Menunggu “Orang Kaya Baru” di Sikka, Flores Bertobat: Polemik Penetapan Bupati Sikka sebagai Ketua PDI-P Sikka

Will Kymlicka bertobat.

Workshop Charles Taylor – seorang dedengkot komunitarian – tentang nilai-nilai komunitarianisme di Universitas Oxford pada sekitar tahun 1980-an telah beri dia semacam penitensi atas “dosa” intelektualnya.

Sebelumnya, dia begitu yakin bahwa doktrin liberalisme atau egalitarianisme liberal sebagaimana dipegang kukuh para profesor Oxford seperti Ronald Dworkin, G.A. Cohen, Steve Lukes, dan Joseph Raz telah sanggup mengakomodasi hak-hak kelompok minoritas secara paripurna.

Filosof politik kelahiran Kanada, Amerika Utara pada 1962 itu “mengaku dosanya” dengan menulis sebagai berikut, “Dalam perbincangan itu, Taylor mulai berbicara tentang politik orang Kanada, dan berpendapat bahwa hanya komunitarianisme yang dapat mempertahankan hak-hak khusus kelompok bagi masyarakat Quebec dan suku Indian. Saya berharap bahwa Dworkin dan para teoritisi liberal yang ada dalam workshop itu dapat melawan gagasan tersebut, tetapi malahan mereka bersepakat dengan Taylor bahwa liberalisme menafikan hak-hak khusus kelompok itu. Hal ini sangat mengganggu saya, karena saya tertarik sepenuhnya pada egalitarianisme liberal tentang keadilan, tetapi tumbuh dengan asumsi bahwa keadilan membutuhkan beberapa bentuk “hak-hak spesifik” untuk Quebec dan kaum Aborigin. Saya terdorong untuk memilah (baca: mengembangkan) inkonsistensi yang tampak itu dalam pemikiran saya” (Redem Kono, Senandung Suara-Suara Minor: Will Kymlicka tentang Hak-Hak Minoritas dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, 2016, pp. 51-52).

Sepulangnya dari pertemuan dengan Taylor, Will Kymlicka mulai beri perhatian lebih pada penelitian ilmiah tentang hak-hak minoritas menurut prinsip liberal.

iklan

Seperti ditulis Redem, bermunculan-lah publikasi-publikasi dia dalam periode awal (1989-1995) yaitu “Liberalism, Community, and Culture” (1989) dan “Contemporary Political Philosophy” (1990), periode pendasaran teori (1995-sekarang) yaitu “Multicultural Citizenship” (1995), “Politics of Vernacular” (2001) dan “Multicultural  Odysseys: Navigating The New International Politics of Diversity” (2006), periode kontekstualisasi teori (2002-sekarang) yaitu “Can Liberalism Politics Can Be Exported” (2002), “Ethnicity and Democracy in Africa” (2004), dan “Multiculturalism in Asia” (2005), dan periode “post-multikulturalisme” (2012-sekarang) yaitu “Multiculturalism: Success, Failure, and The Future” (2012) (Ibid., pp. 61-63).

Roh publikasi Kymlicka adalah terakomodasinya hak-hak minoritas – minoritas bangsa, minoritas etnis, dan kelompok sosial non-etnis – dalam gelanggang perjuangan penegakan hak-hak liberal hingga pada akhirnya mereka bisa punya “budaya kemasyarakatan” sendiri.

Tujuannya adalah terbebasnya kelompok minoritas dari represi Negara dan kaum mayoritas serta terdistribusinya keadilan dan kesetaraan terhadap mereka di hadapan dominasi “budaya kemasyarakatan” mayoritas.

Caranya adalah menerapkan konsep “kewarganegaraan terdiferensiasi” sehingga aspirasi minoritas bangsa, etnis, dan minoritas kelompok sosial non-etnis seperti difabel, LGBT, perempuan, ateis, dan komunis bisa ditampung.

Warga Negara yang terdiferensiasi – kelompok-kelompok minoritas itu – punya tiga (3) hak, yaitu pertama, hak atas pemerintahan sendiri, kedua, hak polietnis, dan ketiga, hak-hak perwakilan khusus (Bdk. Ibid., pp. 81-82).

Hari-hari ini, udara politik di Sikka, Flores panas.

Udara politik yang panas terbentuk bukan hanya karena perseteruan tanpa henti antara eksekutif dan legislatif tetapi juga karena proses demokratisasi yang tidak berjalan tuntas di internal partai politik.

Tidak ada hujan, tidak ada angin, tiba-tiba saja Bupati Sikka naik takhta Partai Moncong Putih di Sikka.

Publik bertanya-tanya, mengapa partai politik yang bermotto “Demokrasi Indonesia Perjuangan” justru bertindak tidak demokratis? Bukankah pertentangan itu mencerminkan kontradiksi perfomatif?

Orang nomor 1 di Nian Tana beri argumen, situasi politik mutakhir – yang ia gambarkan sebagai “jalan Tuhan” – akan memudahkan dia dalam mengeksekusi visi “Pemenuhan Hak Dasar” demi “Menuju Sikka Bahagia 2023.”

Akan tetapi, pertanyaannya adalah hak dasar siapa? Bupati? Anggota DPRD? Birokrat? Kontraktor? Pengusaha? Pemodal?

Hasil penelitian Emil Tolo baru-baru ini menunjukkan, “Peningkatan proyek infrastruktur pemerintah, teristimewa selama pemerintahan Jokowi, telah menyumbang pertumbuhan orang kaya baru yang terdiri atas para kontraktor lokal, birokrat, politisi, dan pengusaha… Karena proyek-proyek infrastruktur pemerintah rentan dikorupsi, maka hal ini juga mendongkrak kekayaan para birokrat senior dan politisi. Birokrat senior dapat menggasak 10% dari proyek infrastruktur yang dikelola oleh kantor mereka. Para politisi juga melakukan hal yang sama, sebab, biasanya mereka memiliki otoritas dalam pengalokasian proyek-proyek tertentu. Seorang petugas partai di Flores berkata kepada saya bahwa “ketua DPRD biasanya mendapatkan jatah 50 proyek, wakilnya 30 proyek, dan anggota DPRD lainnya 15-17 proyek.” Di setiap proyek, kata dia, para kontraktor harus menyetor 10% dari total nilai proyek kepada para politisi yang memenangkan mereka dalam proses tender atau pelelangan” (Emilianus Yakob Sese Tolo, Mendepak Tuan Tanah dari Gelanggang Politik Lokal di Flores dalam Ekorantt.com, 27/7/2019).

Kami berpendapat, pemenuhan hak dasar mesti ditujukan terutama kepada “kelompok minoritas” di Sikka.

Mengapa?

Sebab, Negara tak pernah boleh netral. Negara mesti berpihak kepada kelompok warga Negara yang teridentifikasi paling lemah dalam masyarakat. Pada titik ini, kami menolak model Negara liberal “jaga malam” yang buta terhadap pertarungan relasi kuasa dan pertentangan kelas di dalam masyarakat.

Akan tetapi, berbeda dari Kimlycka, “kelompok minoritas” di Sikka mesti ditafsir ulang dan diperluas lebih dari sekadar minoritas bangsa, etnis, dan minoritas non-etnis.

Minoritas di Sikka adalah semua mereka yang terpinggirkan secara politik, ekonomi, dan budaya.

Mereka itu adalah orang miskin kota, tani miskin, buruh tani, buruh nelayan, pemulung, karyawan/ti toko, pengemis, LGBT dan/atau yang tergabung dalam Persatuan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas), penganut agama minoritas, difabel, ratusan Balita stunting, perempuan atau du’a-du’a Sikka.

Singkatnya, semua saja yang termasuk dalam keranjang kelompok “warga Negara terdiferensiasi” akibat kalah dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya.

Pertama, secara politik, mereka tidak punya perwakilan di lembaga legislatif.

Dalam Pileg 2019 lalu, wakil rakyat dari kelompok difabel, misalnya gagal terpilih. Amandus Ratason, Caleg difabel dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), gagal masuk gedung lepo kula babong karena skandal “tip-ex” pada C-1 Plano KPUD Sikka.

Wakil rakyat dari kelompok LGBT tidak ada sama sekali.

Juga buruh tani, buruh nelayan, dan buruh toko nihil.

Syukurlah, kelompok perempuan punya lima (5) orang wakil.

Akan tetapi, dubium metodicum, perwakilan perempuan ini menyuarakan aspirasi siapa?

Putri Waiblama, Caleg perempuan dari Partai Demokrat, menang mutlak di daerah pemilihannya (Dapil). Kemenangan itu punya sejarah pertarungan ekonomi politik yang panjang. Dia sudah melakukan investasi modal – modal sosial dan modal kapital – yang cukup besar di antara rakyat jelata di Waiblama.

Baba Eng Eng, ayah dari Putri Waiblama, adalah pemilik CV yang sering kerja proyek pemerintah di Kabupaten Sikka.

Akankah dia mau berjuang untuk kepentingan du’a-du’a Sikka yang tertindas?

Kedua, secara ekonomi, kelompok minoritas di Sikka umumnya tidak punya alat-alat produksi yang mencukupi.

Pandanglah karyawan/ti di toko-toko di Maumere!

Saudara akan saksikan, betapa para gadis itu harus jual tenaga kerjanya saban hari untuk mendapatkan remah-remah upah dari majikan toko dengan besaran yang tak selamanya mencapai Upah Minimum Provinsi (UMP) NTT sebesar Rp1.795.000,00.

Lin Wea dan Erna Ke’o, karyawati di Seminari Tinggi Santo Petrus Ritapiret, Flores kepada kami beberapa waktu lalu mengatakan, mereka diupah Rp800 ribu per/bulan. Namun, sebanyak Rp300 ribu dipotong lagi untuk biaya makan dan penginapan. Dengan demikian, total penghasilan mereka sebulan cuma Rp500 ribu.

Atau tengoklah buruh nelayan di Wuring!

Saudara akan temukan banyak buruh nelayan yang tak punya kapal motor untuk melaut dan menjala ikan. Mereka mesti jual tenaga kerja kepada para nelayan pemilik kapal motor.

Alhasil, pembangunan infrastruktur dermaga penambat kapal di Perairan Wuring hanya menguntungkan kelas nelayan pemilik kapal. Buruh nelayan di sana gigit jari.

Dan memang, seturut penelitian Emil Tolo, pembangunan infrastruktur di Flores lebih menguntungkan para pengusaha dan pemilik modal – proses distribusi barang dan/atau jasa menjadi lebih murah dan mudah – dari pada rakyat jelata.

Sendengkanlah juga telinga Saudara pada jeritan para tani miskin dan buruh tani di Perkebunan Misi Tanah Hak Guna Usaha (HGU) Nanghale, Maumere, Flores!

Blasius Baga, tani miskin asal Tuabao, kepada kami dengan tegas mengatakan, PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) – metamorfosa dari PT Diosesan Agung (DIAG) Ende – milik Keuskupan Maumere mesti segera angkat kaki dari tanah leluhurnya agar mereka bisa menggarap tanah itu untuk sintas di bumi manusia ini.

Prevalensi stunting di Kabupaten Sikka tahun 2018 sebesar 33,0% adalah refleksi dari relasi sosial produksi yang timpang di Kabupaten Sikka!

60 anak Balita stunting di sekitar tembok biara di Nita, Flores adalah gugatan terhadap kekayaan dan kemakmuran yang terkonsentrasi pada para pemilik alat-alat produksi di daerah nyiur melambai: politisi, birokrat, kontraktor, pengusaha, tuan tanah, dan Gereja Katolik di Flores.

Secara budaya, kelompok minoritas di Sikka umumnya didiskriminasi oleh Negara dan kelompok mayoritas.

Lihatlah sama saudara kita umat Gereja Bethel Indonesia (GBI) Rock Maumere!

Beberapa tahun lalu, mereka kesulitan bangun rumah ibadah karena adanya penolakan masif dari penganut agama mayoritas.

Pandanglah juga sama saudara kita yang menghimpunkan diri ke dalam organisasi Perwakas!

Para waria ini acap kali dicemooh masyarakat hanya karena menunjukkan ekspresi gender yang berbeda.  

Pemerintahan Kabupaten Sikka di bawah kemudi Robby Idong mesti beri perlakuan berbeda untuk memenuhi hak-hak minoritas ini.

Sebab, berlaku adil tak selamanya berarti berlaku sama.

Pada tataran tertentu, keadilan justru digapai dengan memberi perlakuan yang berbeda.

Cara mengecek politik hak minoritas Bupati Robby mudah.

Bacalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Sikka 2018-2023 dan postur APBD di tahun-tahun kepemimpinan duet ROMA.

Niscaya, Saudara akan temukan, apakah politik Bupati Sikka ini sungguh merupakan “jalan Tuhan” memenuhi hak-hak minoritas rakyat Sikka atau bukan?

Will Kymlicka sudah bertobat secara filosofis.

Kita menunggu para politisi, birokrat, kontraktor, pengusaha, tuan tanah – orang-orang kaya baru di Sikka, Flores – bertobat secara politis.   

TERKINI
BACA JUGA