Labuan Bajo Perlu Wisata Rohani?

Oleh Daniel Deha*

Labuan Bajo telah ditetapkan Presiden Joko Widodo sebagai destinasi wisata super premium pada Januari 2020 lalu. Dengan penetapan ini, maka salah satu Kawasan Wisata Strategis Nasional itu menjadi ikon baru dalam indutri pariwisata nasional, dari sebelumnya terpusat di Bali.

Itikad dasar untuk mengangkat nama besar Labuan Bajo patut diapresiasi, mengingat Bali telah begitu mempengaruhi perspektif dunia tentang pariwisata Indonesia. Dengan ini, maka setidaknya terjadi pergeseran perspektif wisatawan mancanegara, dan juga wisatawan lokal dalam memandang pertumbuhan industri pariwisata di Indonesia. Labuan Bajo kini sudah menjadi ikon wisata nasional.

Secara politik ekonomi, penetapan ini memperlihatkan komitmen pemerintah untuk membangun secara serius industri pariwisata dan keberlanjutannya dalam mendukung penemuan kantong-kantong devisa negara baru.

Dilaporkan, industri pariwisata kini sudah merangsek ke posisi 4 sebagai sumber devisa terbesar. Tahun lalu, data World Travel and Tourism Council menyebut, pariwisata Indonesia menjadi yang tercepat menempati peringkat ke-9 di dunia, urutan ketiga di Asia dan tangga teratas di Asia Tenggara. Tahun 2018, sumbangan devisa dari sektor pariwisata sebesar US$17 miliar, naik dari US$15 miliar pada 2017. Tiap tahun kontribusi pariwisata terus meningkat.

iklan

Tulisan ini berikhtiar menyoroti ihwal Labuan Bajo sebagai “ikon wisata nasional”. Label ini sudah cukup menggetarkan karena gaungnya terpantul ke seluruh penjuru tanah air bahkan dunia.

Saya menyebutnya sebagai “ikon” karena Labuan Bajo telah menjadi prioritas pemerintah di masa depan. Selain itu, yang menjadi ikonik dari Labuan Bajo antara lain keindahan bahari, alam dan budaya, di samping reptil purba Biawak Komodo. Beberapa spot menakjubkan dengan garis pantai dan panorama alam indah cukup membuat Labuan Bajo menyembul sebagai satu ikon wisata Indonesia yang komplit.

Perlu Wisata Rohani?

Beberapa waktu lalu, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nono Sampono mengusulkan agar pemeritah pusat maupun Pemda Manggarai Barat menambahkan paket wisata rohani, yaitu dengan membangun patung Yesus di Labuan Bajo. Jika Bali memiliki simbol-simbol Budha, maka Labuan Bajo dengan mayoritas umat Katolik perlu membangun simbol Kristiani.

Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dulla pun menyetujui meski terkendala dengan anggaran yang terbatas. Karena itu, Pemda Mabar akan membuka diri bagi investor yang ingin membangun destinasi wisata rohani tersebut. Direncanakan, patung Yesus dibangun di puncak Gua Maria Golokoe, Labuan Bajo.

Bagi saya, pembangunan wisata rohani di Labuan Bajo sah-sah saja. Hal itu untuk menyedot daya tarik wisatawan yang beragama Katolik atau Kristen. Tapi yang perlu juga diperhatikan adalah apakah ada data yang mengatakan mayoritas wisatawan, baik asing maupun lokal yang berkunjung ke Labuan Bajo selama ini beragama Kristen, atau justru hanya sebagian kecil. Jika ya, maka patung Yesus tersebut hanya menjadi ‘monumen’ dan tidak memiliki daya tarik bagi wisatawan yang non-Kristen. Lantas, itu cukup efektif?

Bali memiliki patung Buddha, tapi tidak dijadikan sebagai monumen yang menjulang. Patung-patung Buddha di Pulau Dewata biasanya tersebar di beberapa spot, ada berukuran kecil dan sedang. Hanya ada dua-tiga kuil Buddha. Tapi itupun tidak menarik wisatawan, tapi hanya dikhususkan bagi mereka yang mau bersemedi. Lebih dari itu, patung Buddha dalam masyarakat Bali bukan sekedar simbol agama, tapi lebih merupakan ekspresi spiritualitas hidup yang sudah mengakar dalam kultur masyarakat. Ini tentu berbeda dengan tradisi kekristenan di Flores yang lebih banyak mencurahkan praktik hidup rohaninya pada Bunda Maria.

Sejauh ini, wisata rohani di Flores pada umumnya masih lesu. Dapat dihitung dengan jari banyaknya wisatawan atau orang-orang Katolik yang berwisata ke patung Bunda Segala Bangsa di Maumere, atau ke beberapa patung Yesus di Paga, dan beberapa lainnya.

Yang patut mendapat contoh adalah ritus Semana Santa di Larantuka, Flores Timur, yang selain merupakan tradisi Kristiani, tapi sudah berakar dengan kebudayaan masyarakat lokal. Itulah yang kita harapkan. Praktik kesalehan seperti ini bukan lagi sebuah ikon kota, tapi merupakan produk budaya. Karenanya ia dengan cepat terintegrasi dengan produk atau industri pariwisata. Orang-orang yang datang ke Semana Santa bukan lagi eksklusif orang Katolik, tapi dari segala agama.

Bilamana di Labuan Bajo dibangun patung Yesus di bukit Golokoe, maka hampir pasti akan tertinggal atau tidak dilirik, baik oleh masyarakat maupun wisatawan. Selain ia sengaja dihadirkan untuk mempertebal paket kota wisata, patung Yesus belum menjadi produk budaya bagi masyarakat Labuan Bajo, seperti halnya dengan patung BSB di Maumere yang kini menjulang dari bukit Nilo. Dalam konteks seperti ini, kita dapat meraba atau memproyeksi, bahwa kehadiran patung Yesus tidak sama sekali menambah wisatawan, selain ia hanya menjadi simbol kota. Premis dasarnya adalah tidak semua ikon kota terintegrasi dengan produk budaya ataupun spiritualitas masyarakatnya.

Hemat saya, yang perlu juga dibangun adalah patung yang merupakan ikon wisata Labuan Bajo itu sendiri, yaitu patung Komodo. Pada 2018, sebuah patung yang diklaim mendunia dibangun di kota Labuan Bajo, yaitu patung Komodo. Patung itu merupakan bentuk dukungan BRI. Didirikan sejak 2017 dengan anggaran sebesar Rp342 juta. Melihat desain struktur patung tersebut, tidak dapat dikatakan sebagai patung yang mendunia, dan terlalu berlebihan. Karena patung terlampau kecil untuk menjadikannya sebagai ikon kota (wisata), serentak sebagai ikon wisata nasional.

Pemerintah Manggarai Barat tentu memiliki komitmen untuk menarik wisatawan dan meraup keuntungan dari kunjungan wisatawan secara langsung. Karena itu, yang perlu dibangun adalah patung Komodo, seperti halnya Monas di Jakarta, yang dapat merepresentasikan identitas kota. Dengan desain yang ikonik, tentu itu akan menarik lebih banyak wisatawan untuk berkunjung. Dari situlah Pemda dapat menarik pendapatan langsung dari retribusi, misalnya. Patung itu tidak lagi sekedar sebuah tugu biasa, seperti tugu-tugu lain di Flores, tapi bergeser menjadi museum yang menyimpan sejarah, artefak dan pelbagai kekayaan lokal lainnya.

Ekosistem Lokal

Labuan Bajo saat ini sudah menjelma menjadi satu pusat bisnis baru. Para pemodal besar beramai-ramai menanamkan modalnya di daerah ini. Baik berupa layanan perhotelan maupun investasi lahan. Bidang-bidang tanah di sepanjang pantai barat pulau Flores itu sudah dikapling dengan nama masing-masing pemodal besar. Ferdi Hasiman menyebutnya sebagai kapitalis atau oligark.

Kita dapat melihatnya sendiri, hotel-hotel mewah berjejer mulai dari Hotel Luwansa, Hotel La Prima, Hotel Ayana, Sylvia, Plataran Komodo, aneka Homestay, pelbagai merek Restorant dan Cafe, dan tentu masih banyak hotel berbintang lainnya. Hal ini tidak dapat dipungkiri. Karena industri pariwisata terintegrasi secara mutual dengan layanan fasilitas seperti itu. Itu sebuah keniscayaan.

Namun agar industri pariwisata ini tidak bergelimpangan hanya di kantong kapitalis, maka Pemda, LSM, dan masyarakat setempat, tidak hanya di Labuan Bajo, tapi juga di seluruh daratan Flores perlu membuka mata untuk menatap peluang emas ini. Ini sebuah ‘hadiah’ yang diberikan cuma-cuma oleh pemerintah pusat bagi masyarakat Flores, NTT. Masa hadiah tersebut kita berikan kepada orang lain? Tidak mungkin. Dan yang pasti hal itu mesti dilawan bersama.

Dengan adanya otonomi daerah, Pemda, dalam hal ini Bupati, memiliki kewenangan untuk mengatur tata kelola pendapatan daerah. Salah satu yang diusulkan adalah pengintegrasian industri pariwisata dengan produk kebudayaan lokal.

Labuan Bajo, atau Mabar secara umum, memiliki Wae Rebo, kampung adat tua Todo, atraksi Caci, Sawah Laba-Laba Cancar, dan ragam produk budaya lainnya. Sudah saatnya Pemda Mabar membangun jejaring untuk menarik wisatawan agar terkoneksi dengan produk budaya yang ada.

Buatlah semacam festival budaya yang berpusat di Waerebo, di Kampung Todo, atau di Kota Labuan Bajo. Festival tersebut dibuat secara periodik dan tetap dengan menampilkan tidak hanya produk budaya Manggarai, tapi seluruh NTT, mulai dari tari, musik, teater rakyat, pantun, dan jenis kesenian rakyat lainnya. Dengan strategi member-to-member, jumlah wisatawan di Labuan Bajo praktis meningkat.

Selain terkoneksi dengan produk budaya lokal, Pemda juga perlu menyediakan produk-produk kreatif berbasis kearifan lokal. Salah satunya dengan memfasilitasi atau menyediakan pusat perbelanjaan, kuliner lokal, dan kerajinan tangan khas bagi wisatawan yang berkunjung ke Labuan Bajo.

Tidak hanya di Labuan Bajo, tapi daerah lain di Flores pada umumnya sudah saatnya bahu-membahu membangun jaringan yang terkoneksi langsung dengan pariwisata di Labuan Bajo. Di daerah lain seperti Ngada, Nagekeo, Ende, Maumere dan Larantuka, perlu juga menyediakan sentra-sentra industri kreatif yang dapat didistribusikan ke Labuan Bajo, atau dengan mengundang wisatawan ke tempat di mana produk-produk itu disediakan. Setiap kekhasan masing-masing diberdayakan agar tersambung dengan kebutuhan pokok di pusat wisata, Labuan Bajo.

Dengan cara ini, masyarakat tidak akan menjadi penonton dan hanya pandai berteriak atau mengecam kehadiran pemodal di Labuan Bajo. Sudah saatnya kita menjadi garda terdepan yang melayani kebutuhan industri pariwisata.

Tidak seperti Tour de Flores yang menyambungkan seluruh daerah di Flores, meski hasilnya belum nampak, kerja jejaring inilah yang paling menjanjikan di masa depan. Salah satu yang sudah terbukti adalah Banyuwangi di Jawa Timur.

Lebih dari itu, ekosistem pariwisata yang terbangun nantinya diharapkan terintegrasi dengan pemberdayaan ekonomi, kesempatan berkarir, peluang kerja, penemuan wisata baru, pelestarian budaya, jaringan kerja dan politik pembangunan di daerah.

Dengan demikian, tidak ada lagi sembulan asumsi yang melihat pariwisata super premium menjadi “lonceng kematian ekonomi lokal”. Malah, penetapan ini menjadi pijakan kreatif yang patut dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama.

*Penulis adalah esais seni budaya.

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA