Siflan Angi mencak-mencak. Ketua Fraksi NasDem di DPRD Sikka itu tuding jurnalis EKORA NTT sontoloyo dan loyo.
“Saya yakin, koran EKORA NTT yang memfitnah ini, wartawannya sontoloyo, orangnya loyo,” hardik dia dalam suatu momen rapat paripurna.
Wakil rakyat tiga (3) periode itu men-sontoloyokan EKORA NTT karena koran bermotto “kritis dan solutif” itu dinilai “menjustifikasi, mem-bully, dan memfitnah” dirinya dan 30-an anggota DPRD Sikka lainnya melalui “pemberitaan sepihak” tentang kasus dugaan korupsi tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Sikka periode 2014-2019.
Tudingan itu serius. Maka, Siflan, baik dalam pendapat resmi fraksi maupun dalam konferensi pers bersama kuasa hukumnya Dr. Stef Roy Rening di Hotel Pelita Maumere beberapa hari lalu, akan mempolisikan Bupati Sikka Robby Idong dan koran EKORA NTT dengan delik pencemaran nama baik.
Apakah tudingan “pemberitaan sepihak” Saudara Siflan benar? Bermoralkah Saudara Siflan men-sontoloyokan pers? Bagaimana seharusnya hubungan antara media dan politisi?
Julius Caesar (59 SM) girang bukan kepalang. Dia temukan ide tentang cara beri informasi kepada publik Kerajaan Romawi Kuno. Cara itu adalah menulis kejadian-kejadian penting di istana di Forum Romanum.
Forum Romanum merupakan lapangan luas atau alun-alun di pusat Kota Roma tempat orang dari segala penjuru berkumpul. Mereka berkumpul untuk buat transaksi perdagangan dan saling tukar informasi. Di Forum Romanum ini dipancangkan sebuah papan tulis besar. Semua peristiwa penting yang terjadi di seluruh wilayah Kekaiseran Romawi ditulis di papan tulis besar itu.
Semua peristiwa penting yang terjadi setiap hari itu dinamai acta diurna. Dari kata dasar Latin agere, artinya berbuat, bertindak, melakukan dan dies, artinya hari. Kata dasar agere telurkan kata turunan acta, artinya sesuatu yang telah terjadi atau telah dilakukan. Sedangkan, kata dasar dies lahirkan kata diurna, artinya setiap hari.
Acta diurna berarti segala peristiwa yang terjadi setiap hari. Bisa disimpulkan, acta diurna merupakan suatu cara yang dimulai pada masa pemerintahan Julius Caesar untuk sebarluaskan informasi kepada semua warga Negara Kekaiseran Romawi dengan cara menulis informasi atau kejadian-kejadian penting pada sebuah papan yang ditaruh di Forum Romanum.
Sementara itu, orang-orang kaya pada zaman Julius Caesar punya cara lain untuk memperoleh berita. Mereka mempekerjakan budak untuk cari berita atau informasi. Para budak antara lain pergi ke Forum Romanum, membaca acta diurna, dan menyampaikannya kepada majikan mereka. Para budak pencari berita ini dinamai diurnarius.
Dari kata acta diurna dan diurnarius inilah kemudian lahir masing-masing istilah jurnalistik dan jurnalis. Jurnalistik jamak dipahami sebagai ilmu dan/atau kegiatan yang mempelajari kesenian mengumpulkan, menulis, dan menyiarkan berita. Orang yang bekerja dalam bidang jurnalistik disebut jurnalis.
Bertahun-tahun kemudian, Benedict Anderson bertanya-tanya. Bagaimana semangat atau kesadaran kebangsaan di Indonesia muncul?
Dia lalu jawab sendiri, kesadaran kebangsaan atau nasionalisme di Indonesia muncul karena media cetak atau kapitalisme cetak (Anderson, 1983, lihat juga wawancara EKORA NTT dengan Emil Tolo, Kuasa Media di NTT, Ekorantt.com, 16/7/2019).
Menurut dia, kapitalisme cetak tidak hanya berperan sebagai senjata lawan penindasan kolonial, tetapi juga ciptakan sebuah “bangsa atau komunitas yang dibayangkan” – the imagined communities – oleh semua rakyat Indonesia yang hidup di sebuah kepulauan nan luas. Media cetak satukan mereka sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa.
Sementara itu, bertahun yang lampau, hati Tirto Adhi Soerjo (T.A.S) nelangsa. Nasib bangsa Hindia Belanda teramat mengenaskan di bawah kuk penindasan kolonial Belanda dan kekolotan feodal para raja Pribumi.
Maka, Tokoh Pers dan Kebangkitan Nasional itu goreskan pena melawan kesewenang-wenangan penguasa kolonial dan raja Pribumi melalui koran Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907-1914), Putri Hindia (1908), dan Soeloeh Keadilan.
Penanya sungguh tajam sampai-sampai Marco, anak didiknya yang jadi jurnalis, beri kesaksian, “Tuan T.A.S. adalah induk jurnalis bumiputera di ini tanah Jawa. Tajam sekali beliau punya pena. Banyak pembesar yang kena kritiknya jadi muntah darah dan sebagian besar memperbaiki kelakuannya yang kurang senonoh,” tulis Mas Marcodikromo dalam artikel bertajuk “Mangkat” yang dimuat surat kabar Djawi Hisworo edisi 13 Desember 1918 (Tirto.id, 7 Desember 2018).
Pada tahun 1926, Sukarno muda tulis artikel perdana, “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme” di Koran Soeloeh Indonesia Moeda (Sukarno, 1964). Putra Sang Fajar mempromosikan sinkretisasi atau perpaduan serasi antara golongan nasionalis sekular, nasionalis religius, dan golongan komunis jadi satu kekuatan raksasa usir penjajah dari Ibu Pertiwi.
Tak pelak lagi, media massa sejak tahun 1940-an hingga 1960-an awal terkonvergensi dalam upaya memenangkan perjuangan ideologi masing-masing. Koran Harian Rakjat milik PKI, misalnya getol memperjuangkan dan mengadvokasi hak para buruh dan tani.
Koran-koran pada zaman Sukarno umumnya didorong untuk melabrak kapitalisme dan neo-kolonialisme. Sejalan dengan semangat anti neokolonialisme Presiden Sukarno.
Suharto naik takhta sesudah pembunuhan massal sepanjang 1965-1966. Media massa ramai-ramai kutuk komunisme sebagai dalang G30S. Koran Harian Angkatan Bersendjata dan Berita Yudha milik militer jadi corong utama.
Selanjutnya adalah sejarah. Media massa, TVRI, misalnya jadi corong kekuasaan Negara Orde Baru. Sebuah Negara yang didirikan atas dasar kekerasan massa, teror, darah, dan trauma (Hardiman, 2005).
Kritik kekuasaan jadi barang tabu. Media massa yang coba melawan dibredel.
Lalu, menyingsinglah fajar Reformasi dengan bentuk medianya yang super khas. Jika di era sebelumnya hanya ada media cetak, audio visual, dan visual, maka di era ini media digital tumbuh bak jamur di musim penghujan.
Ross Tapsell, Peneliti asal Australi, ajukan tesis, digitalisasi media mengakibatkan pertama, rakyat biasa dapat menantang struktur kekuasaan elite, tetapi kedua, kedudukan ekonomi-politik para oligark dan konglomerat semakin tambah kuat (Tapsell, 2016).
Berdasarkan cerita singkat tentang pers di atas, kami berpendapat, Saudara Siflan berhak men-sontoloyokan pers.
Namun, pers juga berhak kontrol kekuasaan Saudara Siflan cs selaku wakil rakyat dan penjabat Negara yang diberi makan oleh rakyat.
Saudara Siflan cs harus dikontrol karena every powers tends to corrupt. But, absolutelly power corrupt absolutelly. “Setiap kekuasaan cenderung korup. Namun, kekuasaan absolut pasti korup” (Lord Acton).