Ribuan Mahasiswa Turun ke Jalan: Mosi Tidak Percaya kepada DPR dan Elite Politik

Yogyakarta, Ekorantt.com – Tidak becusnya DPR dan Pemerintah Republik Indonesia saat ini dalam mencetuskan sejumlah kebijakan publik, terkini berkaitan dengan pembuatan produk hukum seperti revisi UU KPK dan RUU KUHP, memantik respons serius dari rakyat. Setelah mahasiswa di Jakarta dan sekitarnya melakukan unjuk rasa di Gedung DPR dan MPR di Senayan, Kamis (19/9/2019) lalu, di Yogyakarta gerakan mahasiswa melawan kebijakan publik terkait pun berlangsung pada Senin (23/9/2019).

Aksi di Yogyakarta ini dinamakan dengan #GejayanMemanggil dalam wadah Aliansi Rakyat Bergerak. Kegiatan ini merupakan gerakan yang dinisiasi oleh mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta dan melibatkan berbagai elemen masyarakat secara kolektif atas dasar keresahan terhadap berbagai isu nasional saat ini, termaksud dua persoalan di atas.

Pantauan EKORA NTT, ribuan mahasiswa turun ke jalan dan melakukan long march dari beberapa titik kumpul, yakni di Bundaran Universitas Gadjah Mada, Gerbang Utama Universitas Sanata Dharma dan Pertigaan Revolusi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka menyanyikan lagu ataupun yel-yel menentang kebijakan, membawa spanduk dalam berbagai ukuran dan tulisan dan tak henti-hentinya berorasi sampaikan tuntutan. Titik kumpul terakhir mereka, yakni di Jalan Gejayan, sebuah tempat yang punya jejak historis ihwal perlawanan rakyat kepada negara.

Pada kesempatan itu, Aliansi Rakyat Bergerak pun mengajukan sejumlah pernyataan sikap. Bagi mereka, pengaruh besar elit politik dan jaringan oligarki terhadap arah kebijakan negara telah secara historis mempersempit ruang partisipasi masyarakat sipil. Rangkaian peristiwa politik dan lingkungan beberapa waktu terakhir merupakan ancaman serius bagi masa depan demokrasi di Indonesia.

Jangan Kembali ke Orba

iklan

Aliansi Rakyat Bergerak memberi peringatan keras bahwa situasi demokrasi belakangan ini jangan sampai membuat Indonesia kembali ke masa Orde Baru yang mana negara menjadi penguasa tunggal. 21 tahun lalu, kekuasaan rezim militer Soeharto telah runtuh setelah 32 tahun berkuasa. Peristiwa tersebut menandakan ada semangat memperjuangkan kembali demokrasi untuk rakyat.

Dalam gerakan tersebut, setidaknya terdapat beberapa poin penting yang menjadi landasan perjuangan reformasi. Pertama, narasi besar developmentalism rezim militer Soeharto yang telah berkontribusi terhadap tingginya angka kemiskinan dan ketimpangan. Selanjutnya, ada semangat membebaskan masyarakat dari cengkraman ketidakpastian hukum, menghapuskan korupsi, penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran.

Melalui latar belakang tersebut, gerakan reformasi menuntut lembaga penyalur pendapat masyarakat harus berperan serta menampung aspirasi pendapat masyarakat luas yang lebih partisipatif. Satu hal yang perlu dipahami bahwa negara adalah sebuah arena yang harus direbut. Negara tak pernah utuh- terpadu dan state bukanlah entitas yang homogen. State adalah arena pertarungan kelas yang bisa tarik- menarik, dan juga dikuasai kelas tertentu. Di Indonesia, memperlihatkan bahwa peta politik-ekonomi tidak ada perubahan secara radikal pasca reformasi. Di Indonesia, pasca reformasi, peta politik-ekonomi negara justru didominasi oleh borjuasi lokal. Hari ini oligarki membajak demokrasi salah satunya melalui pengendalian proses pembuatan kebijakan publik. Bahkan mereka masuk dan mengendalikan institusi demokrasi seperti partai politik dan media.

Massa berkumpul dan melakukan orasi sampaikan tuntutan atas sejumlah kebijakan publik yang tidak pro rakyat di Jalan Gejayan, Yogyakarta, Senin (23/9/2019).

Melalui pemahaman ini, konsep oligarki pada akhirnya juga berperan dalam proses perusakan lingkungan yang pada konteks Indonesia beberapa waktu terakhir termanifestasikan dalam kerusakan lahan. Sebab, undang-undang yang akan menguntungkan oligark digunakan untuk melakukan pertahanan kekuasaan (baik pertahanan kekayaan maupun pendapatan).

Hal ini penting untuk disadari, bahwa kadang kepentingan para oligark tersembunyi dalam pasal-pasal yang ada. Pardoks yang terjadi justru demokrasi mati melalui saluran demokrasi itu sendiri. Contoh nyata dominasi oligarki saat ini bisa dilihat dari berbagai kejadian akhir-akhir ini. Disahkannya UU KPK pada 17 September 2019 menjadi paradoks besar atas salah satu agenda reformasi untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Selain itu, supremasi hukum “ #RakyatBergerak #GejayanMemanggil sebagai salah satu agenda reformasi juga menemui jalan buntu. Banyaknya pasal yang mendapat kritik dari berbagai lapisan masyarakat seolah tidak menjadi bahan pertimbangan bagi legislatif.

Pasal-pasal ini meliputi aturan mengenai Makar, Kehormatan Presiden, Tindah Pidana Korupsi (Tipikor), Hukum yang Hidup di Masyarakat, dan beberapa pasal yang mengatur ranah privat masyarakat. Tidak berhenti sampai sana, saat ini juga muncul beberapa rancangan peraturan perundang-undangan yang terkesan hadir sebagai formalitas penyelesaian tugas legislatif.

Hadirnya RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan, misalnya, terkesan terlalu mendadak dan dipaksakan. Sedangkan di sisi lain, terdapat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang sempat menjadi bola panas menjelang pemilu, hingga saat ini justru belum mendapat kepastian pembahasan lebih lanjut. Di lain sisi, kebebasan demokrasi juga semakin diberangus melalui RKUHP dan juga praktek-praktek kriminalisasi aktivis di berbagai sektor.

Maka dari itu, Aliansi Rakyat Bergerak, sebagai salah satu medium gerakan masyarakat sipil, mengajukan beberapa tuntutan yang meliputi: 1. Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP. 2. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk merevisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. 3. Menuntut Negara untuk mengusut dan mengadili elit-elit yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia. 4. Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak pada pekerja. 5. Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk penghianatan terhadap semangat reforma agraria. 6.Mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. 7. Mendorong proses demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.

Pantauan EKORA NTT, aksi ini berjalan dengan aman dan lancar, meskipun beberapa ruas jalan harus dialihkan oleh aparat keamanan demi keberlangsungan kegiatan.

TERKINI
BACA JUGA