Maumere, Ekorantt.com – Dalam rangka melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, pemerintah daerah di seluruh NTT mesti memelihara objek dan nilai-nilai budaya di kabupaten masing-masing.
Menurut Pasal 18 b Ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian pernyataan Koordinator TPDI, Pengamat Masalah Sosial Dan Budaya NTT, Petrus Selestinus dalam pers rilis yang diterima Redaksi Ekora NTT.
Menurut Petrus, sekalipun sudah dibentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, hal ihwal tentang objek pemajuan kebudayaan seperti pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, adat istiadat, ritus, permainan rakyat, bahasa, olahraga tradisional, dan lain-lain tidak kunjung diinventarisasi dan didokumentasi sebagai kekayaan masyarakat adat.
Petrus mengatakan, bukti lain mengenai tidak adanya perlindungan negara terhadap objek-objek pemajuan kebudayaan masyarakat adat adalah pembiaran konflik hak ulayat dan tanah ulayat antarwarga masyarakat dan bahkan antara masyarakat dan pemerintah.
Pemerintah daerah juga membiarkan menjamurnya industri tekstil kain dengan motif tenunan ikat tradisional NTT di pasar modern menjadi konsumsi masyarakat di kota-kota besar yang berdampak pada sulitnya kain tenun asli NTT mendapatkan pasar.
Hal ini tidak hanya terbatasnya jumlah hasil produksi tenun ikat tradisional asli, tetapi dari segi harga pasar, harga sarung tenun asli NTT telah dirusak oleh harga tenun hasil industri tekstil di sejumlah tempat di Jawa Tengah yang sangat murah dan mudah diperoleh di mall dan pasar tradisional.
“Berdasarkan hasil investigasi yang kami lakukan di beberapa Kabupaten di Jawa Tengah sebagai daerah yang banyak memproduksi kain bermotif tenun ikat tradisional NTT, diperoleh fakta bahwa di sana hanya dalam hitungan menit, produksi kain bermotif sarung tenun ikat tradisional NTT bisa menghasilkan puluhan ribu meter kain dalam berbagai motif, mutu, dan warna yang terus menerus dikembangkan sejak tahun 70-an hingga sekarang,” ungkapnya.
Namun demikian, menurut Petrus, pemerintah daerah di NTT tidak berupaya memberikan perlindungan terhadap produksi dan pemasaran kain tenun tradisional NTT baik di pasar domestik maupun di pasar internasional.
Pengenalan kain tenun ikat tradisional NTT di kalangan pejabat sangat minim. Itu pun hanya diselipkan dalam pidato-pidato resmi pejabat sekedar basa basi.
Pengenalan produk tenun ikat tradisional NTT di manca negara nyaris tak terdengar dilakukan oleh pemerintah daerah.
“Memang ada sejumlah pihak swasta atas inisiatif dan kemampuan sendiri berhasil mempromosikan tenun ikat tradisional NTT ke manca negara. Tetapi hal itu dilakukan berkat upaya secara swadaya tanpa bantuan pemerintah daerah. Sebut saja promosi yang dilakukan Ibu Julia Laiskodat dengan Butiq Le-Vico-nya secara rutin mempromosikan sarung tenun ikat tradisional NTT di dalam negeri dan manca negara melalui fashion show berkali-kali secara gemilang, kemudian Alfonsa Horeng dengan Sanggar Lepo Lorun di Nita, Cletus Beru dengan Sanggar Doka Tawa Tana dan Romanus Rewo dengan Sanggar Bliran Sina di Watu Blapi. Mereka telah mempromosikan produk tenun ikat hingga ke manca negara. Namun, promosi yang mereka lakukan itu secara swadaya di bawah risiko sendiri tanpa bantuan Pemda NTT,” katanya.
Menurut Petrus, bukti sejarah tentang awal mula karya teknologi dan pengetahuan tradisional nenek moyang sangat minim.
Kita tidak memiliki upaya untuk mendeskripsikan, mendokumentasikan, dan/atau merekonstruksikan sejarah pembuatan sarung tenun ikat, proses penyulingan miras, tradisi penangkapan ikan paus, dan lain-lain sebagai bagian dari sejarah pengetahuan dan teknologi tradisional asli warisan nenek moyang orang NTT.
“Ini bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga masyarakat yang melekat hak-hak tradisional. Kita juga tidak mengetahui secara pasti, sejak kapan nenek moyang kita di NTT memiliki pengetahuan tradisional dan mengembangkan berbagai produk pengetahuan dan teknologi tradisional, tradisi lisan, dan ritual-ritual yang kita lakoni sebagai ekspresi budaya tradisional masyarakat NTT dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.
Selama 19 tahun reformasi, pemerintah dan pemerintah daerah mengabaikan kewajiban konstitusional untuk merevitalisasi, merepatriasi, dan merestorasi budaya untuk mengimplementasikan ketentuan pasal 18 A ayat (2), pasal 18 B ayat (2), pasal 28 I ayat (3) dan pasal 32 ayat (1 dan 2) UUD 1945.
Tujuannya adalah mengembangkan nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mensejahterakan rakyat, dan mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia sehingga kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
Kelalaian memenuhi kewajiban konstitusional khususnya di bidang pemajuan kebudayaan akan berakibat menguatnya perilaku pragmatisme, melunturnya daya tahan dan daya tangkal masyarakat terhadap pengaruh negatif dari luar, termasuk lemahnya masyarakat menghadapi ancaman radikalisme, terorisme, dan intoleransi yang pada gilirannya mengancam eksistensi NKRI.
Menurut Petrus, generasi milenial memiliki kewajiban dan tanggung jawab konstitusional untuk menjaga dan melestarikan tradisi budaya. Konsitusi memberi jaminan dan dianggarkan dalam APBN dan APBD.