Oktober mendatang,” pinta Yesenia.

Yuven Fernandez

Aksi Coret-moret Marak di Maumere

Maumere, Ekorantt.com – Hampir tidak ada tempat publik di Maumere yang bersih dari vandalisme alias aksi coret-moret di tempat umum.

Vandalisme membuat wajah kota Maumere tampak jorok dan kumuh.

Di samping itu, ia juga menimbulkan kerugian ekonomi. Sebab, coret-coret itu lebih banyak dibuat di tempat yang dikerjakan oleh orang profesional. Yang tentu saja ada biaya pengerjaannya.

Penilaian ini datang dari Vinsen Ditus. Kepada Ekora NTT, jebolan STFK Ledalero ini, mengatakan bahwa fenomena vandalisme adalah ekspresi mental masyarakat yang tidak tahu menghargai orang lain dan tidak paham akan keteraturan dan keindahan.

Untuk meminimalisasi hal ini, putra Manggarai ini menawarkan solusi berupa langkah jangka pendek, yakni larangan vandalisme dan pemberian hukum mulai dari tingkat RT/RW.

Sementara jangka panjangnya, berupa penyusunan Perda soal pelarangan vandalisme dan kegiatan pembiasaan menghargai orang, barang dan keindahan yang diwajibkan di masyarakat dan sekolah.

Senada dengan Vinsen, Yosef don Bosco Fernandes, warga Waioti-Maumere, mengatakan, vandalisme sebagai ekspresi agresivitas yang salah.

“Saya menilai vandalisme itu cikal bakal tumbuhnya perilaku tak tahu menghargai sesama dan realitas kelemahan orangtua dalam mendidik anaknya. Kekosongan hati anak akan pengakuan diri sebagai anak yang dikasihi. Narsisme anak yang menegasi nilai moral,” tandas jebolan Fakultas Filsafat Agama UNWIRA Kupang ini.

Dalam pengamatan Bosco, demikian ia biasa disapa, vandalisme di kota yang pernah dijamah Paus Yohanes Paulus II ini sudah parah.

Bahkan putra Kloangpopot ini agak keras mengatakan vandalisme sebagai bentuk ekspresi moral yang busuk.

Untuk itu, katanya lagi, semua pihak perlu duduk bersama untuk diskusi.

“Gereja, pemerintah dan pihak sekolah perlu mulai membunuh bibit perilaku kurang  baik ini untuk tahu menghargai milik orang lain sebagai bagian dari moralitas Kristiani untuk mencapai hidup ugahari lewat aturan yang disepakati bersama,” ujar Bosco.

Selama 1 jam, Ekora NTT memantau tenpat-tempat yang menjadi sasaran empuk para vandalis, yakni tembok belakang Pasar Alok, Jalan Litbang, Kompleks Pertokoan, Jalan Gajah Mada, Jalan Ahmad Yani, Kota Uneng, dan Kampung Beru.

“Pak, saya sudah cape untuk omong soal aksi coret-moret ini. Sehabis cat tembok pagar rumah saya, anak-anak mabuk selalu pilox dan tulis kata-kata jorok,” ujar ibu Maria yang rumahnya berlokasi di depan Jalan Ahmad Yani.

Sementara itu, pelukis realis-naturalis, Dany Wati, yang juga merupakan pemilik Galery Blok M Plaza Jakarta Selatan, ketika dimintai komentarnya, mengatakan, aksi coret-moret ini akibat tidak ada wadah untuk anak-anak menyalurkan bakat melukisnya.

 “Sebenarnya kalau Pemda Sikka mau, lewat Dinas Kebersihan, bisa menyelenggarakan lomba grafiting dengan ide tertentu. Semisal di Gelora Samador, ide sepak bola. Silakan mereka menyalurkan bakatnya dan harus dilombakan dan mendapatkan hadiah yang layak,” ujar Dany yang usahanya kini menempati sebuah kapling di Pusat Jajanan dan Cinderamata Pasar Bongkar Perumnas, Jalan Anggrek Kota Uneng Maumere.

Dany juga meminta Pemda Sikka untuk menyiapkan sebuah wadah untuk para seniman berekspresi.

“Banyak pelukis yang tercecer dan kalau dibina terus akan menghasilkan pelukis andal. Untuk itu Taman Tsunami itu cocok untuk para seniman. Di taman tersebut dibangun kios-kios kecil untuk para seniman dan bisa dipungut biaya,” pinta Dany.

(Yuven Fernandez)

Tantangan Kaum Pemburu Senja di Pantai Selatan Kota Borong

Borong, Ekorantt.com – Berkunjung ke Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur, tentu tak lengkap jika kita tidak melihat sunset atau matahari terbenam di pantai selatannya.

Tempat ini memang menawarkan banyak keindahan, meski belum begitu banyak dikenal oleh kaum pelancong, terutama pemburu senja.

Datanglah di waktu sore hari pada pukul 16.00 kemudian nikmati suasananya hingga pukul 18.00. Rona kuning jingga bakalan muncul melambar langit dan berikan pantulan kepada siapa pun yang berseloroh di situ.

Tempat yang letaknya sangat strategis ini, tepat berada di area dermaga Borong, Kelurahan Kota Ndora.

Keberadaan perahu motor nelayan yang dilabukan di sekitar pantai makin menambah keindahan view.

Dari kota Borong, jarak menuju tempat ini kurang lebih 1 kilometer. Paculah kendaraan ke arah timur dan temukan spot kesayangan Anda.

Anda akan melewati jalur jalan nasional Flores menuju  Pertamina Borong, lalu belok kiri melewati jalur  jalan Pelabuhan Borong dan sekitar 5 menit lamanya Anda pasti tiba di bibir pantai termaksud.

Bagi Anda yang mau berkunjung ke tempat ini, disarankan untuk membawa snack atau makanan ringan sendiri. Karena di tempat ini belum ada kios atau warung yang menjual kebutuhan tersebut.

Salah seorang pengunjung, Ifah Algadri, ketika ditemui Ekora NTT, Rabu (10/7/2019), mengatakan tempat ini sungguh indah dan menakjubkan dan sodorkan tantangan tersendiri. .

Musababnya, momen sunset di pantai selatan Kota Borong hanya “muncul” pada hari-hari tertentu saja.

Sehingga para pemburu senja mesti punya feeling ataupun kecakapan membaca tanda-tanda alam agar bisa dapatkan kualitas fotograsi yang mantap.

“Sinar sunset ini muncul di hari-hari tertentu saja, tapi itu yang membikin menarik,” kata Ifah.

Dia pun menyarakankan kalian yang suka petualangan dalam mengabadikan senja, untuk datang bertandang ke tempat ini.

Ayo, siapa mau? (Mulia Donan)

Sejarah Baru Batas Ngada-Manggarai Timur

Riung, Ekorantt.com – “Agar kita semua tahu, bahwa tidak ada pembangunan yang dapat dilaksanakan dalam permusuhan dan perpecahan. Di manapun itu, tak akan pernah ada.”

Itulah sepenggal pesan Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dalam sambutannya pada acara seremoni pemasangan pilar batas antara Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur di Bensur, Desa Sambinasi Barat, Kecamatan Riung, Kabupaten Ngada, Jumat (14/6/2019).

Kegiatan ini merupakan lanjutan dari hasil kesepakatan penyelesaian tapal batas antara Kabupaten Ngada dan Kabupaten Manggarai Timur pada 14 Mei lalu, yang berlangsung di ruang rapat Gubernur NTT.

Acara diawali dengan tarian penyambutan dan pengalungan kain adat kepada Gubernur Viktor yang datang bersama rombongan Bupati Manggarai Timur (Matim) Agas Andreas bersama Wakil Bupatinya Stefanus Jaghur dan Bupati Ngada, Paulus Soliwoa.

Acara dilanjutkan dengan Pintu Manuk, yaitu prosesi saling menukar ayam antar dua daerah.

Selanjutnya, diadakan ritual adat Ria Ura Ngana dan Moza Laba, yakni penyembelihan seekor babi dan seekor sapi sebagai simbol rekonsiliasi.

Pemasangan pilar secara simbolis dan penanaman anakan beringin di titik koordinat lima Bensur,  dilaksanakan setelah acara ritual adat Gubernur bersama Bupati Ngada dan Bupati Matim selesai.

Gubernur Viktor dalam kesempatan tersebut mengajak warga dari kedua kabupaten di daerah perbatasan untuk bersyukur, karena masalah tapal batas yang telah terkatung-katung selama 46 tahun, bisa terselesaikan juga.

“Perdamaian ini bukan kerja siapa-siapa. Perdamaian ini adalah hasil dari cara kerja cinta kasih kedua belah pihak, yang sudah capek untuk saling berhadapan dalam perbedaan. Pada hari ini kedua belah pihak sepakat. Oleh karena itu kita semua patut bersyukur, karena cinta kasih dari semua warga yang ada di sini telah melahirkan sebuah kejadian yang beradab ini,” begitu jelas Viktor.

Viktor pun berharap, agar Pemerintah Kabupaten Ngada dan Kabupaten Matim beserta semua unsur untuk terus mendukung program-program Pemerintah, sehingga bisa digapai percepatan pembangunan infrastruktur, demi peningkatan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

“Tolong, jangan dengar isu apapun selain tentang informasi kemajuan. Jangan lagi dengar hoaks agar pembangunan pertanian, peternakan dan pariwisata dapat bertumbuh, sehingga tempat ini bisa jadi hebat, maju menjadi daerah yang luar biasa,” ujar Viktor.

Lebih lanjut, Putra Semau itu menegaskan kepada warga masyarakat di sekitar perbatasan, untuk tidak lagi melihat masa lalu dan terjebak di dalamnya. Ia mengajak keterlibatan semua, untuk bersama-sama maju menuju masa depan yang cerah.

Gubernur Viktor pun memberikan pujian kepada kedua bupati.

“Saya yakin, kedua Bupati yang hebat ini, dapat membangun tempat ini menjadi tempat yang lebih hebat lagi,” sambung Viktor.

Pada kesempatan yang sama, Bupati Ngada Paulus Soliwoa berharap agar 37 pilar yang nanti dipasang tidak dijadikan pemisah dan pembeda antara Ngada dan Matim.

Siliwoa berharap, pilar yang ada justru dijadikan sebagai pilar pemersatu antara Ngada dan Matim.

Tampak hadir pada kesempatan tersebut  unsur Forkopimda kedua Kabupaten, pimpinan dan utusan perangkat daerah baik dari Pemerintah Provinsi NTT maupun dari Pemkab Ngada dan Pemkab Matim, TNI/POLRI, Para Tetua Adat dan Tokoh Masyarakat kedua Kabupaten, serta warga masyarakat di daerah perbatasan.

Bermain dan Belajar bersama Forum Edukasi Solor

Forum Edukasi dan Literasi Solor merupakan salah satu proyek kerja sama Hishizora Foundation dan Du’anyam bagi anak-anak dari para penganyam dampingan Du’anyam.

Sejak tahun 2018, Hishizora Foundation bekerja sama dengan Du’anyam dalam rangka pemilihan penerimaan beasiswa bagi siswa/i kelas IV SD hingga VII SMP. Yang kemudian berlangsung seterusnya sampai jenjang SMA.

Hishizora Foundation sendiri sebagai sebuah yayasan independen yang berpusat di Yogyakarta, pertama kali didirikan pada 2 Mei 2006 oleh mahasiswa Indonesia yang kala itu menuntut ilmu di Rutsumeikan Asia Pasifik University (APU), Jepang.

Kepedulian kepada anak bangsa kemudian membuat Hishizora memberikan beasiswa “Mimpi Anak Negeri”.

Dan juga pendampingan kepada anak-anak Indonesia, dikenal dengan istilah “adik bintang”, yang berprestasi dan punya motivasi tinggi tapi alami hambatan dari segi finansial.

Bagi Du’anyam, proyek kerja sama ini menjadi salah satu bagian dari beberapa impact social untuk ibu-ibu penganyam dampingan mereka yang selama ini telah berjalan bersama mereka.

Pada tahun ini, tepatnya tanggal 25-26 Juni 2019 lalu, Hishizora dan Du’anyam mengadakan kegiatan pendampingan “adik bintang”, “wali bintang” dan para guru dalam kegiatan bertajuk “Forum Edukasi Solor”.

Kegiatan yang dilaksanakan di SDK Wulublolong Solor Timur ini memiliki tujuan beragam. Bagi “adik bintang”, tujuannya pada Social Emotional Learning dan Experience Learning.

Bagi “wali bintang”, tujuannya pada Financial Literacy dan Food Literacy. Sementara bagi para guru, tujuannya terpatri pada Teacher Development dan Children Development.

Namun, semuanya punya prinsip sama, yakni meningkatkan kapasitas diri anggota dampingan.

Forum Edukasi juga, dalam perencanaan tiga tahun ke depan, akan memiliki Program Literasi untuk anak-anak di Solor berupa pondok baca dengan berbagai aktivitas di dalamnya.

Makanya, dalam kegiatan hari itu, “Pondok Baca” untuk anak-anak pun diresmikan.

Hari pertama kegiatan, Selasa, 25 Juni 2019, dimulai dengan penjemputan tim Hoshizora dan Du’anyam oleh siswa/i SDK Wulublolong.

Setelah penjemputan, semua peserta berkumpul dalam satu kelas untuk melaksanakan pembukaan kegiatan Forum Edukasi. Dengan beberapa sambutan, yaitu dari Kepala Desa Wulublolong, Kepala Sekolah SDK Wulublolong, Perwakilan Du’anyam (Ardan) dan Perwakilan Hoshizora (Yudi Anwar).

Semua peserta diperkenalkan tentang Hoshizora dan program beasiswa lainnya “Doa Abang” juga penjelasan terkait kerja sama Du’anyam dan Hoshizora.

Setelah itu, setiap peserta dibagi dalam kelas dengan pembagian kelas untuk tiap forum, yaitu forum Adik Bintang, Forum Wali Bintang dan Forum Guru.

Tiap kelas memiliki satu fasilitator utama. Untuk forum Adik Bintang oleh Kak Tiwi, forum Wali Bintang oleh Kak Yudi dan forum Guru oleh Kak Ineke dan dibantu oleh beberapa fasilitator pembantu dari tim Du’anyam dan Kordinator wilayah.

Setiap kelas melaksanakan kegiatannya sesuai materi yang disiapkan oleh para fasilitator dan berjalan kurang lebih 2 jam.

Pada sore harinya, tim Hoshizora berkumpul bersama para korwil dan berdiskusi tentang pengelolaan “adik bintang”, terkhusus bagi 3 korwil baru untuk pulau Solor.

Setelah itu dilanjutkan dengan visitasi 4 “adik bintang” oleh tim Hoshizora di Desa Wulublolong dan Desa Lewograran.

Adapun kegiatan hari kedua, pada 26 Juni 2019, diawali dengan persiapan peresmian Pondok Baca. Pengaturan tempat launching dan pengarahan adik-adik dan orang tua untuk memulai launching bersama Kepala Sekolah Wulublolong sebagai perwakilan dari desa.

Setelah diarahkan, anak-anak dan orang tua bermain dan membaca bersama.

Anak-anak dan orang tua terlihat begitu bersemangat dalam membaca. Rasa ingin tahu dan menikmati bacaan begitu terasa saat itu.

Setelah membaca bersama, semua peserta diarahkan untuk berkumpul dan menjalani proses launching yang ditandai dengan penyerahan buku kepada Bapak Kepala Sekolah.

Dampak positif kegiatan, yang ditanyakan Obhy da Rato sebagai EPO (Event Project Officer)/PIC kegiatan, yakni ada peserta yang merasa bahagia punya waktu bersama seperti ini dan berkesempatan untuk saling berkenalan dengan orang-orang baru. Baik para guru, orang tua dan “adik-adik bintang”.

Itu menjadi semacam momen yang baik buat orang tua untuk refresh kembali dari rutinitas harian.

Dan tentunya, banyak orang tua merasa kaget ketika para anak menyebutkan cita-citanya.

Barangkali karena banyak yang tidak mengenal cita-cita anaknya sehingga bingung untuk mengarahkan dan membantu anak menuju cita-citanya.

Para guru pun merasa banyak dampak dalam kegiatan ini. Banyak games yang didapat untuk diterapkan bersama anak-anak di sekolah.

Selama ini, guru lupa “bermain” sehingga terkadang pembelajaran terasa kurang menyenangkan bagi siswa.

Satu hal lain yang menyentuh tampak dalam jawaban para guru, ketika ditanya “Apa yang membanggakan menjadi guru?”

Tanpa saling janjian, para guru menuliskan, “Bangga menjadi bagian dari perubahan positif bagi siswa.”

Demikian pun “adik-adik bintang” yang merasa bahagia karena banyak keseruan dan banyak profesi-profesi baru yang diperkenalkan kepada mereka.

Meneroka Perspektif Sebuah Pertemuan

Pada hakikatnya, manusia merupakan makhluk yang dapat melihat beragam fenomena. Manusia akan memiliki beragam perspektif pula dalam membaca fenomena-fenomena tersebut.

Dan tentu saja keberagaman dalam memandang ataupun membaca itu berasal dari akal budinya.

Akal budi adalah anugerah besar dari Tuhan.

Ia ada di dalam diri manusia, untuk difungsikan sebaik-baiknya. Baik di dirinya, maupun di luar dirinya.

Tanpa akal budi, manusia tak akan punya arti dalam kehidupan yang fana ini.

Namun, tidak semua akal budi sama. Satu orang berbeda dengan satu orang lainnya. Satu kelompok berbeda cerapan akal budinya dengan kelompok lainnya.

Sehingga perbedaan tersebut memunculkan banyak fenomena lainnya. Tapi, salah satu yang berbahaya ialah saling klaim kebenaran. Bahkan, hingga berujung perpecahan ataupun peperangan.

AA. Reza Wattimena dalam buku Perspektif: Dari Spiritualitas Hidup sampai dengan Hubungan Antar Bangsa menyebut, hasil pikir akal budi yang berujung cekcok dan peperangan tersebut sebagai “Aku berpikir, maka aku….menderita”.

Berpikir tapi menderita. Sebab, hasil pikir itu membuat kondisi diri manusia jadi tidak ideal.

Memang semua manusia harus ideal. Dalam bahasa sederhana, manusia harus sesuai dengan jati dirinya. Jati diri yang paling sejati.

Dan salah satu juntrung dari jati diri itu, manusia diharapkan saling bekerja sama memajukan kehidupan di bumi ini.

Pertemuan antarmanusia yang terjadi merupakan salah satu fenomena kehidupan.

Entah yang bertemu selama ini saling bersaudara. Entah juga yang saling jumpa itu sebenarnya berkompetisi.

Namun yang jelas, sebagaimana dikatakan sedari tadi, pertemuan yang terjadi antarmanusia adalah fenomena atau peristiwa hidup yang bisa dilihat dengan mata.

Juga dimaknai dengan akal budi. Untuk membaca apa sebenarnya maksud pertemuan itu. Atau pesan-pesan yang ingin diembuskannya.

Apa makna sebenarnya dari pertemuan antara Jokowi dan Prabowo?

Tentu, semua ada di kepala kita masing-masing. Lantas diwujudkan dengan respons yang beragam.

Kita bisa membaca pikiran kita sendiri. Kita juga bisa membaca pikiran orang lain melalui respons yang dituangkan di media sosial pascapertemuan di Stasiun MRT itu.

Respons kita tentu saja berasal dari akal budi.

Yang membuatnya beragam adalah perbedaan perspektif yang kita gunakan. Antara perspektif politik dan perspektif ekonomi, pandangan yang muncul jelas akan berbeda.

Begitu juga antara perspektif kompetisi dengan perspektif persaudaraan, output responsnya akan berbeda pula.

Manusia sekarang, meskipun telah terinstal oleh akal budi atau rasio yang mencerahkan, tetap tidak bebas akan mitos juga ideologi.

Mitos atau ideologi sendiri itu muncul, yang menurut Adorno dan Horkheimer seperti dikutip F. Budi Hardiman dalam buku Kritik Ideologi: Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen Habermas, diawali dari akal budi juga.

Tetapi akal budi atau rasio itu telah membeku. Atau dibekukan. Sehingga mitos atau ideologi tadi membuatnya tunduk dan patuh.

Ia tak bisa bergerak dalam kekuasaan jeruji mitos atau ideologi itu. Maka yang terjadi, apa pun yang ia baca, tak bisa lepas dari perspektif itu.

Anda tahu, jeruji mitos dan ideologi itu berhasil menguasai rasionya, sebab sifatnya yang sangat tertutup.

Tertutup untuk saling berdialektika dengan cara pandang atau perspektif lainnya. Bahkan tertutup untuk menilai tepat atau tidak terhadap perspektif yang ia pakai itu.

Pada akhirnya, semua respons kita sepatutnya kembali ke jati diri kita sebagai manusia.

Bahwa manusia itu khalifah, bersaudara, baik, dan berketuhanan.

Jadi, ketika mereka saling jumpa, bertemu, dalam suasana ngopi bareng misalnya, tak syak lagi itu merupakan manifestasi dari ungkapan jati diri kemanusiaan.

