Sejak diundangkan pertama kali pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri pada tahun 2002 lalu, para wakil rakyat di lembaga DPR RI telah berkali-kali mengajukan draft revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Revisi UU KPK didorong oleh antara lain para pengusaha, elite penegak hukum, pengacara, dan elite partai politik yang pro status quo (ICW, “Catatan Indonesia Corruption Watch terhadap Revisi UU (Pelemahan) KPK”, 2016).
Tujuan mereka adalah memperlemah atau bikin loyo KPK.
Dalam catatan ICW, usulan dan pembahasan Revisi UU KPK telah dimulai sejak tahun 2011 lalu.
Hingga kini, sekurang-kurangnya, sudah ada empat (4) rancangan Revisi UU KPK yang bocor ke publik, yakni Naskah Revisi UU KPK Edisi 2012, Edisi Oktober 2015, Edisi Februari 2016, dan paling mutakhir Edisi September 2019.
Masih menurut ICW, dalam Edisi Oktober 2015 versi Senayan, setidaknya terdapat 17 isu krusial yang berpotensi melemahkan dan membubarkan KPK.
Misalnya, membatasi usia insitusi KPK hingga 12 tahun mendatang, memangkas kewenangan penuntutan, memberikan kewenangan penghentian penyidikan dan penuntutan, mereduksi kewenangan penyadapan, membatasi proses rekrutmen penyelidik dan penyidik secara mandiri, dan membatasi kasus korupsi yang dapat ditangani KPK.
Karena ditolak publik, pembahasan Edisi Oktober 2015 dihentikan hingga pengujung 2015.
Naskah itu kemudian diambil alih menjadi usulan DPR.
Naskah Edisi Oktober 2015 berubah setelah Menkopolhukam Luhut B. Pandjaitan ajukan tawaran agar revisi UU KPK cukup dibatasi pada empat (4) aspek saja, yaitu kewenangan penghentian penyidikan, rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK, pembentukan Dewan Pengawas, dan pengaturan mekanisme penyadapan.
Pada Senin, 1 Februari 2016, para anggota DPR RI mulai membahas Revisi UU KPK.
Lalu, muncullah Naskah Edisi Februari 2016 yang berbeda dari Edisi 2015.
Akan tetapi, Naskah Edisi Februari 2016 tidak hanya membahas empat (4) isu krusial tawaran Pemerintah di atas, tetapi juga membahas hal-hal lainnya yang pada intinya bertujuan melemahkan KPK.
ICW mencatat, sekurang-kurangnya terdapat 10 (sepuluh) isu persoalan pada Naskah Edisi Februari 2016, yakni pembentukan Dewan Pengawas KPK yang dipilih dan diangkat oleh Presiden (1), mekanisme penyadapan yang harus izin Dewan Pengawas (2), penyadapan hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan (3), dualisme kepemimpinan di KPK (4), KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri (5), hanya Penyidik KPK asal Kepolisian dan Kejaksaan yang dapat melakukan proses penyidikan (6), prosedur pemeriksaan terhadap tersangka harus mengacu pada KUHAP (7), KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi (8), proses penyitaan harus dengan izin Dewan Pengawas (9), dan tidak ada ketentuan peralihan (10).
Revisi UU KPK itu juga telah berkali-kali ditolak publik.
Publik beralasan, jika Revisi UU KPK disahkan, maka antara lain pertama, KPK berpotensi dibajak Dewan Pengawas, kedua, karena anggota Dewan Pengawas diangkat dan dipilih Presiden, maka sangat mungkin terjadi intervensi Presiden atau Eksekutif terhadap KPK, ketiga, keberadaan Dewan Pengawas akan merancukan struktur dan pertanggungjawaban kinerja KPK, keempat, proses penangangan kasus korupsi oleh KPK akan berlarut-larut karena prosedur penanganan yang kembali ke mekanisme hukum acara konvensional, dan kelima, berpotensi muncul dualisme loyalitas oleh penyelidik dan KPK yang berasal dari Kejaksaan dan Kepolisian.
Oleh karena itu, pada tanggal 3 Februari 2016 lalu, ICW meminta pertama, seluruh fraksi di DPR membatalkan rencana pembahasan Revisi UU KPK, kedua, Pemerintah, khususnya Presiden Jokowi, menolak membahas Revisi UU KPK bersama dengan DPR dan menariknya dalam Prolegnas 2015-2019 sesuai dengan agenda Nawa Cita, khususnya penguatan KPK, ketiga, Presiden Jokowi mewaspadai manuver dan operasi senyap yang dilakukan orang-orang di lingkungan terdekatnya, khususnya yang berambisi menguasai sektor ekonomi dan politik dengan memperlemah KPK melalui Revisi UU KPK, keempat, pimpinan KPK mengirimkan surat resmi yang menyatakan keberatan dan menolak rencana pembahasan Revisi UU KPK dengan substansi yang melemahkan kerja KPK, dan kelima, mendorong gerakan masyarakat sipil dan berbagai elemen yang mau Indonesia bersih dari korupsi untuk bersatu padu menggagalkan upaya pelemahan KPK.
Sayangnya, nafsu para wakil rakyat di Senayan untuk bikin loyo KPK tak pernah kempot.
Pada Kamis, 5 September 2019 lalu, ketuk palu Wakil Ketua DPR RI Utut Udianto sebagai pimpinan Rapat Paripurna mengesahkan naskah rancangan Revisi UU KPK menjadi RUU Inisiatif DPR (Kompas.com, 6 September 2019).
Semua fraksi di DPR RI menyanyikan koor lagu setuju atas RUU Revisi UU KPK Edisi September 2019 itu.
Lagi-lagi, ICW mencatat sebelas (11) isu krusial yang harus dikritisi dari RUU Revisi UU KPK itu, yakni pembentukan Dewan Pengawas (1), kewenangan penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) (2), dalam melaksanakan tugas penuntutan, KPK harus berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung (3), penyadapan harus izin dari Dewan Pengawas (4), KPK bukan lagi lembaga Negara independen (5), KPK hanya dibatasi waktu 1 tahun untuk menangani sebuah perkara (6), menghapus kewenangan KPK untuk mengangkat penyelidik dan penyidik independen (7), penanganan perkara yang sedang berjalan di KPK dapat dihentikan (8), KPK tidak bisa membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia (9), syarat menjadi Pimpinan KPK mesti berumur 50 tahun (10), dan draft yang beredar tidak ditulis dengan cermat dan terkesan tergesa-gesa (11).
Sama seperti ICW, sikap kami adalah menolak Revisi UU KPK!
Kami juga mendesak pertama, Presiden Jokowi menghentikan pembahasan revisi UU KPK dan kedua, DPR fokus pada penguatan KPK dengan cara merevisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.