Gerakan Pemuda Merumuskan Musuh Bersama

Salah satu hal yang menarik dari aksi demonstrasi mahasiswa filsafat STFK Ledalero di Maumere, Flores, NTT, dalam peringatan 91 tahun Sumpah Pemuda adalah mereka sepakat merumuskan musuh bersama gerakan pemuda.

Para pemuda progresif ini merumuskan musuh bersama dalam beberapa poin tuntutan berikut (EKORA NTT, 2019).

Pertama, melawan kapitalisme neoliberal dalam segala wajahnya yang memiskinkan, mengalienasi, menggerus ruang hidup rakyat kecil, menurunkan kualitas hidup masyarakat, menutup akses kepada pendidikan yang layak, kesehatan, dan kemakmuran bersama.

Kedua, melawan gerakan arus balik menuju Orde Baru yang tampak dalam politik oligarki yang menguntungkan segelintir elite baik di Jakarta maupun di tingkat lokal. Mahasiswa STFK Ledalero juga menolak kembali ke Orde Baru, menolak pembiaran kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, dan pemeliharaan terhadap penjahat HAM.

Ketiga, menolak korupsi dalam segala bentuknya dan pelemahan lembaga antikorupsi (KPK).

Keempat, menolak penindasan terhadap kelas pekerja dan ketimpangan penguasaan lahan serta menuntut kenaikan upah buruh toko dan buruh-buruh lainnya.

Kelima, menuntut penyelesaian kasus pembakaran hutan yang mengorbankan hajat hidup masyarakat miskin.

Ditempatkannya kapitalisme neoliberal sebagai poin pertama tuntutan menunjukkan, gerakan pemuda paham bahwa musuh utama mereka adalah tersentralisasi, terkonsentrasi, dan terakumulasinya kapital di tangan segelintir pemilik alat-alat produksi dengan tujuan meraup profit dalam ekonomi pasar sembari mengorbankan kelas pekerja melalui praktik privatisasi, deregulasi, pasar bebas, dan liberalisasi ekonomi.

Persoalan-persoalan lainnya seperti oligarki, korupsi, pelanggaran HAM, penindasan kelas pekerja, perampasan tanah, ketimpangan penguasaan lahan, dan pembakaran hutan merupakan turunan dari kapitalisme sebagai persoalan sekaligus musuh utama gerakan pemuda.

Kami berpendapat, diagnosis musuh bersama gerakan pemuda ini penting karena pertama sejarah menunjukkan, gerakan pemuda cenderung berhasil kalau mereka sudah merumuskan musuh bersama secara jelas.

Musuh bersama gerakan rakyat Indonesia pada masa perjuangan pergerakan kemerdekaan adalah feodalisme para raja pribumi dan kolonialisme penjajah.

Multatuli pertama kali membuka kotak pandora musuh bersama itu kepada publik internasional melalui novel “Max Havelaar.”

Seperti ditegaskan banyak kritikus sastra, “Max Havelaar” adalah karya sastra pertama yang membuka mata dunia tentang borok kolonialisme Belanda di Hindia Belanda.

Dipengaruhi Multatuli, Kartini menulis “Door Duisternis tot Licht” atau “Habis Gelap, Terbitlah Terang” untuk menentang feodalisme raja-raja Jawa juncto kebiadaban perilaku penjajah.

Seperti dikatakan Pram, di dalam surat-surat Kartini, mulai tersemai-lah benih-benih nasionalisme Indonesia, jauh hari sebelum, organisasi pribumi Boedi Oetomo berdiri pada 1908.

Selanjutnya, gerakan para pemuda progresif seperti Sukarno, Tan Malaka, Sharir, Hatta, dan lain-lain bertujuan melawan musuh bersama itu.

Tentu dalam perjuangan tersebut terdapat dialektika isi dan bentuk gerakan pemuda.

Sukarno, misalnya, lebih suka massa actie dan actie massa untuk membakar gelora perlawanan rakyat, sedangkan Hatta lebih menekankan pentingnya refleksi sebelum melakukan aksi di lapangan.

Di samping itu, sejarah gerakan mahasiswa 1998 pada tataran tertentu disebut sukses karena mereka punya musuh bersama, yaitu Suharto.

“Suharto Lengser Keprabon” kemudian acap dirayakan sebagai kesuksesan “mini” gerakan mahasiswa.

Disebut kesuksesan “mini” karena lengsernya Suharto ternyata tidak berhasil melengserkan juga oligarki sebagai produk langsung sistem otoritarianisme Orde Baru.

Studi Richard Robison dan Vedi R. Hadiz menunjukkan, para oligark ini mereorganisasi atau menyusun kembali kekuatan ekonomi politiknya dalam sistem demokrasi baru pada era Reformasi.

Akibatnya, korupsi, salah satu musuh bersama gerakan mahasiswa, pada era Reformasi dilakukan secara lebih canggih dan ganas dari pada sebelumnya.

Jika pada masa Orde Baru, korupsi ter-sentralisasi di istana seputar lingkaran kekuasaan Harto, maka pada masa Reformasi, korupsi ter-desentralisasi ke daerah-daerah di seputar lingkaran kekuasaan para “raja kecil” di sana.

Hal ini sekaligus menandai kelemahan gerakan mahasiswa 1998.

Gerakan mahasiswa cenderung mendeteksi musuh bersama secara personal dalam diri Suharto dan lupa memerangi sistem ekonomi kapitalisme neo-liberal yang dibangun Harto selama tiga dekade kepresidenannya.

Tidaklah mengherankan jika saat Harto telah tiada, gerakan mahasiswa menjadi gamang karena telah kehilangan musuh bersama.

Tak perlu juga menjadi heran kalau pentolan gerakan mahasiswa 1998 ramai-ramai masuk ke istana dan menjadi juru bicara kekuasaan.

Alasan kedua mengapa gerakan pemuda mesti merumuskan bersama karena musuh bersama membantu gerakan pemuda mengorganisasi massa actie dan actie massa dengan satu tujuan perjuangan yang jelas.  

Jika musuh bersama gerakan mahasiswa adalah kapitalisme, maka tujuan gerakan mahasiswa adalah meruntuhkannya dan menggantikannya dengan sistem ekonomi alternatif yang lebih berkeadilan sosial.

Gerakan pemuda berusaha menemukan sistem ekonomi alternatif di antara dua pilihan predatoris dominan: di satu sisi, kapitalisme menjanjikan pertumbuhan ekonomi, tetapi cenderung mempersetankan pemerataan ekonomi; di sisi lain, sosialisme menjanjikan pemerataan ekonomi, tetapi cenderung memperlambat pertumbuhan ekonomi. Dua-duanya cenderung melanggar HAM.

Di samping itu, musuh bersama juga membantu gerakan pemuda membangun politik alternatif.

Politik alternatif gerakan pemuda mesti benar-benar menjadi alternatif gerakan rakyat melawan populisme partai-partai politik dewasa ini.

Sudah saatnya para pemuda bersatu membangun gerakan ekonomi politik alternatif di tengah arus deras kapitalisme neo-liberal yang bercengkerama dengan politik patronase (politik uang) dan politik identitas di negeri ini.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA