Menuju “Sikka Terang” 2020, Pemkab Sikka Teken MoU dengan PLN FBT

0

Pada tahun 2019, jumlah rumah di Kabupaten Sikka sebanyak 75 ribu rumah. Namun, hingga saat ini, tercatat baru 53 ribu rumah yang memiliki sambungan listrik.

Oleh karena itu, melalui penandatanganan kesepakatan atau memorandum of understanding (MoU) antara Pemkab Sikka dan PLN Flores Bagian Timur (FBT) pada Senin (21/1), diharapkan pada tahun 2020 semua rumah di Kabupaten Sikka sudah bisa menikmati listrik.

Bupati Sikka, Robby Idong, mengungkapkan, sesuai visi dan misi, “semakin terpenuhinya hak-hak dasar”, Pemkab Sikka akan membantu pemasangan listrik untuk 20 ribu rumah yang masih gelap gulita terutama di wilayah pegunungan dan pulau-pulau melalui program listrik gratis dan dana lainnya.

Bupati Robby mengatakan, program pemasangan listrik gratis akan menyasar 10 ribu rumah tangga miskin. Sementara sisanya akan diusahakan Pemkab Sikka melalui dana alokasi khusus (DAK).

Selain melalui program dan dana itu, Bupati Robby menegaskan, dana desa juga dapat digunakan untuk memasang listrik gratis bagi warga yang alami kesulitan ekonomi.

“Kita juga perlu melakukan MoU dengan pemerintah desa dalam dua hal, yakni yang pertama bekerjasama untuk pemasangan sambungan rumah dengan perbandingan 70:30. Artinya, 70% dari pemerintah kabupaten dan 30% dari dana desa,” jelasnnya.

“Kedua, dalam hal pembersihan area jaringan, ini menjadi tanggungjawab kemasyarakatan. Artinya, pembebasan menjadi tanggungjawab kepala desa. Jadi, kalau ada yang tidak mau dipangkas pohonnya kepala desa yang bertanggungjawab,” tambah Bupati Robby.

Tahun ini, lanjutnya, daerah yang menjadi prioritas pemasangan jaringan dan sambungan listrik adalah Kecamatan Doreng, Kecamatan Mapitara, Kecamatan Tanawawo, dan Kecamatan Palue. Di wilayah-wilayah ini, Pemkab Sikka menargetkan 2000 sampai 3000 sambungan rumah.

Oleh karena itu, ia berharap, para camat bisa segera menyampaikan hal ini kepada semua kepala desa sehingga dalam kesempatanMusyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tahun 2020 bisalangsung dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Desa (APBDes) atau dana desa.

Bupati Robby mewanti-wanti agar dalam pelaksanaan program ini tidak boleh ada pungutan. Camat dan kepala desa diminta aktif turun langsung ke masyarakat untuk mendata rumah tangga yang belum menikmati listrik.

“Tidak boleh ada pungutan 1 sen pun. Kalau ada yang memungut, itu namanya Pungli dan harus diproses.Ini murni kita membantu masyarakat,” tegasnya.

Kepala PLN FBT, Lambas R. Pasaribu mengatakan, kebutuhan listrik adalah kebutuhan primer masyarakat Kabupaten Sikka. PLN FBT sedang memperkuat sistem sehingga dapat melayani semua rumah di Kabupaten Sikka.

Kesulitan saat ini adalah kondisi lingkungan, topografi, dan jaringan–jaringan PLN yang sebagian besar melewati Hutan Tanaman Produktif (HTP).

Lambas menambahkan, dalam waktu mendatang, pihaknya akan membangun kerjasama untuk mengatur sistem perambasan atau pembersihan, khususnya di wilayah Rubit, Bola, dan Paga.

Menurut Lambas, penandatanganan MoU dengan Pemkab Sikka merupakan langkah PLN mewujudkan visi-misi PLN, yakni mendorong perekonomian dan mencerdas kankehidupan bangsa.Menurutnya, kalau sudah ada listrik, anak-anak dapat belajar dan mengerjakan tugas sekolah di malam hari.

“Kami sangat apresiasi mengenai kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sikka. Semoga sinergi yang kita bangun ini bias berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan kita,” pungkas Lambas.

Citos Natun

50% Pejabat Provinsi NTT Masih Korup

0

Sekitar 50% penjabat publik di lingkup Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) masih korup.

Hal ini disampaikan oleh Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat dalam kuliah umum “Merajut Mimpi Mewujudkan NTT yang Lebih Baik” di Aula Thomas Aquinas STFK Ledalero, Desa Takaplager, Kecamatan Nita, Kabupaten Sikka, Sabtu (24/11/2018).

Gubernur Laiskodat mengatakan, ia mengakui, masih terdapat 50% penjabat di provinsi yang main-main dengan uang rakyat.

“Di provinsi, saya yakin, masih ada. Masih ada 50% yang main-main. Harus saya akui. Tidak terlalu lama lagi mereka sudah mulai pusing,” katanya disambut tawa dan tepuk tangan audiens peserta kuliah umum.

Menurut Gubernur Laiskodat, korupsi berhubungan dengan integritas moral seseorang. Oleh karena itu, seseorang yang berintegritas harus menjadi pemimpin.

“Korupsi itu satu-satunya ya integritas. Memang moral. Tidak boleh tentang kekuasaan yang lain. Itu dulu. Pemimpin yang bermoral, satu saja. Satu benar, dia menjadi penentu. Kalau dia menjadi pengekor, tidak bisa. Karena itu, pemimpin yang berintegritas harus jadi pemimpin,” katanya.

Menurut Gubernur Laiskodat, kalau seorang pemimpin memiliki integritas moral yang baik, maka segala tata kelola pemerintahan akan berjalan lurus.

Kehancuran terjadi pada saat seorang pemimpin berbicara tentang besaran uang yang diperoleh dari setiap proses pembangunan.

“Kalau dia jadi pemimpin, maka semua akan lurus. Kalau dia ikut berperan untuk bicara tentang fee, saya dapat berapa, maka hancur semua,”

Gubernur Laiskodat mengatakan, semua orang butuh uang. Akan tetapi, cara memperoleh uang harus ditempuh dengan cara yang benar.

“Saya bilang, kalau perlu uang, datanglah ke gubernur dan bicara. Kita cari akal cari uang. Karena kita ini perlu uang. Siapa yang tidak mau uang? Tapi, dengan cara yang benar. Jangan dengan cara by pass. Bahaya kita. Ini merugikan kita,” katanya.

Ketua STFK Ledalero, Otto Gusti Madung saat dimintai tanggapannya menyatakan mendukung Gubernur Laiskodat bertindak tegas terhadap 50% penjabat korup di lingkup pemerintah provinsi. Akan tetapi, sebagai negara hukum, jika gubernur memiliki data yang cukup, ia bisa melaporkan para penjabat korup itu ke penegak hukum.

Otto mengatakan, NTT menunggu janji Gubernur Laiskodat menghadirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di NTT.

“Kita tunggu janji Gubernur untuk hadirkan KPK di NTT,” katanya.

Dirgahayu Sikka!

0

Oleh:  Silvano Keo Bhaghi, Redaktur Ekora NTT

“Akan tetapi, apakah kami anak Flores yang miskin dan rendah ini akan mempersembahkan ke bawah seri Paduka Tuan Besar? Kami malu pada mengingat tanah kami Flores yang semiskin ini” (Raja Sikka, Don Thomas da Silva)

Sebelum sistem pemerintahan kabupaten diberlakukan di Indonesia pada 1958, berdasarkan sistem zelfbeestur pemerintah kolonial Belanda yang membagi wilayah-wilayah provinsi ke dalam onderafdeling dan kemudian swapraja, masyarakat Sikka diperintah oleh para Raja dan Ratu Sikka dari keturunan Lepo Gete atau rumah besar atau istana (E.D. Lewis dan O.P. Mandalangi, Hikayat Kerajaan Sikka, 2008, pp. xv-xxiii).

Menurut catatan tulisan tangan Dominicus D.P. Kondi dan Aleksius B. Pareira tentang sejarah Kerajaan Sikka, kerajaan ini pernah diperintah oleh 14 raja dan 2 ratu dengan Don Alesu sebagai raja Sikka pertama.

Tiga raja yang terakhir adalah Raja Nong Meak da Silva, Raja Don Thomas da Silva, dan Raja Don Paulo Sentis da Silva.

Menurut mitos, nama Sikka diambil dari nama istri Mo’ang Sugi, yaitu Du’a Sikka, seorang gadis cantik pribumi yang dikawini oleh Mo’ang Sugi, putra Nahkoda Kapal, Mo’ang Rae Raja yang kapalnya karam di pantai selatan Flores, Wutung Ni’i, di sebelah timur kampung Sikka sekarang.

Nama Sikka berasal dari kata bahasa Sikka, sikang, artinya mengusir, menunjuk pada turunan Mo’ang Sugi dan Du’a Sikka yang mengusir orang Hokor di pantai selatan Flores untuk dijadikan tempat bermukim.

Pada 14 Desember 1958, Wakil Gubernur Nusa Tenggara, A.S Pello yang berkedudukan di Singaraja, Bali menyerahkan salinan Undang-Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II dalam Wilayah Daerah-Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur kepada Penjabat Sementara Kepala Daerah Swatantra Sikka, Raja Don Paulus Centis Ximenes da Silva yang berkedudukan di Kupang.

Menurut Sejarahwan Lokal, Eugenio Pacelli da Gomez, itulah hari lahir Kabupaten Sikka (Ekora NTT, 15/12). Jadi, menurut versi ini, Kabupaten Sikka rayakan HUT Ke-60 pada Jumat, 14 Desember 2018.

Tentu penentuan hari jadi ini masih menuai kontroversi di tengah masyarakat. Wikipedia, misalnya, menulis, daerah swapraja Sikka resmi berdiri menjadi Daerah Tingkat II pada tanggal 1 Maret 1958 dengan ibu kota Maumere dan kepala daerah pertama Raja Don Paulus Centis Ximenes da Silva.

Penulis berpendapat, kontroversi hari lahir bisa membangkitkan diskursus yang sehat tentang sejarah Kabupaten Sikka dan relevansinya untuk pembangunan Kabupaten Sikka dewasa ini.

Bagaimana pun juga, diskursus tentang sejarah lahir kabupaten perlu diwacanakan agar pembangunan di daerah ini tidak berkarakter ahistoris. Pembangunan yang ahistoris berarti pembangunan yang tidak memperhatikan dan buta terhadap sejarah masa lalu suatu daerah.

Akibatnya, pembangunan dari suatu masa kepemimpinan terputus dari pembangunan pada masa sebelumnya. Prestasi kepemimpinan suatu periode tidak bisa dicontoh di satu sisi dan kebodohan kepemimpinan suatu periode akan diulangi lagi oleh rezim sekarang di sisi lain.

Sejak 1958, sudah ada 11 bupati yang menahkodai wilayah dengan luas daratan 1.731,91 Km2 dan luas lautan 5.883,24 Km2 yang terdiri atas 21 kecamatan, 147 desa, 13 kelurahan, dan 34 desa persiapan ini.

Lamanya masa jabatan bervariasi: mulai dari 2, 5, hingga 10 tahun masa kepemimpinan. Kepemimpinan setiap kepala daerah punya plus minus masing-masing.

Ada yang lekang di ingatan masyarakat karena diabadikan menjadi nama stadion, pelabuhan, dan jalan. Tetapi, ada pula yang samar bahkan hilang dari ingatan masyarakat karena satu dan lain sebab.

Dengan visi “Pemenuhan Hak-Hak Dasar Masyarakat Menuju Sikka Bahagia 2023”, misi “Mewujudkan Masyarakat yang Berkualitas dan Reformasi Birokrasi”, dan beberapa terobosan kebijakan seperti dana pendidikan, ambulans gratis, rumah sakit tanpa kelas, industri kelapa, dan wisata religi, duet Robby-Romanus (2018-2023) optimis selesaikan masalah masih rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, belum adilnya perekonomian masyarakat, serta belum optimalnya pelaksanaan reformasi birokrasi.

Selain itu, ROMA juga mesti berjibaku atasi masalah masalah klasik yang membelit NTT pada umumnya dan Sikka pada khususnya, yaitu kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi. Pada 2017, jumlah penduduk miskin di Sikka 14,20% dengan Gini Ratio 0,274 (Dokumen RPJMD Sikka, 2018).

Hari jadi Kabupaten Sikka ke-60 jadi momen refleksi bagi masyarakat sipil dan Pemerintah Kabupaten Sikka untuk naikkan indeks pembangunan manusia, indeks kebahagiaan, indeks pendidikan, indeks reformasi birokrasi, angka harapan hidup, indeks gini, dan indeks kepuasan masyarakat.

Tentu seperti pidato Raja Don Thomas da Silva ketika menyambut kunjungan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff di Ende, kita perlu merasa malu dengan masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi di negeri nyiur melambai ini.

Dirgahayu Kabupaten Sikka ke-60! Amapu Benjer!

Jangan Kalah dengan Mama Maria

0

Tenun ikat telah menjadi warisan yang berharga dalam tradisi masyarakat kita. Ini sudah semacam paradaban. Menenun juga bisa menjadi tonggak ekonomi keluarga. Itulah yang dialami Mama Maria.

“Menenun bukan lagi pekerjaan sampingan saya”, tutur Mama Maria Felixia ketika memulai perbincangan dengan saya di kediamannya di Kelurahan Madawat, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka awal Januari 2019 lalu.

Ibu tiga anak ini rupanya menghabiskan lebih dari 12 jam dalam sehari untuk menenun.

Perkakas tempurnya adalah “panta” atau seperangkat alat tenun dan beberapa gulungan benang. Meskipun telah memasuki senjakala usia, semangat dia tak kendor sedikit pun.

Apalagi Mama Maria juga tergabung dalam Kelompok Tenun Ikat Maumere Wenda bersama lima penenun lainnya. Tentu ini merupakan bagian dari pelestarian kebudayaan tradisional yang patut diapresiasi.

Berdasarkan pengakuannya, kelompok tersebut dibentuk dengan harapan untuk mempermudah akses pemasaran.

“Dari guling benang, ikat, celup, tenun, sampai siap  dipasarkan, semuanya kami kerjakan sendiri di kelompok tenun ini,” pungkasnya.

Aktivitas menenun memang telah mendarahdaging dan dia lakukan itu sejak masa kecilnya. Keahliannya dalam menenun didukung kondisi lingkungan kala itu, yang mana sudah menjadi kewajiban bagi anak perempuan untuk lihai menggunakan alat tenun, bermain-main dengan motif ataupun memintal benang.

Tak dapat dimungkiri, dia pun mengomentari tipikal kaum muda masa kini yang menurutnya menjadi generasi instan.

“Anak zaman now ini tidak tahu apa-apa, mereka hanya tahu mesin,” keluhnya.

Dan keberadaan mesin itu sendiri nyaris menggantikan alat-alat kerja yang telah lama digandrungi para penenun tenun ikat seperti dirinya.

Namun, sebagai bagian dari tradisi dan kebudayaan, hal ini wajib hukumnya untuk jadi perhatian khusus masyarakat dan pemerintah agar senantiasa merawat dan melakukan pelestarian. 

Lantas, soal target tenunan, dalam sebulan Mama Maria mengusahakan agar setidaknya empat lembar sarung mesti siap dipasarkan. Waktu yang dibutuhkan untuk menuntaskan satu lembar sarung  itu tiga setengah hari.

Sementara, harganya pun berbeda-beda, tergantung motif dan jenisnya, demikian Mama Maria.

Sejak ditinggal suami tercinta tahun 2002 silam, Mama Maria memang menjadikan kegiatan menenun sebagai tonggak kebutuhan ekonomi keluarga. Dengan menjual hasil tenunnya, dia berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga perguruan tinggi.

Bahkan demi melunasi biaya registrasi, jam kerja akan diperpanjang. Kadang dia harus duduk menenun dari pagi sampai jam 11  malam.

Namun, usahanya itu dapat terbilang lancar. Alasannya, sarung-sarung buatan Mama Maria senantiasa diburu di pasaran.

“Kami baru beberapa menit di pasar, sarung langsung laku,” ujarnya optimistis.

Selain itu, Mama Maria dan penenun lainnya di Maumere sangat terbantu dengan gerakan pemerintah dan seluruh masyarakat yang mewajibkan penggunaan baju sarung di berbagai instansi pada hari tertentu.

Meskipun begitu, dalam melancarkan usahanya, Mama Maria masih terkendala modal uang. “Kadang kami harus cari pinjaman untuk beli obat celup. Setelah laku baru diganti,” bebernya.

Pada Festival Seni dan Budaya Maumere tahun 2018 ini,  Mama Maria dan Kelompok Tenun  Ikat Maumere Wenda mendapat satu stan untuk memamerkan karya mereka. Dia pun berharap agar kegiatan-kegiatan sejenis terus dikembangkan dan para anak muda Maumere khususnya tidak boleh sungkan untuk mempelajari budaya warisan leluhur tersebut.

Wajah Baru Pantai Weri

Salah satu wisata alam menarik di sekitaran kota Larantuka adalah pantai Weri di Kelurahan Weri, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur. Pantai ini merupakan salah satu pantai yang berada pada bagian paling timur dalam lanskap pulau Flores.

Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke lokasi ini dan menyaksikan segelintir perubahan berarti. Perubahannya merujuk pada semakin apiknya penataan ruang juga spot-spot dengan beragam variasi yang sangat kekinian. Sekarang, pantai Weri ini lebih dikenal dengan nama Asam Satu Beach.

Masuk ke dalam, pada bagian pinggiran pantai, saya melihat adanya sejumlah pondok untuk berteduh juga tempat-tempat sampah yang terbuat dari bahan-bahan tradisional. Selain itu, terdapat juga plang-plang kayu penuh warna yang diberi aksesoris menarik.

Saya duga, pantai ini tampaknya ditata untuk generasi milenial sekarang yang memang punya kecenderungan tinggi untuk berwisata dan melakukan foto-foto ria.

Pada salah satu spot foto saja, terdapat pajangan kata-kata cinta yang ditulis dalam bahasa Nagi, semisal pemete cinta, kedata buke oa, sepenga le, dan tasangko.

Kata-kata tersebut merupakan tuturan khas anak-anak muda Larantuka dalam konteks pergaulan sosial mereka, terutama berkenaan dengan kisah cinta. 

Kondisi laut pantai Weri sendiri memang jernih dengan hamparan pasirnya yang eksotis. Saya cukup lama menikmati keindahan ini. Bunyi debur ombak dan kesiur angin laut semakin memberikan nuansa syahdu. Tampak juga beberapa nelayan sedang melaut di sepanjang teluk Larantuka.

Ternyata, objek wisata pantai Weri atau Asam Satu Beach ini dikelola oleh anak-anak muda Kelompok Penggerak Pariwisata (Kompepar) Kelurahan Weri. Mereka menata kembali lokasi tersebut yang sebelumnya tidak terlalu terurus.

Saya bertemu dengan Rudy Fernandes, salah seorang pengelola di situ, dan dia sempat menuturkan aktivitas mereka.

“Kami bersihkan ulang dan dengan swadaya yang ada, kami bangun beberapa sarana bagi wisatawan supaya rasa nyaman di sini,” tandasnya.

Awalnya, apa yang dilakukan Rudy dan kawan-kawannya tidak terlalu mendapat perhatian serius dari khalayak banyak, terlebih dari pemerintah daerah. Namun, perlahan tapi pasti, kerja keras dan niat baik mereka rupanya membuahkan hasil.

Bantuan fasilitas pun datang dari berbagai instansi dan penataan jadi semakin baik. Kunjungan wisatawan makin hari makin meningkat. Tak hanya orang-orang lokal atau anak muda saja, tetapi juga turis-turis asing.

Pantai Weri sungguh telah menampilkan wajah barunya. Akan tetapi, di atas semuanya itu, keberadaannya harus dijaga agar tidak mudah tercemar oleh ulah-ulah manusia.

Selain itu, para pengelolanya juga mesti fokus pada pelayanan dan pemeliharaan fasilitas infrastruktur yang ada, seperti kamar mandi dan toilet, demi timbulkan efek nyaman bagi siapa saja yang datang bertandang.

Elvan de Porres

Flores Timur Jadi Kabupaten Literasi

0

Bupati Flores Timur, Antonius Gege Hadjon mendeklarasikan Flores timur sebagai kabupaten Literasi.

Hal ini ditegaskannya pada hari puncak peringatan Hari Lahir (Harlah) Agupena ke-12, di aula OMK Keuskupan Larantuka, Rabu (28/11/2018).

“Teruslah menulis dan berkarya melalui gerakan literasi. Hari ini saya sekaligus mendeklarasikan kabupaten Flores Timur sebagai kabupaten literasi,” tegas Anton disambut tepukan tangan peserta yang hadir.

Bupati Anton mengatakan, budaya membaca dan menulis belum menjadi dasar utama para guru di Flotim. Apa yang dilakukan Agupena Flotim ini bisa menggerakan para guru untuk mulai membudayakan gerakan literasi ini.

“Tidak banyak yang pemerintah berikan kepada Agupena Flotim tetapi mereka telah berbuat banyak bagi perkembangan gerakan literasi di kabupaten Flotim,” ungkapnya.

Ia meminta agar Agupena terus menulis sebab banyak sekali ceritera-ceritera di masyarakat yang perlu dibukukan. Jadikanlah Agupena sebagai lumbung kreasi untuk mengisnpirasi diri demi kepentingan Lewotana dan kemajuan bangsa.

Asy’ari Hidayah Hanafi, ketua panitia peringatan hari lahir Agupena ke-12 mengatakan, pihaknya sadar, budaya literasi harus dihidupkan di Flores Timur (Flotim) sebab budaya literasi merupakan jembatan menuju kemajuan bangsa.

“Gencarnya gerakan literasi yang dibangun Agupena Flotim selain dilakukan lewat sekolah dan taman bacaan, juga dengan menyelenggarakan festival literasi, lomba membaca dan menulis serta workshop menulis berita, dan buku,” terangnya.

Gerakan ini, kata Ary sapaannya, memberi efek semakin banyak anak sekolah dan guru serta masyarakat mulai membaca dan menulis.

“Pemerintah kabupaten Flotim pun sangat mendukung langkah yang dilakukan Agupena,” ujarnya.

Bahkan pemerintah kabupaten Flotim melalui dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga telah mengeluarkan surat edaran kepada lembaga pendidikan baik jenjang SD, SMP dan SMA atau sederajat untuk melaksanakan gerakan literasi.

“Ini tentunya menjadi tanggung jawab guru dan masyarakat untuk menghidupkan gerakan literasi. Apa yang dilakukan Agupena dengan gerakan literasi ini akan berdampak besar ke depannya,” ungkapnya.

Hengky Ola Sura

Mitan Gita Perangi Kemiskinan

KSP Kopdit Mitan Gita dalam salah satu tekad sucinya menyatakan perang terhadap kemiskinan akibat rentenir dan pesta pora. Tekad ini bergema lantang dibacakan Ketua KSP Kopdit Mitan Gita, Petrus Herlemus dan diikuti seluruh anggota yang mengikuti  Rapat Anggota Tahun Buku  2018, di aula Kantor Cabang Mitan Gita Remaja Hokeng, Kamis (10/1).

Tekad suci ini membangkitkan semangat segenap anggota yang hadir dari wilayah seputaran Hokeng dan Boru, Kecamatan Wulanggitang, Flores Timur. Theresia Rato, Yuliana Mare, dan Johny Temu terharu sekaligus bangga.

“Kami ini sebelumnya adalah anggota KSP Kopdit Remaja Hokeng. Sayangnya, dalam perjalanan yang panjang, Kopdit kami salah dikelola dan boleh dibilang jatuh,” tutur tutur Theresia Rato Temu, pensiunan PNS.

Kami bersyukur, Tuhan hadir dalam rupa Mitan Gita. Dari Mitan Gitalah kami tertolong dan beramal kasih,” tambah Theresia.

Yuliana Mare dan Johny Temu mengaku kembali bersemangat menjalani hidup berkoperasi.

“Kami ini petani kecil. Koperasi banyak membantu. Jadi, ketika Mitan Gita ada bersama kami, sungguh sebuah anugerah,” ujar Yuliana Mare.

Johny menambahkan, “ketika tekad suci digemakan, ada rasa haru yang mengalir. Kami puas dan bangga sekali ada bersama Mitan Gita. Kami orang kecil, Pak. Tekad suci ini akan kami teruskan pada anak-anak dan cucu”.

Tekad suci Mitan Gita yang bergema hari itu membuat semua hadirin, terutama anggota yang sebelumnya adalah anggota Kopdit Remaja Hokeng, bersukacita.

Albina Batafor mengaku, dalam waktu tujuh bulan saja, Tim Pengurus dan Manajemen Mitan Gita membalikkan keadaan menjadi sangat hidup. Dana yang dihimpun mulai dari angsuran pinjaman dan lain-lainnya mencapai Rp600 juta.

“Itu kebanggaan saya sebagai anggota yang paling besar,” katanya.

Kebanggaan anggota ini menjadi kepuasan tersendiri bagi Petrus Herlemus, sang nahkoda utama Mitan Gita.

Dalam sambutannya, Herlemus mengemukakan, tekad besar Mitan Gita adalah membawa semua anggota keluar dari persoalan kemiskinan. Segala daya upaya ditempuh mulai dari mengajak segenap anggota terlibat dalam budidaya sengon dan berwirausaha.

Kepada Siapa ROMA Mengabdi?

0

Oleh: Irenius J A Sagur

“Politik Sikka itu beda”. Celetukan ini biasa muncul dalam ngobrol politik a la warung kopi. Ketika ada yang berusaha menyamakan suasana politik di seluruh NTT, pasti ada yang tak sepakat. Menolaknya. “Sikka beda bro”.

Bermacam-macam alasan muncul. Karakter masyarakat salah satunya. Bahwa orang Sikka berbeda dengan orang di wilayah lain. Sense of wellcomenya tinggi termasuk terbuka menerima setiap perubahan dan perbedaan yang ada.

Berdampingan dengan alasan ini, ada yang menyandarkan pandangannya pada komposisi etnis di Nian Tana. Bahwa wilayah Sikka dihuni oleh penduduk dari berbagai macam latar belakang etnis dan suku.

Tidak heran kalau politiknya dinamis. Bergerak cepat dalam perubahan. “Beda to?” pertanyaan retoris yang kerap menyisip setiap argumen. Alur cerita akan sampai pada kesimpulan bahwa Sikka adalah barometer NTT.

Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) 2018 bisa jadi alat ukurnya. Ada tiga pasangan yang bertanding. AS (Alex-Stef), ROMA (Robi-Romanus), dan ARAG (Ansar-Raga). AS dan ARAG maju melalui jalur partai politik.

ROMA ‘nekat’  menempuh rute independen, yang mana susah untuk dilalui. Mungkin karena orang jarang melaluinya. Karena itulah Ahok tidak melewati jalur itu pada Pilgub DKI 2017. Atau paket NERA di Manggarai Timur gagal melalui jalur ini pada Pilkada serentak 2018.

Tapi, ROMA bisa membadainya. ROMA sukses menyingkirkan dua pasangan lain dari jalur partai politik dan mencatatkan sejarah baru dalam politik Sikka sebagai paket independen pertama yang memenangi Pilkada Sikka. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa Sikka adalah barometer politik NTT.

Prosedur demokrasinya (Pilkada) pun berjalan lancar. Walaupun selama masa kampanye, terjadi perang gagasan. Bahkan saling sindir. Fitnah. Kampanye hitam. Itu biasa.

Namanya juga dinamika politik Pilkada. Semuanya telah usai. Aman terkendali. Tapi pekerjaan besar sedang menanti lima tahun kedepan. Inilah ujian sesungguhnya bagi kabupaten Sikka yang menyandang status barometer politik NTT.

Kunci suksesnya ada pada tangan Fransiskus Roberto Diogo (Bupati) dan Romanus Woga (Wakil bupati). Keduanya resmi memimpin Sikka. Pelantikan di kantor Gubernur NTT, 20 September 2018 awali pengabdian ROMA lima tahun kedepan. Lalu, kepada siapa ROMA akan mengabdi?

***

Menempuh jalur independen, membuat ROMA harus mengumpulkan KTP pendukung. Aturan KPU mematok angka minimal 20.184 KTP. ROMA melampauinya. Artinya kesuksesan ROMA sejak awal sangat ditentukan oleh pengumpul KTP ini.

Memilih jalur independen dan menang, bukan berarti kepemimpinan ROMA berjalan mulus. Ada tantangannya. Salah satunya datang dari rumah kula babong, rumah wakil rakyat Sikka.

Dalam menjalankan visi-misinya, ROMA harus bersinergi dengan wakil rakyat. Tidak bisa tidak. Bagaimana membangun sinergi dengan DPR, itu jadi pekerjaan ROMA kedepan. Mengapa?

ROMA menang berkat KTP. Sedangkan para wakil rakyat terpilih melalui jalur partai politik. Perselisihan kepentingan jelas ada. DPR punya potensi untuk ‘menjegal’ program-program ROMA. Apalagi  anggota DPR lahir dari rahim partai yang berbeda.

Setiap partai membawa misi yang berbeda-beda. Juga membawa kepentingan yang berbeda-beda pula. Kecerdasan politis ROMA diuji di sini. Kalau tidak cerdas, bisa saja ROMA tidak akur dengan wakil rakyat. Atau juga terpelanting dan membangun konspirasi politis dengan wakil rakyat.

Memang ada dua partai yang jelas ‘berkoalisi’ dengan pemerintah. Partai PKB dan Hanura. Pada Pilkada Sikka, dua partai ini keluar dari pakem umum. Keduanya mendukung ROMA dan tidak mengusung kader partai. PKB sudah sedari awal. Diikuti partai Hanura.

Keduanya konsisten hingga garis finis. Terbukti paket yang mereka dukung menang, menduduki kursi Sikka satu dan Sikka dua. Walaupun hanya mendukung, dua partai ini telah menanamkan saham politiknya untuk kemenangan ROMA. Bukan tidak mungkin, ada laba yang lagi dinanti.

Kemenangan ROMA dalam Pilkada Sikka juga tidak lepas dari peran tim sukses. Doa. Tenaga. Dana. Itulah yang telah mereka sumbangkan. Memang tidak sia-sia. Perjuangan tim sukses membuahkan hasil yang sempurna. Pekerjaan mereka berakhir dengan dilantiknya ROMA menjadi bupati dan wakil bupati.

Timbal balik tanggung jawab bisa saja berlaku. Tim sukses bertanggungjawab memenangkan ROMA. Hal itu sukses. Sekarang, ROMA pun memiliki tanggung jawab politis untuk ‘balas budi’.

Di atas segalanya, rakyat Sikkalah yang memenangkan ROMA. Penentuannya di TPS pada 27 Juni 2018 lalu. ROMA mendulang 63.039 suara. Melampaui hitungan angka ini, sesungguhnya kemenangan ini adalah kemenangan rakyat Sikka sendiri.

***

Kepada siapa ROMA mengabdi? Bisa saja kepada orang-orang yang mengumpulkan KTP dukungan. Alasannya jelas. Berkat KTP yang dikumpulkan, ROMA lolos dalam pencalonan melalui jalur independen.

Meskipun menang lewat jalur perorangan, ROMA juga bisa saja mengabdi pada kepentingan dewan terhormat. Untuk melolos programnya, ROMA bisa saja tunduk di bawah kepentingan DPR.

ROMA bisa juga mengabdi pada kepentingan PKB dan Hanura. Mengingat kedua partai ini punya andil dalam kemenangan ROMA. Bisa juga mengabdi pada kepentingan tim sukses. Balas budi melalui bagi-bagi proyek bisa saja terjadi.

ROMA juga memiliki kemungkinan untuk mengabdi kepada rakyat Sikka. Hal ini akan terwujud bila ROMA menyelami visi-misinya. Dengan tagline hadir bersama rakyat, ROMA mungkin sekali untuk mewujudkan janji pemenuhan hak-hak dasar masyarakat kabupaten Sikka.

Semua hal ini sangat tergantung pada komitmen politik pemimpin Sikka ini. Tapi menarik untuk mengutip lagi pernyataan pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Dr. Otto Gusti Madung.

“Bekerjalah untuk rakyat. Itu kampanye politik terbaik dan termurah. Jika anda bekerja untuk rakyat, anda akan terpilih lagi,” tuturnya. (*)

Jualan Dedak, Hilde Jaju Raup Dua Juta Rupiah Sehari

0

Hilde Jaju bersama suaminya meraup dua juta rupiah per/hari dari hasil penjualan dedak padi. Mereka menjalankan usaha penjualan dedak di depan Stadion Gelora Samador Maumere, Kelurahan Kabor, Kecamatan Alok, Kabupaten Sikka.

Pasangan suami istri itu sudah menjalankan usaha kecil menengah (UKM) penjualan dedak selama kurang lebih enam tahun.

Hilde Jaju saat ditemui EKORA NTT di tempat kerjanya, awal Desember 2018 lalu mengatakan, nama UKM penjualan dedaknya adalah Sinar Gelora. Sebab, posisi usaha itu terletak persis di depan Stadion Gelora Samador Maumere.

Menurut Hilde, usaha penjualan dedak sudah mulai dirintis beberapa tahun yang lalu. Dedak diperoleh dari seorang ibu asal Bima bernama Sri.

“Dulu, suami saya ojek, tetapi bertemu dengan Ibu Sri. Ibu Sri menawarkan suami saya untuk berjualan dedak,” katanya.

Hilde mengatakan, usaha penjualan dedak merupakan sebuah rahmat. Sebab, berkat penjualan dedak selama lebih dari tiga tahun, mereka dapat membantu keluarga melakukan renovasi rumah dan menyekolahkan anak.

“Setiap hari, dedak selalu habis terjual. Harga dedak adalah Rp2800 per/kilogram. Keuntungannya diperoleh lewat penjualan, baik per/kilogram maupun per/karung,” katanya.

Hilde mengatakan, ada tiga tantangan yang mereka hadapi dalam usaha penjualan dedak. Tiga tantangan itu adalah pertama, persaingan di antara kompetitor, kedua, kekurangan waktu dan ketiga, kekurangan tenaga kerja.

“Tiga hambatan itu cukup dirasakan. Ketiganya memiliki beban yang relatif berbeda. Saya harus urus anak, tiba-tiba orang sudah datang beli dedak. Saya pusing. Apalagi, anak-anak masih kecil dan bersekolah,” katanya.

Menurut Hilde, beberapa hambatan ini menyebabkan pendapatan dari usaha penjualan dedak menurun.

”Pada awal mula usaha ini dibangun, pendapatan kami bisa mencapai Rp6-7 juta per/hari. Namun, sekarang, dengan banyaknya kompetitor, pendapatan kami berkurang mencapai Rp2 juta per/hari,” jelas Hilde.

Hilde mengatakan, selain usaha penjualan dedak beras, dirinya dan suami juga sempat menjalankan usaha penjualan dedak jagung. Ada dua jenis dedak jagung yang dijual, yakni dedak jagung berwarna putih dan dedak jagung berwarna kuning.

“Kami pernah menjualnya dengan harga Rp6000 hingga Rp7000 per/kilogram, tetapi lama baru laku. Jadi, kami tidak mau jual lagi,” katanya.

Hilde mengatakan, banyak pelanggan sudah mulai membangun kerja sama. Para pelanggan itu antara lain berasal dari Larantuka dan Sabu yang sudah lama menetap di Maumere.

“Mereka sudah lama bekerja sama dengan kami. Jadi, kami bersyukur,” katanya.

Albert Gerson Unfinit, Musisi Nian Tana di Kota Seribu Candi

0

Musisi Albert Gerson Unfinit atau yang melambung dengan nama panggung Black Finit adalah pria berdarah Maumere, kelahiran 11 Maret 1983.

Alumnus SMPK Frater Maumere ini sejak kecil, bahkan sebelum masuk Sekolah Dasar, sudah jatuh cinta dengan dunia seni. Mulai dari lukis, musik, vokal, lawak, hingga puisi, semuanya dia tekuni.

“Tidak ada darah seni dari keluarga besar. Saya sendiri bingung tapi ini jalan saya,” katanya kepada Ekora NTT ketika diwawancarai 10 November 2018 lalu.

Dia pun berkisah, tahun 2000-an kota Maumere masih jauh dari industri musik. Belum ada studio rekaman. Namun, optimismenya terhadap musik menguatkan langkah dia ke kota seribu candi Yogyakarta.

Alhasil, pada awal tahun 2002, dia pun memulai proyek solo bergenre reggae dengan nama “Black Finit”. Meskipun begitu, sebelum akhirnya jatuh cinta dengan reggae, aliran punk dan rock sudah lebih dulu dia coba.

Pada 25 November 2011 lalu, pria yang akrab dengan tatanan rambut ala dreadlock ini merilis album EP berisi 6 lagu melalui labelnya sendiri Gong Waning Production. Pada tahun 2015, album penuh pertamanya “Digiyo Digiye” dirilis dan berisikan 11 lagu.

Tahun 2017, Gerson pun diajak berkolaborasi oleh produser Grayce Soba (Soba Studio) untuk merekam beberapa lagu bergenre EDM (Electronic Dance Music) yang mana Gerson memainkan gitar sekaligus bernyanyi. Kolaborasi ini melahirkan beberapa single, di antaranya Mims, No rules dan Pink Dinner.

Bagi Gerson, setiap penikmat musik berhak memberi predikat pada jenis musik mana pun. “Reggae itu istimewa, dia adalah jenis musik eksklusif,” tambahnya.

Dan, hal yang menjadikan reggae istimewa terletak pada lirik lagu yang tak lepas dari pesan damai. Hal itu menjadi titik awal Gerson menentukan orientasi musiknya. Siapa yang tak kenal Bob Marley? Legenda musik reggae yang satu ini adalah inspirasi pertama Gerson dalam bermusik.

Kemudian, jelang akhir tahun 2018 Black finit meluncurkan satu single berjudul “Bukan Puisi” terinspirasi dari karya seniman Yogyakarta. Lagu ini menggambarkan bagaimana seseorang mensyukuri kehidupan dengan segala keindahan alam juga keberagaman manusianya.

Agama, suku, ras bahkan pilihan politik yang berbeda harusnya bukan menjadi halangan untuk tetap menjaga nyala api toleransi terhadap keberagaman di Indonesia saat ini.

Tak tanggung-tanggung, Gerson Finit juga membawa kebudayaan bahasa daerahnya ke dalam karya seninya. Misalnya dalam penggalan lirik lagu Bukan Puisi sebagai berikut, “Imung deung teba tar, ganu dala reta lero wulan”, yang berarti, teman baik berserakan, seperti bintang di tempatnya matahari dan bulan.

Gerson memang sengaja meminta ruang dalam lagu Bukan Puisi untuk tetap punya nyawa Maumere. “Belum sempurna tanpa kalimat itu,” ungkapnya.

Namun, tidak hanya pada lagu tersebut, isian-isian lirik pada lagu-lagu sebelumnya juga banyak menggunakan bahasa daerah Sikka. Tentu saja, lewat itu Gerson berupaya melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan Maumere kepada penikmat musik reggae di seluruh Indonesia.

“Bahasa daerah adalah salah satu kebudayaan yang wajib dilestarikan anak daerah,” tambah dia.

Selain itu, dalam kaitannya dengan isi lagu, Gerson Finit sepakat bahwa karya lagu yang bagus adalah yang berbahasa santun, bila mengkritik harus solutif dan dengan nada yang sedap ditelinga. 

Lalu, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana musisi dari timur seperti Gerson Finit diterima, bertahan bahkan berkembang di Yogyakarta. Dia bilang, kuncinya adalah pantang menyerah.

“Saya coba dari studio ke studio, duduk ngobrol dengan musisi besar di sini,” kata pria Waipare, Maumere ini.

Selain itu, menurutnya jaringan pergaulan lintas etnis juga harus diperluas. Dan harus bergaul juga dengan orang dari beragam keahlian sebab ada banyak hal positif yang bisa diambil dari proses tersebut.

Pergaulannya dengan semua orang dari kelas sosial apa saja, seperti kaum tunasusila, pecandu obat, dan mantan narapidana tak sedikit berimbas pada penilaian negatif dari orang lain.

“Sudah biasa, nanti juga mereka mengerti,” tandasnya.

Di akhir obrolan dengan Ekora NTT, Gerson meminta anak muda Maumere untuk tidak takut mengeksplorasi kemampuan diri dan jangan menyia-nyiakan ide yang ada di kepala.

Dan yang terakhir, yang menarik,  dia katakan, “Jangan lupa ajak teman-teman kita, jangan berjuang sendiri.”