Sebab, pada aslinya tidak ada manusia yang ingin saling terpisah. Apalagi terpisah dalam situasi saling berseteru. Hatinya bakalan gundah. Pikirannya akan tidak tenang. Ketakutan dan kebencian akan selalu menemaninya.

Yang paling pamungkas, dalam konteks agama samawi, semua manusia berasal dari satu orang: Bapak Adam.

Maka, ketika manusia bertemu dengan manusia lainnya, saling sapa, saling bertukar pikiran. Berembuk tentang masalah hidupnya. Saling menolong. Saling mendukung. Adalah sebuah sikap yang sewajarnya dan mesti terus-menerus dilakukan.

Rahmat Hidayat Zein, pernah belajar di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel, Surabaya. Tinggal di Mojokerto, Jawa Timur.

Seorang Remaja asal Ngada Tewas Gantung Diri di Matim

Borong, Ekora NTT- Kasus bunuh diri kembali terjadi di Manggarai Timur. A (15), remaja asal Mataloko-Ngada ditemukan tak bernyawa di rumah kontrakan milik Yohanes Rasi, di Peot, Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, Minggu (14/07/2019).

Di lehernya terjerat seutas kain sal yang diikatkan pada balok palang atas rumah. Insiden gantung diri ini diketahui pertama kali oleh saudara korban, Fransiskus Agus Wanda alias Us (13).

Kepala Satuan Sektor (Kapolsek) Borong, AKP Virgantara Sjarifudin kepada Ekora NTT menjelaskan, A meninggal dunia dengan cara menggantungkan diri.

“Pada pukul 18.40 wita, jasad korban diturunkan oleh warga setempat dengan cara memotong kain sal yang terikat pada palang kayu menggunakan pisau, tanpa mengubah ikatan,” urai AKP Virgantara.

Selanjutnya, pada pukul 19.20 wita, jasad korban diperiksa di Puskesmas Borong dan hasil pemeriksaannya tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban.

Lebih lanjut, kata AKP Virgantara, saudara korban, Us tinggal bersama korban selama 7 bulan terakhir di kontrakan milik Yonanes Rasi yang adalah paman korban.

Rencananya, korban akan bersekolah di SMP Negeri 11 borong dan dibiayai olehYohanes Rasi.

“Korban sudah mendaftar sebagai calon siswa SMP Negeri 11 borong di Peot,” jelasnya.

Keluarga korban dari Mataloko, Kabupaten Ngada pun menjemput jenazah korban untuk dibawa ke Mataloko dan dimakamkan.

Adeputra Moses

Redaksi EKORA NTT Mohon Maaf: Muat Artikel Plagiasi dari Saudara Bapthista Mario Y. Sara

Pada Senin, 8 Juli 2019, Redaksi EKORA NTT, selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA, menerima artikel opini berjudul “Kapitalisme dalam Lingkup Akademi” dari Bapthista Mario Y. Sara, selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. PIHAK KEDUA memperkenalkan diri sebagai Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang dan Anggota Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Kupang.

Di tubuh e-mail, PIHAK KEDUA menulis pengantar singkat tentang isi artikelnya, “Rilisan opini ini, merupakan bentuk keresahan saya dan teman-teman mahasiswa terhadap atmosfer perguruan tinggi, yang kian hari makin beraroma kapitalis. Banyak hal yang makin membias layaknya perusahaan industri yang bergerak di bidang pendidikan. Oleh karena itu, dengan besar hati saya berkeinginan jika opini saya bisa dan dapat dipublikasikan di media massa EKORA NTT.”

Setelah membaca dan mempelajari substansi tulisan tersebut di atas, PIHAK PERTAMA menilai, artikel itu layak muat karena membahas masalah aktual yang sedang terjadi dalam lingkup kampus-kampus di Indonesia.

PIHAK PERTAMA kemudian memuat artikel tersebut dalam dua versi, yakni pertama, versi cetak EKORA NTT Edisi 73, Sabtu, 13 Juli 2019 dan  kedua, versi online ekorantt.com pada Sabtu, 13 Juli 2019 masing-masing dengan judul “Kampus Bukan Pasar Kapitalis!: Kapitalisme dalam Lingkup Akademi” dan “Kampus Bukan Pasar Kapitalis!” (https://ekorantt.com/2019/07/13/kampus-bukan-pasar-kapitalis).

Akan tetapi, dalam penelusuran pada Minggu, 14 Juli 2019, PIHAK PERTAMA menemukan, ternyata artikel PIHAK KEDUA merupakan hasil plagiasi atas tiga (3) artikel di media online.

Artikel pertama berjudul “Kemesraan Kapitalis di Lingkungan Kampus” dimuat media edunews.id pada tanggal 20 Januari 2017 (https://www.edunews.id/literasi/opini/kemesraan-kapitalis-di-lingkungan-kampus). Penulisnya adalah Muh. Aslan Syah, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Artikel kedua berjudul “Mahasiswa dalam Genggaman Kapitalisme” dimuat media wordpress.com pada tanggal 29 Mei 2013 (https://smipsulteng.wordpress.com/2013/05/29/mahasiswa-dalam-genggaman-kapitalisme/). Penulisnya adalah Adriansyah, Mahasiswa Jurusan Sosiologi, Fisip Untad, Palu.

Artikel ketiga berjudul “Kapitalisme dan Liberalisme dalam Pendekatan Komunikasi” dimuat media Kompasiana pada tanggal 23 November 2010. PIHAK PERTAMA tidak bisa lampirkan link artikel ketiga karena tidak bisa membuka tautannya di mesin pencarian Google.

Dalam artikel pertama, PIHAK KEDUA memplagiasinya sebagai bahan tulisan dalam artikelnya pada paragraf pertama, paragraf ketiga, paragraf keempat, paragraf kelima, dan paragraf kedelapan.

Dalam artikel kedua, PIHAK KEDUA memplagiasinya sebagai bahan tulisan dalam artikelnya pada paragraf keenam, paragraf ketujuh, paragraf kesembilan, dan paragraf kesepuluh.

Dalam artikel ketiga, PIHAK KEDUA memplagiasinya sebagai bahan tulisan dalam artikelnya pada paragraf kedua.

Jumlah paragraf dalam artikel PIHAK KEDUA adalah 10 paragraf. Dengan demikian, seluruh isi artikel PIHAK KEDUA yang dimuat EKORA NTT merupakan hasil plagiasi.

Berdasarkan latar belakang kasus plagiasi di atas, PIHAK PERTAMA mengambil kebijakan sebagai berikut.

Pertama, PIHAK PERTAMA memohon maaf kepada publik pembaca EKORA NTT versi cetak dan versi online atas keteledoran, ketidaktelitian, dan kekeliruan dalam memuat artikel PIHAK KEDUA. PIHAK PERTAMA juga memohon maaf kepada Muh. Aslan Syah, Adriansyah, dan Penulis Kompasiana yang artikel mereka diplagiasi oleh PIHAK KEDUA. PIHAK PERTAMA berharap, keteledoran, ketidaktelitian, dan kekeliruan fatal ini menjadi pengalaman pertama dan terakhir. PIHAK PERTAMA berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi keteledoran, ketidaktelitian, dan kekeliruan serupa.

Kedua, PIHAK PERTAMA mengutuk keras segala bentuk plagiarisme. Plagiarisme memperbodoh rakyat dan kontraproduktif dengan semangat literasi yang sedang ramai diperjuangkan oleh berbagai pihak.

Oleh karena itu, ketiga, PIHAK PERTAMA akan mencabut semua artikel PIHAK KEDUA yang selama ini dimuat di EKORA NTT. PIHAK PERTAMA juga akan menetapkan PIHAK KEDUA dalam daftar black list Penulis artikel EKORA NTT. PIHAK PERTAMA tidak akan menerima lagi segala bentuk artikel dari PIHAK KEDUA.

Keempat, sanksi PIHAK PERTAMA kepada PIHAK KEDUA akan diterapkan kepada semua Penulis artikel EKORA NTT jika terbukti melakukan plagiarisme.

PIHAK PERTAMA memuat pernyataan sikap ini dalam dua versi terbitan EKORA NTT, yaitu versi cetak edisi 75 dan versi online pada Minggu, 14 Juli 2019. PIHAK PERTAMA juga mengirim tembusan surat via email kepada PIHAK KEDUA.

Demikian pernyataan sikap ini kami buat untuk dimaklumi oleh Sidang Pembaca yang Budiman. Atas perhatian Anda, kami haturkan limpah terima kasih.