Yesus Kristus, Sang Sabda yang Menjelma: Tanggapan untuk Emilianus Yakob Sese Tolo

Oleh Toni Mbukut*

Setelah membaca dan menganalisis tanggapan yang begitu panjang dari Emilianus Yakob Sese Tolo atas tulisan saya dan Elton Wada (https://ekorantt.com/2019/10/08/logos-ledalogos-dan-ledalodima-1-3/, https://ekorantt.com/2019/10/08/logos-ledalogos-dan-ledalodima-2-3/, dan https://ekorantt.com/2019/10/08/logos-ledalogos-dan-ledalodima-3-habis/), saya menyimpulkan bahwa Emil adalah seorang idealis sejati.

Emil hanya coba menggiring opini publik berdasarkan apa yang ideal dan apa yang diasumsikan dalam pemikirannya sendiri, tetapi sangat minim dan kurang cermat dalam mengumpulkan dan menganalisis data lapangan.

Ia terlalu berani membuat opini yang hebat dengan data penyokong yang rapuh.

Panjang dan bertele-telenya artikel tanggapan Emil adalah juga salah satu indikasi nyata lemahnya basis argumentasi Emil sendiri.

iklan

Emil coba menghubungkan berbagai persoalan dalam tulisannya, tetapi lupa bahwa setiap persoalan mempunyai konteksnya masing-masing yang begitu kompleks.

Emil juga cenderung menyederhanakan setiap persoalan hanya dengan modal asumsi.

Saya akan membuktikan kalau Emil adalah seorang idealis yang hanya membangun argumentasi atas dasar asumsi.

Pertama, berkaitan dengan wacana tentang marxis.

Wacana tentang marxis yang digaungkan oleh Emil sangat jelas berangkat dari asumsi Emil bahwa marxis adalah sesuatu yang baru di STFK Ledalero dan sebelumnya kurang mendapat tempat dalam pergumulan akademik mahasiswa STFK Ledalero.

Oleh karena itu, ia coba bergaung di media agar STFK Ledalero mulai meminati dan menggumuli marxisme.

Hal ini terindikasi dari kalimatnya “Karena logika dialektika Marxis bersumber pada Marxisme, maka sudah seharusnya STFK Ledalero meneruskan dan membiarkan para dosen dan mahasiswa mempelajari marxisme sebagai ilmu dengan bebas dan bertanggungjawab di tengah gelombang pembrendelan buku-buku berbau Marxis di Indonesia hari ini” (bdk. Flores Pos, 14/9/2019).”

Penggunaan kata “seharusnya” adalah bukti bahwa Emil merupakan seorang yang idealis dan formalis.

Ia cenderung memaksakan apa yang diyakininya dan menutup kemungkinan ruang dialog yang sebenarnya “sedang ia perjuangkan.”

Ia memandang pesimis logika formal, tetapi kesimpulan di kalimat akhirnya ini membuktikan bahwa ia juga adalah pengabdi logika formal.

Sebab, ia begitu menaati premis-premis yang ia bangun sejak awal artikelnya.

Tidak ada dialektika dalam argumentasi Emil.

Dengan menggunakan kata “meneruskan” dan “membiarkan”, Emil sebenarnya memaksa STFK Ledalero untuk menjadi mediator marxisme dan memperingatkan STFK Ledalero agar tidak boleh melarang marxisme.  

Argumentasi Emil ini jelas tidak berdasar.

Kenyataan menunjukkan bahwa sudah sejak lama STFK Ledalero memberi ruang bagi ilmu marxis dan sudah sejak lama juga marxisme dipelajari dan diminati oleh mahasiswa STFK Ledalero.

Saya kurang tahu pengalaman Emil sendiri selama belajar filsafat di Ledalero.

Apakah ia sama sekali tidak pernah membaca dan mempelajari ilmu marxis?

Kalau memang demikian, sungguh patut disayangkan.

Emil sepertinya kurang memanfaatkan kesempatan dengan baik selama studi filsafat di STFK Ledalero.

Sebagai mahasiwa yang sudah hampir enam tahun belajar di STFK Leldaro (4 tahun sebagai filosofan dan hampir 1,5 tahun sebagai teologan), saya merasa bahwa marxis bukan sesuatu yang asing bagi kami dan sudah sering kami pelajari dan kami pakai dalam analisis sosial.

Sejak awal, saya sebenarnya merasa bahwa wacana yang digaungkan oleh Emil adalah sesuatu yang aneh dan berlebihan.

Emil sepertinya belum menyelidiki tulisan-tulisan mahasiswa STFK Ledalero tentang marxis.

Berdasarkan penyelidikan saya di komputer perpustakaan STFK Ledalero, sejak tahun 1986, sudah ada mahasiswa yang menulis skripsi tentang Marx dan sejak tahun 1986-2018 sekurang-kurangnya ada 16 skripsi mahasiswa yang secara khusus mendalami pemikiran Marx.

Ini membuktikan kalau marxis sebenarnya sudah lama diminati dan dipelajari oleh mahasiswa STFK ledalero.

Oleh karena itu, asumsi Emil sebenarnya tidak berdasar dan tidak dapat diterima.

Kedua, berkaitan dengan logos.  

Emil sepertinya keliru dalam memahami logos yang saya maksudkan.

Emil sepertinya terjebak dengan asumsinya sendiri bahwa logos atau Sabda yang saya maksudkan adalah logos sebagaimana yang dipahami oleh para filsuf Yunani klasik, yaitu logos yang adalah sumber pengetahuan dan kebenaran dalam dunia.

Lagi-lagi, Emil hanya membangun argumentasi di atas asumsinya sendiri.

Dengan asumsi logos para filsuf Yunani klasik itu, Emil membantah argumentasi saya dan menganggap saya sebagai seorang penerawang.

Namun, Emil sendiri sebenarnya menunjukkan diri sebagai seorang penerawang.

Ia berpijak di atas argumentasi yang adalah asumsinya dan berusaha memberi penilaian berdasarkan asumsinya tersebut.

Sabda Allah yang saya maksudkan adalah Sabda yang hidup yang menjelma menjadi manusia dalam peristiwa inkarnasi.

Ia adalah Yesus Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia.

Yesus Kristus adalah sumber spiritual dan pusat intelektual STFK Ledalero.

STFK Ledalero akan dapat bertahan hanya apabila sungguh-sungguh berusaha untuk menaati ajaran Yesus, mencontohi tindakanNya sebagaimana yang terungkap dalam Injil, dan berusaha untuk melanjutkan karya misi-Nya ke tengah dunia.

Perlu diingat bahwa STFK Ledalero adalah sekolah Katolik yang mendidik para calon pelayan pastoral.

Dalam pelaksanaan karya misi untuk mewartakan Injil di Asia, Konferensi Para Uskup Asia pada tahun 1974 menetapkan tiga model dialog yang harus dibuat oleh Gereja di Asia, yaitu dialog dengan agama-agama lain, dialog dengan kebudayaan lain, dan dialog dengan orang-orang miskin.

Marxis jelas sangat membantu untuk memahami akar persoalan kemiskinan di Asia.

Namun, bagaimana marxis menjawab tuntutan agar mahasiswa STFK Ledalero yang adalah calon pelayan pastoral mampu berdialog dengan agama dan kepercayaan lain serta berdialog dengan kebudayaan lain di Asia?

STFK Ledalero jelas membutuhkan ilmu yang multidisiplin.

STFK Ledalero mesti menggandeng semua ilmu agar para penghuninya semakin mendekati, menggapai, dan serentak mewartakan Sang Sabda ke tengah dunia, bukan hanya menggandeng dialektika marxis sebagaimana yang Emil maksudkan.

Saya juga tidak mengklaim bahwa perutusan itu terjadi hanya setelah masa studi di STFK Ledalero selesai.

Itu hanya asumsi Emil saja.

Setiap saat, orang dapat mewartakan Injil.

Bentuk pewartaan yang paling sederhana adalah dengan kesaksian hidup dan keterlibatan secara nyata dalam perjuangan untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan menjaga keutuhan alam ciptaan.

Ketiga, berkaitan dengan persekolahan Katolik.

Bagi saya, pernyataan Emil bahwa “Seminari Mataloko yang mendapat bantuan 500 juta rupiah dari pemerintah adalah hal yang patut disesalkan karena Seminari Mataloko didominasi oleh golongan kaya” merupakan pernyataan yang berlebihan dan tidak berdasar.

Pertanyaannya; apakah Emil mempunyai data tentang keadaan ekonomi semua siswa Seminari Mataloko?

Apakah Emil pernah membuat penelitian yang serius tentang ini?

Apa tolak ukur yang dia pakai untuk menentukan golongan kaya dan tidak?

Bagaimana metodologi penelitiannya?

Emil sangat jelas hanya membangun argumentasi di atas asumsi.

Menurut saya, argumentasi Emil ini tidak lebih dari argumentasi seorang yang tinggal dalam gua yang menilai bayang-bayang maya sebagai realitas konkret.

*Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA