Bongkar Derita, Gugat Tuhan, Raih Merdeka!

0

Oleh: Bernardus Tube Beding*

Tentu masih segar dalam ingatan kita program Kick Andy pada Minggu 15 Mei 2022 pukul 19.05 WIB lalu di Metro TV.

Kick Andy mengangkat kisah tentang kondisi anak-anak yang terpaksa untuk menjadi tulang punggung keluarga karena kondisi ekonomi keluarga mereka yang mengharuskan mereka berjuang mencari nafkah.

Kick Andy menghadirkan ke publik, Gilang (14 tahun) dari Jakarta yang bekerja sebagai tukang parkir di ruko dekat rumahnya; Deni (15 tahun) dari Jombang Jawa Timur yang bekerja sebagai kuli angkut, tukang parkir, dan serabutan; serta Rizal Aja (13 tahun) dari Rana Mese, Kabupaten Manggarai Timur, NTT yang bekerja memetik hasil kebun (kemiri, kopi, kakao) dan menjualnya ke pedagang terdekat.

Gilang, Deni, dan Rizal tentu tidak mementingkan diri sendiri. Mereka memprioritaskan kepentingan orang lain, yaitu keluarga masing-masing.

Mereka adalah tulang punggung keluarga yang bekerja sebagai tukang parkir, serabutan, dan petani.

Dengan keadaan keluarga mereka yang kekurangan ekonomi, anak-anak ini secara inisiatif bekerja untuk membatu menghidupi keluarganya, tanpa paksaan dari pihak manapun. Mereka sebenarnya sedang menderita yang ditutup dengan semangat perjuangan.

Gilang, Deni, dan Rizal harus menjadi ”bapak, tulang punggung keluarga” bagi ibu dan adik-adik mereka. Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, masing-masing mereka bekerja sebagai tukang parkir, serabutan, dan petani. Uang hasil kerja mereka habis untuk makan; semangat bekerja tetap bergelora dalam nadi mereka.

Begitu Gilang, Deni, dan Rizal dikisahkan Kick Andy di Metro TV, berbagai kalangan dengan cara masing-masing memberi perhatian, empati, dan dukungan.

Bantuan-bantuan karitatif muncul sebagai bukti manusia memiliki empati terhadap nasib sesama yang memiliki kehidupan ekstra, berjuang untuk merdeka dari kehidupan.

Namun, peristiwa Gilang, Deni, dan Rizal bukan sekadar peristiwa yang cukup ditanggapi secara karitatif, melainkan fenomena serius yang sedang menggugat hidup “kemerdekaan” kita sampai ke sendi dan dasarnya.

Menggugat Tuhan

Tentu kita sepakat mengatakan, “tidak” untuk membiarkan anak-anak seperti Gilang, Deni, dan Rizal itu sebagai bapak keluarga, berjuang dengan kondisi yang “belum saatnya”. Namun, sebenarnya pernyataan ”tidak” kita telah masuk dalam persoalan gawat.

Saya boleh senada dengan Sindunata dalam opininya, “Politik yang Ateistis dan Nihilistis” (Kompas, 14 Mei 2013). Sindunata menulis bahwa Dostojevsky dalam novelnya The Brothers Karamazov menggugat melalui tokoh Ivan Karamazov memberi jalan bagi munculnya ateisme dan membongkar kaidah klasik theodicy yang bertugas membela dan memberi argumentasi tentang keberadaan Tuhan.

Dalam novel itu dikisahkan bahwa Ivan bercerita kepada saudaranya, Alyosha tentang penderitaan anak-anak tak bersalah. Tentang seorang anak lelaki yang bekerja sebagai budak seorang tuan tanah.

Tanpa sengaja anak itu melukai anjing kecintaan tuannya. Tuan tanah bersama para begundalnya memburu dia, seperti memburu binatang. Lalu anak itu ditembak, badannya dikoyak habis oleh anjing pemburunya. Semuanya terjadi di hadapan ibunya.

Berbagai pertanyaan muncul dari Ivan. Ia bertanya, bagaimana mungkin jika Tuhan ada, Tuhan tega membiarkan anak-anak yang tak bersalah menderita?

Tak mungkin penderitaan itu kita kembalikan kepada kesalahan anak-anak itu. Tak mungkin pula kita menjawab, Tuhan punya maksud tertentu dengan membiarkan anak-anak itu menderita, misalnya toh kelak ia bakal bahagia di surga justru karena penderitaannya.

Jika kita sepakat bahwa Tuhan punya rencana tertentu atas penderitaan di dunia, tetaplah tak terjawab, mengapa anak-anak itu harus disertakan dalam penderitaan demi maksud tertentu itu? Kita, orang dewasa, sanggup membeli ”kemerdekaan sejati” dengan penderitaan, tetapi apa hubungan semuanya itu dengan anak-anak itu? Mengapa mereka harus menderita, berjuang, dan membayar “kemerdekaan” itu dengan penderitaannya?

Kita bercita-cita membangun suatu masa depan, ketika semuanya akan damai, sejahtera, dan bahagia. Namun, kata Ivan, mestikah masa depan itu dibangun di atas air mata anak-anak yang tak bersalah?

Ivan tak setuju dengan itu. Ia juga tidak bisa menerima jika keberadaan Tuhan dibenarkan dengan pembenaran atas penderitaan yang tidak adil itu.

Secara moral, ia menolak Tuhan demikian. Ia pun menjadi ateis. Atas nama keadilan, ia memberontak melawan Tuhan, yang hanya dapat dibenarkan dengan keadilan yang sebenarnya tidak adil.

Tantangan Theodicy

Lebih lanjut Sindunata menulis, Richard Bauckham, seorang teolog dari University of Manchester (1987) mengatakan gugatan Ivan Karamazov itu sesungguhnya menantang hakikat theodicy. Konsep theodicy bahwa penderitaan merupakan risiko ketika Tuhan menciptakan dunia dan segala isinya dengan bebas.

Penderitaan juga merupakan bagian yang tak terhindarkan dari dunia yang secara natural terus berevolusi. Penderitaan punya peran mendidik dan membentuk jiwa manusia agar sesuai dengan maksud ia diciptakan di dunia.

Serangan Dostojevsky via Ivan Karamazov, “Mengapa hakikat semacam itu terus dipertahankan dengan cara menyertakan anak-anak tak bersalah untuk ikut menderita” menunjukkan hakikat theodicy itu ambruk. Bahkan, teologi secara umum tak bisa lagi bertahan dengan konsepnya yang klasik bahwa penderitaan adalah nilai yang harus dibayar demi tercapainya tujuan eskatologis Tuhan, yakni bahwa akhirnya di masa depan manusia akan mencapai kebahagiaan sempurna justru karena telah melewati penderitaan itu.

Teologi tidak bisa berargumen ”murahan” lagi dalam membela keberadaan Tuhan ketika berhadapan dengan penderitaan anak-anak yang “belum saatnya” berjuang untuk kemerdekaan hidup keluarganya; seperti Gilang, Deni, dan Rizal.

”Pemberontakan menggugat Tuhan” seperti Ivan bisa menuntun orang berpandangan nihilistis: “menolak Tuhan”. Namun, Albert Camus dalam karyanya, The Rebel melihat akibat lebih lanjut dari kritik Ivan tersebut. Camus melihat bahwa sikap “menolak Tuhan” sebagai pembenaran terhadap realitas penderitaan dan ketakadilan di dunia, Ivan telah menemukan sebuah nilai positif: rasa akan martabat dan solidaritas kemanusiaan.

Di atas martabat dan solidaritas, keadilan dapat dibangun di dunia yang penuh ketidakadilan ini. Artinya, manusia-manusia pemberontak di zaman modern ini telah meletakkan humanitas di atas Tuhan.

Lebih ekstrem lagi, mereka ingin agar humanitas menggantikan Tuhan. Maka, sekarang hanya humanitas yang boleh mengontrol tujuan akhir manusia.

Jadi, saatnyalah bahwa theodicy harus diganti dengan anthropodicy. Dan, tersimpan dalam proses ini keyakinan bahwa dunia lama diganti dengan dunia baru, ketakadilan diganti dengan keadilan, dan nilai-nilai Tuhan yang terbukti tidak adil itu diganti dengan nilai-nilai manusia yang adil.

Pemahaman itu justru memberi peluang bagi para elite. Mereka bisa membenarkan bahwa mereka boleh memakai segala cara meraih tujuan itu. Penderitaan, bahkan pembunuhan pun dapat dibenarkan demi sebuah keadilan.

Rezim kekuasaan revolusioner bermunculan, menggantikan tirani kekuasaan Tuhan: membenarkan penderitaan manusia demi keadilan di dunia. Itulah akar dari otoritarianisme dan totaliterisme.

Senjata verbal maupun nonverbal adalah jalan pemberontakan manusia melawan tirani Tuhan yang dianggap sewenang-wenang terhadap penderitaan manusia. Ini berarti pemberontakan Ivan bukan lagi theodicy, melainkan anthropodicy.

Keberpihakan Tuhan

Dalam opininya, Sindunata menulis bahwa Tuhan berpihak dan mengawalinya dengan pertanyaan, apakah mungkin kita membela theodicy yang berada di bawah ancaman anthropodicy itu?

Hal-hal itu kiranya menantang orang beriman mempertanggungjawabkan imannya terhadap Tuhan. Jelasnya, mungkinkah kita membela keberadaan Tuhan berhadapan dengan dunia yang penuh ketakadilan dan penderitaan ini?

Konsep theodicy yang melepaskan Tuhan dari penderitaan jelas tak akan bisa menjawab penderitaan hidup masyarakat pinggiran Indonesia seperti dialami Gilang, Deni, dan Rizal untuk memperoleh kemerdekaan hidup keluarganya.

Agama mempertahankan penderitaan seperti itu demi kemerdekaan (kebahagiaan) abadi yang disediakan Tuhan kelak, jelas mendegradasikan humanitas dan akan menjadi sasaran kritik anthropodicy, yang melengserkan Tuhan demikian itu, demi humanitas yang mereka cita-citakan. Siapakah Tuhan yang demikian itu?

Jürgen Molltmann menjawab pertanyaan itu dengan “teologi salib”. Dalam teologinya itu, Tuhan direnungkan bukan sekadar pencipta dan penguasa semesta, yang maha berkuasa atas dunia, termasuk penderitaan hidup manusia.

Tuhan justru terlibat dalam dunia, ikut menderita, dan memeluk penderitaan hidup manusia itu. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus saat Ia menanggung dan mengalami penderitaan hingga mati di kayu salib.

Dalam teologi salib, Tuhan bukan pembenar bagi penderitaan seperti dituduhkan Ivan, melainkan pemrotes. Ia mengajak manusia untuk memberontak terhadap ketidakadilan dan kekuasaan yang menyebabkan penderitaan manusia yang tak bersalah dan diperlakukan tidak adil. Tuhan yang di salib adalah inspirator dan agitator bagi perlawanan yang konkret terhadap ketidakadilan dan penderitaan yang diakibatkannya. Inilah teologi salib sesungguhnya sebagai awal dari teologi pembebasan. Mau tak mau teologi harus berbuah politik yang memihak kepada manusia-manusia “Gilang, Deni, dan Rizal” karena ketidakadilan.

Pandangan teologis demikian mau tak mau juga mengubah praktik-praktik ritual dan kesalehan. Doa, misalnya, tak dapat lagi dipahami sebagai kewajiban ritual, kesalehan, atau kekhusyukan pribadi yang tak ada kaitannya dengan masalah sosial, lebih-lebih penderitaan dan ketidakadilan.

Doa harus menjadi tindakan yang terlibat dan membuahkan tanggung jawab. Tepat apa yang dikatakan teolog Johann Baptist Metz, ”Siapa berdoa, dia akan berdiri di pihak korban, bukan di pihak pemenang.”

Pesan Para “Bapak”

Semua uraian di atas bermula dari kepedihan kita melihat nasib Gilang, Deni, dan Rizal, yang kiranya juga nasib banyak anak-anak lain di Tanah Air ini.

Dalam perjuangan dan penderitaan Gilang, Deni, dan Rizal tersimpan gugatan Ivan Karamazov yang menuntut kita merefleksikan lagi konsep kita tentang Tuhan berhadapan dengan penderitaan.

Refleksi itu juga menunjukkan betapa kehidupan beragama bisa mandul dalam menggugat penderitaan karena kita tak punya teologi atau theodicy yang kritis terhadap penderitaan dan ketidakadilan.

Politik dan praksis politik pun akan sangat ditentukan pandangan teologis kita tentang Tuhan.

Dan, itu kiranya berlaku lebih-lebih di negara kita, Indonesia ini, yang mengaku dirinya sebagai negara religius, yang percaya kepada Tuhan, bahkan mendasarkan salah satu pilarnya pada kepercayaan akan Tuhan yang Maha Esa itu.

Maka, sadarkah kita bahwa kepedihan anak-anak seperti Gilang, Deni, dan Rizal sesungguhnya sedang menggugat kita mempertanyakan kepercayaan kita itu?

Spontan kita perlu mengakui bahwa penghayatan hidup beragama kebanyakan kita masih sebatas ritualisme belaka. Tempat ibadat penuh dengan orang-orang yang berdoa dengan khusyuk.

Namun, ibadat itu tak memberi efek pada perjuangan dan pembebasan sosial lebih-lebih bagi mereka yang lemah dan menderita. Mungkin ini disebabkan karena kita tak punya atau belum mengembangkan teologi yang peka terhadap penderitaan dan ketidakadilan.

Memang rasanya kita belum memiliki teologi yang bisa melihat Tuhan yang ada dan menjerit dalam penderitaan dan protes terhadap ketidakadilan.

Teologi kita hanya mengekor pada praktik-praktik mapan hidup keberagamaan. Akibatnya, teologi dan hidup keberagamaan kita hanya mengurung Tuhan dalam sangkar ritual dan memandulkan-Nya terhadap perjuangan sosial.

Ini betul-betul fatal sebab, betapa pun kita mengaku ber-Tuhan, dalam praktik kita telah menjauhkan Tuhan dari masalah yang dihadapi bangsa, terlebih masalah ketidakadilan yang mengakibatkan penderitaan orang-orang yang tak bersalah.

Senada dengan Kick Andy, kita tentu tidak bisa menutup mata karena di sekitar kita masih banyak anak-anak di bawah umur yang terpakasa bekerja untuk “memerdekakan” keluarganya.

Mereka mencari nafkah guna membantu perekonomian keluarga. Padahal anak-anak ini seharusnya menikmati masa kanak-kanak mereka, bermain, bersekolah, tetapi faktanya sampai detik ini kita masih menemukan banyak anak di seluruh indonesia yang harus bekerja mencari nafkah guna membantu kemerdekaan ekonomi keluarga.

Tentu, kita tidak bisa menutup mata, masa bodoh. Kita harus bergerak menolong mereka. Itulah esensi kemerdekaan hidup.

*Penulis adalah Dosen PBSI Unika Santu Paulus Ruteng

Semarak Hari Kemerdekaan di SMPN Nuba Arat

0

Maumere, Ekorantt.com – Untuk menyemarakkan HUT ke-77 RI, SMPN Nuba Arat menggelar serangkaian kegiatan perlombaan seperti tarik tambang, balapan ban, makan kerupuk, dan menari balon selama tiga hari, 15-17 Agustus 2022.

Acara puncak ditandai apel perayaan kemerdekaan dan perlombaan pidato dengan tema kemerdekaan.

Hal ini disampaikan oleh Kepala Sekolah SMPN Nuba Arat, Tati De Rosari saat ditemui di ruang kerjanya pada Rabu (17/8/2022).

Tati menyebut rangkaian kegiatan itu tidak hanya menghibur dan memeriahkan Hari Kemerdekaan namun juga mengajarkan nilai-nilai positif kepada siswa-siswi, di antaranya nilai persatuan, kerja sama, dan kekompakan.

“Puji Tuhan siswa-siswi SMPN Nuba Arat sangat bersemangat, senang dan sangat merdeka. Hal ini disampaikan siswa-siswi lewat perlombaan-perlombaan yang digelar mulai dari persiapan hingga penutupan,” tuturnya.

Lebih lanjut dia berpesan agar dengan tema kemerdekaan “Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat” memberikan semangat baru bagi tenaga pendidik dan peserta didik dalam bingkai merdeka belajar lewat profil Pancasila.

“Agar generasi muda di SMPN Nuba Arat pada waktunya boleh berkarakter profil pelajar Pancasila,” pungkasnya.

Sementara itu, siswa SMPN Nuba Arat, Farel Saputra bilang kegiatan yang diadakan sangat positif. Ia dan peserta didik yang lain dilatih untuk kompak dan kerja sama.

“Semoga kegiatan seperti ini tetap terlaksana agar kami siswa-siswi SMPN Nuba Arat bisa lebih kompak,” tutup Farel.

Kantor Pertanahan Sikka Targetkan Sertifikasi Tanah Redis 1.000 Bidang

0

Maumere, Ekorantt.com – Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka menargetkan sertifikasi tanah redis 1.000 bidang pada tahun 2022. Adapun lokasinya yakni di Desa Tilang, Kecamatan Nita sebanyak 738 bidang dan Desa Ojang, Kecamatan Talibura sebanyak 262 bidang.

“Saat ini, kegiatan redistribusi tanah memasuki tahap sidang Panitia Pertimbangan Landform (PPL). Dalam tahapan ini, terdapat proses seleksi subyek (calon penerima tanah) dan seleksi Obyek (kriteria bidang tanah) yang diputuskan,” kata Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sikka, Faizin dalam keterangan pers di Maumere, Kamis, 18 Agustus 2022.

Setelah tahapan ini selesai, kata Faizin, tahapan selanjutnya adalah penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, penerbitan surat keputusan redistribusi tanah, pembukuan hak dan penerbitan sertifikat, dan penyerahan sertifikat.

Secara nasional, target sertifikasi tanah redis sebanyak 420.020 bidang pada tahun 2022. Sementara di tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur, target kegiatan redistribusi tanah sebanyak 21.700 bidang.

“Untuk tahun 2023, direncanakan  kegiatan ini akan tetap dilaksanakan dengan target yang lebih besar yaitu sebanyak 2.000 bidang, hanya untuk lokasinya masih belum kita tetapkan,” imbuhnya.

Faizin menjelaskan bahwa reforma agraria merupakan salah satu program prioritas  dari pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi yang tercantum dalam dokumen visi misi dan program aksi.  Jalan perubahan untuk Indonesia berdaulat, mandiri, dan berkepribadian (Nawacita). Reforma agraria menjadi bagian kelima Nawacita yakni peningkatan kualitas hidup manusia Indonesia.

“Saat ini, kebijakan pertanahan diarahkan pada ‘Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat’, yang ditandai kebijakan penertiban tanah terlantar, penyelesaian sengketa, redistribusi tanah, peningkatan legalisasi aset tanah masyarakat yang diimplementasikan melalui reforma agraria,” pungkasnya.

Pakai Kostum dari Dedaunan, Peserta Didik SMPN Kolisia Jadi Fokus Perhatian Karnaval

0

Maumere, Ekorantt.com – Pasangan Gusti-Marni dan Januarius, peserta didik SMP Negeri Kolisia, Kecamatan Magepanda, tampil dengan kostum dari dedaunan.

Kostum ini dirancang oleh guru SMP Negeri Kolisia yang bernama Fransiskus Edison atau akrab disapa Mr. Edi.

Mr. Edi merancang kostum tersebut untuk ditampilkan dalam momentum karnaval menyongsong HUT RI ke-77 tingkat Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Selasa (16/8/2022).

Ketika Gusti-Marni dan Januarius mengenakan kostum ini, semua masyarakat yang menyaksikan itu tampak terkagum-kagum.

“Tema yang diusung rancangan busana daun ini bersatu dengan alam. Tampilan pasangan kostum dari daun betul-betul menarik minat penonton. Tak jarang menjadi obyek swafoto bagi penonton selama karnaval,” ujar Mr. Edi yang juga guru Bahasa Inggris SMPN Kolisia kepada Ekora NTT usai karnaval.

Rancangan busana daun ini, jelas Edi, dibuat dari daun mangga, daun kelapa, dan daun lontar dengan aksesoris pemanis kalung dari buah pinang.

Pasangan Gusti-Marni dan Januarius, peserta didik SMP Negeri Kolisia, Kecamatan Magepanda, tampil dengan kostum dari dedaunan/Ekora NTT

“Busana pria terdiri dari rok lontar setinggi lutut, baju sirah dari daun mangga, kalung buah pinang merah dan topi tinggi berjambul janur,” kata Edi.

Sedangkan busana wanita, lanjutnya, terdiri dari rok panjang mata kaki dari daun kelapa yang dihiasi dengan sisipan pita dari janur kuning dan ikat pinggang dari anyaman lontar.

Kepala SMP Negeri Kolisia, Kristina Deran Duli merasa bangga dan puas karena peserta didiknya mengikuti lomba gerak jalan, tari kreasi, paduan suara, dan karnaval.

Terkait karnaval yang mengusung tema “Bersatu Dengan Alam”, Kristin mengakui sekolahnya berada di desa jadi mau menampilkan sesuatu yang alami.

“Karena kendala waktu maka Mr. Edi hanya mampu rancang busana dua pasangan. Tahun depan akan tampilkan sebanyak-banyaknya pasangan yang mengenakan kostum dari bahan alami,” tutupnya.

Warga Boawae Resah, Sumber Air yang Biasa Dikonsumsi Tercemar Bangkai Ayam

0

Bajawa, Ekorantt.com – Warga Keluarahan Olakile, Kecamatan Boawae, Kabupaten Nagekeo resah dengan perilaku oknum pengusaha yang nekat membuang bangkai ayam di Sungai Ae Bi’a wilayah itu.

Kehadiran ratusan bangkai ayam pendaging tersebut diduga kuat berasal dari kandang ayam para pengusaha yang berada di sekitar tempat tersebut.

Kepada Ekora NTT, Libertus Tai Beku, salah satu warga mengatakan bangkai ayam tersebut sangat menganggu kenyamanan para petani yang berada di sekitar sungai tersebut.

Bahkan sangat menganggu kesehatan sebab sumber air tersebut biasa dikonsumsi warga.

“Sungai yang mereka buang bangkai itu, airnya biasa kami bagian bawah gunakan untuk konsumsi,” ujar Libertus, Kamis (18/8/2022)

Menurut Libertus, dugaan pembuangan bangkai ayam tersebut dilakukan oleh oknum pengusaha ayam pada malam hari ketika para petani sudah kembali ke rumah.

“Bangkai ayam yang dibuang dimasukan dalam karung dan itu ada belasan karung,” ucap dia.

Bau bangkai tersebut tidak saja meresahkan warga sekitar namun juga para pengendara yang hendak menuju Kecamatan So’a, Kabupaten Ngada ataupun sebaliknya.

“Itu kalau lewat padang pasti bau bangkai sekali, kami pikir ada sapi mati atau kerbau mati, padahal bangkai ayam,” kata dia penuh resah.

Sementara Tokoh Muda Nagekeo Fransiskus Xaverius Meze mengungkapkan rasa prihatinnya kepada oknum pengusaha yang menjadikan sungai sebagai tempat pembungan bangkai ayam tersebut.

“Saya sebagai tokoh muda merasa prihatin dengan tindakan yang berpotensi mencemarkan lingkungan sekitar kali maupun lingkungan tempat tinggal, apalagi air itu digunakan untuk kehidupan,” ujarnya.

Sekretaris Pemuda Katolik Nagekeo ini berharap agar Dinas Lingkungan Hidup Nagekeo agar melakukan edukasi serta memberi sanksi tegas terhadap para pengusaha yang berani membuang bangkai ayam.

Sebaliknya, ia juga berharap pihak menejemen perusahan perlu melakukan sosialisasi internal terkait dampak lingkungan dari bangkai ayam tersebut.

Pintu Air Beri Ruang Bagi Pelajar dan Mahasiswa Lakukan Magang

Maumere, Ekorantt.com – Salah satu praktik baik dari budaya kerja KSP Kopdit Pintu Air adalah memberi ruang bagi para pelajar SMK dan mahasiswa untuk melakukan magang atau  praktik kerja lapangan (PKL).

Penegasan ini disampaikan oleh Ketua KSP Kopdit Pintu Air Yakobus Jano dalam talk show Sudut Pandang di kantor redaksi Ekora NTT pada Rabu (17/8) lalu.

“Di Pintu Air kami membuka diri untuk senantiasa menerima para pelajar SMK dan juga mahasiswa melakukan praktik kerja lapangan di unit simpan pinjam. Di beberapa anak perusahaan juga sudah beberapa tahun belakangan menerima para mahasiswa untuk melakukan magang,” ucap Jano.

Menurut Jano, dengan membuka kesempatan magang di KSP Kopdit Pintu Air dan anak perusahaan merupakan kesempatan tampan bagi generasi milenial dan generasi Z untuk lebih mengenal koperasi Pintu Air dan juga anak perusahaannya.

Media Ekora NTT dari PT Pintar Media Grup salah satu anak perusahaan Kopdit Pintu Air selama tiga tahun terakhir menjadi tempat bagi para mahasiswa melakukan magang jurnalistik.

Pemimpin Redaksi Ekora NTT, Irenius J. A Sagur mengemukakan mahasiswa yang melakukan magang jurnalistik berasal dari Universitas Nusa Cendana, Universitas Nusa Nipa dan Universitas Fajar Makassar.

Novia Rosmalinda Ona, mahasiswa Universitas Fajar Makassar dan Anggelina Fransiska Djinyeru dari Universitas Nusa Nipa Maumere mengaku bangga karena saat ini diterima di kantor redaksi Ekora NTT untuk melakukan magang jurnalistik.

“Kami bangga dan senang karena suasana redaksi yang penuh dengan keramahan membuat kami cepat akrab dan nyaman untuk belajar,” ujar keduanya.

Nofia dan Fransiska pun bertekad melaksanakan masa magang jurnalistik sebaik-baiknya agar mampu menjadi jurnalis yang handal.

Kisah Maria, Siswi SMAN 1 Golewa Barat Jadi Pembawa Baki Bendera Merah Putih

0

Bajawa, Ekorantt.com – Maria Doretea Rosa M. Dhome (16) menggungkapkan perasaan usai menjalankan tugas sebagai pembawa baki bendera Merah Putih pada upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 Republik Indonesia di Lapangan Kartini Bajawa, Kabupaten Ngada.

Dengan mata berkaca-kaca siswi SMAN I Golewa Barat ini mengaku terharu dan bangga bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik dan benar pada moment memperingati HUT Kemerdekaan RI kali ini.

“Perasaan saya terharu, bangga bisa menjalankan tugas dengan baik,” ujar Maria seusai melaksanakan tugas, Rabu (17/8).

Menurut siswi kelahiran 16 April 2006 ini, ia terpilih mewakili sekolahnya tersebut usai mengikuti seleksi paskibraka oleh tim seleksi yang dilakukan di sekolah.

Waktu dua minggu menjadi masa ia dan kawan-kawan menyiapkan diri secara baik dengan sejumlah proses latihan bersama para pelatih yang berasal dari kodim 1625 Ngada dan Polres Ngada.

“Selama dua minggu kami siapkan diri dengan berlatih di bawah asuhan para pelatih,” ujar dia.

Kesempatan menjadi paskibraka di tingkat Kabupaten Ngada menjadi pengalaman berharga bagi Maria dan kawan-kawan. Apalagi telah mengibarkan bendera pusaka Merah Putih dengan baik.

“Terima kasih juga buat para pelatih yang telah bersusah payah melatih kami selama dua minggu ini. Terima kasih juga buat Pemda Ngada,” katanya.

Bupati Andreas Beber Capaian Pemerintah Saat Apel HUT RI ke-77

0

Bajawa, Ekorantt.com – Bupati Ngada Andreas Paru menyampaikan sejumlah capaian selama ia bersama Wakil Bupati Raymundus Bena memimpin Kabupaten Ngada di tahun pertama.

Dalam pidatonya pada HUT RI ke-77 di Lapangan Kartini, Bupati Andreas mengatakan tahun ini merupakan tahun kedua pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Tahun 2021-2026 yang mana hasil pelaksanaan berbagai agenda pembangunan di tahun pertama telah membawa dampak positif dan menggembirakan yang ditunjukan pencapaian beberapa indikator makro.

Menurutnya, publikasi resmi BPS telah menunjukkan adanya pergerakan positif dalam hal pencapaian indikator RPJMD setelah tahun pertama diantaranya laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Ngada kembali meningkat menjadi 1,11 persen, dari 0,04 persen akibat pandemi Covid-19.

Sementara itu, angka prevalensi stunting berada pada kondisi 15,7 persen mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan dengan tahun sebelumnya pada kondisi 11,7 persen.

“Angka penggangguran terbuka yang mengalami penurunan yang signifikan dari 4,69 persen pada tahun sebelumnya menjadi 2,99 persen,” ujar Andreas.

Tidak hanya itu, ratio pemukiman kumuh menunjukkan pencapaian yang menggembirakan dari 3,14 persen menjadi nol persen pada saat ini.

“Rata-rata kecepatan tempuh antar kawasan prioritas mengalami peningkatan dari 27,78 km per jam tahun sebelumnya menjadi 28 km per jam,” sebutnya.

Sementara indikator makro lainnya seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), tingkat kemiskinan, usia harapan hidup, indeks resiko bencana, indeks reformasi birokrasi, dan angka konflik sosial, semuanya berada pada trend positif.

Diharapkan akan mengalami pergerakan ke arah yang lebih baik seiring dengan intervensi program dan kegiatan tahun-tahun selanjutnya.

Hal tersebut tentunya memberikan rasa optimisme yang tinggi bagi pemerintah dan segenap komponen pelaku pembangunan di Kabupaten Ngada untuk semakin optimal mengerahkan semua-sumber daya untuk kemajuan daerah, kata Andreas.

Mayat Pria Tanpa Identitas Dititip di RSUD Ende, Polisi: Jika Ada Kehilangan Warga Segera Lapor

0

Ende, Ekorantt.com – Sesosok mayat pria tanpa identitas ditemukan nelayan di pantai Mbomba, Desa Gheogoma, Kecamatan Ende Utara, Kabupaten Ende, NTT, Selasa (16/8/2022) sekitar pukul 08.00 WITa.

Penemuan mayat itu sontak membuat heboh warga kota Ende.

Aparat Pol Air dan Satreskrim Polres Ende yang turun olah TKP dan identifikasi terhadap jenazah tersebut tidak menemukan identitas.

Hal ini dibenarkan Kasat Reskrim Polres Ende, Iptu Yance Kadiaman yang dikonfirmasi Ekora NTT pada Rabu, (17/8/2022).

Ia menerangkan sesosok mayat tersebut pertama kali ditemukan mengapung di perairan Mbomba oleh nelayan setempat.

Kasat Pol Air bersama tim langsung terjun ke TKP lantas melakukan evakuasi jenazah.

Kemudian diserahkan kepada tim penyidik untuk identifikasi dan didapatkan ciri jenazah berkelamin laki-laki, berumur sekitar 25 tahun dengan tinggi badan kurang lebih 163 cm.

Selanjutnya jenazah tersebut diserahkan ke pihak RSUD Ende untuk dilakukan visum dan dititipkan di ruang Intalasi Pemulasaran Jenazah RSUD Ende.

Kasat Yance berkata, saat ditemukan tidak ada identitas yang melekat pada korban. Bagi warga merasa kehilangan anggota keluarga segera melapor.

Informasi yang dihimpun Ekora NTT pada Rabu (17/8) malam sekitar pukul 22.00 WITa, Simpli, pegawai IPJ RSUD Ende membenarkan bahwa jenazah tanpa identitas tersebut hingga saat ini masih disimpan di oven IPJ RSUD Ende.

“Masih ada. Belum ada keluarga atau kenalan yang datang. Ada di oven sekarang,” ujar Simpli.

Warga Pantar-Alor Hilang setelah Dihantam Ombak Saat Mencari Ikan

0

Mbay, Ekorantt.com – Kalfin Aulu (25), warga Desa Kolandama, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor, NTT hilang saat mencari ikan di perairan setempat.

Sebelum menghilang, Kalfin terjatuh dari tebing usai dihantam gelombang pada Selasa (16/8) sekitar pukul 19.00 WITa.

Laporan terjatuhnya Kalfin diterima Pos SAR Alor.

Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Maumere selaku SMC Lalu Wahyu Efendi mengatakan personil Pos SAR Alor dibantu oleh Tim SAR Gabungan serta masyarakat dan keluarga korban sudah berupaya melakukan pencarian.

Namun, hingga Rabu (17/8) pukul 18.00 WITA belum ditemukan.

“Pencarian hari kedua akan dilanjutkan besok pagi,” kata Efendi dalam keterangan, Selasa malam.

Efendi berkata pencarian menggunakan Speed Polairud Alor 300 PK dan RIB 500 PK Pos SAR Alor.