Oleh: Bill Halan
Arus mudik kali ini menimbulkan gejolak sosial, menyusul sikap pemerintah pusat yang tidak mengeluarkan peraturan larangan bagi pemudik –sekadar mengimbau masyarakat agar tidak mudik.
Himbauan ini sejak awal dimaknai secara berbeda di internal istana: Fadjroel Rahman-JubirPresiden dan Praktikno-Mensesneg. Pihak pertama menyebut presiden membolehkan terjadinya mudik, pihak kedua membantah dan menegaskan bahwa presiden melarang keras terjadinya mudik.
Dua pernyataan ini berbeda esensinya, tetapi bisa dipahami mengapa terjadi perbedaan penafsiran, sebab himbauan pemerintah diikuti dengan himbauan bagi pemudik untuk melakukan karantina selama 14 hari.
Himbauan pemerintah pusat tentu beralasan; mereka paham bahwa motivasi masyarakat untuk melakukan mudik selama pandemik Covid-19, berbeda dengan motivasi pemudik biasanya.
Tahun ini masyarakat melakukan mudik karena mereka panik akibat terganggunya perekonomian di kota. Alih-alih mengalami kesulitan di kota, lebih baik kembali ke kampung halaman; susah senang di kampung sendiri.
Dalam perspektif sosiologis, tindakan pemudik disebut Coleman dengan istilah rational choice-pilihan rasional. Dalam melakukan pilihan rasional, tindakan seseorang memiliki tujuan dan tujuan tersebut memiliki preferensi nilai (baca Rtzer dan Goodman, 2004).
Memaksa kelompok pemudik dengan peraturan mengikat justru akan menimbulkan benturan sosial karena perbedaan preferensi nilai. Di sisi lain, kultur Pemerintahan Presiden Jokowi juga cenderung mengedepankan keharmonisan dan keseimbangan sehingga benturan sosial-semaksimal mungkin diredam.
Niat baik dari pemerintah pusat mengantisipasi terjadinya benturan sosial, menimbulkan kepanikan pada level pemda. Reaksi pemda terhadap pemudik, seragam: Ridwan Kamil saat berkomunikasi dengan Wakil Presiden, Ma’ruf Amin, meminta agar ulama mengeluarkan fatwa haram mudik bagi umat Muslim; Ridwan paham, keehadiran pemudik dari zona merah berpotensi meningkatkan jumlah penderita Covid-19.
Gubernur DKI Anies Baswedan menghimbau warganya untuk tidak mudik dan ia berkoordinasi dengan Gugus Tugas Covid-19 DKI Jakarta untuk mengambil langkah hukum bagi warga DKI yang pulang kampung. Di Surabaya, beberapa titik dijaga ketat dengan mengecek plat nomor kendaraan bermotor- plat nomor kendaraan yang diizinkan masuk hanya yang berplat nomor L.
Meskipun sudah dihimbau untuk tidak pulang, warga tetap mudik. Pemda kelabakan: di satu sisi warga local mendesak Pemda menutup akses masuknya pemudik ke kabupatennya, di sisi lain, Pemda mesti patuh pada instruksi Jakarta untuk tidak menutup akses tersebut, dengan catatan pemda sendiri harus menyiapkan tempat karantina.
Memilih tempat karantina tidak mudah-khususnya jika Pemda tidak memiliki fasilitas umum untuk karantina.
Di Kabupaten Ende, pemerintah menentukan lapangan sepak bola Marilonga sebagai tempat karantina selama 14 hari. Penentuan tempat itu, cukup mengejutkan karena fasilitas yang disiapkan seadanya dan pemerintah belum siap melakukan karantina, alhasil, pada 4 April lalu, penumpang KM Niki Sejahtera dari Surabaya yang tiba di Ende, tidak diterapkan karantina terpusat.
Di Timor Tengah Utara-sempat berdar video: masyarakat melakukan aksi penolakan terhadap rencana bupati menempatkan ODP di daerah BTN: masyarakat khawatir jika kehadiran ODP ini justru menyebabkan mereka mengidap corona.
Di Maumere, Pemda Sikka harus menahan penumpang KM Lambelu untuk tidak segera tinggalkan kapal sebelum melakukan rapid test. Pemda-pemda mendapat kerja ekstra, sekaligus kepemimpinan mereka diuji dalam konflik kepentingan: pemerintah pusat, pemudik dan masyarakat lokal.
Kekhawatiran warga yang menolak pemudik beralasan. Pendiri Lingkaran Survey Indonesia, Deni J.A, menghitung-hitung, jika angka pemudik tahun 2020: 14,9 juta jiwa dengan hitungan rata-rata per orang berinteraksi dengan 3 orang maka pemudik akan berinteraksi dengan sekitar 45 juta jiwa penduduk Indonesia.
Jika satu persen saja dari jumlah populasi pasca-mudik terpapar Covid-19, artinya akan ada 450 ibu jiwa penduduk Indonesia menjadi korban Covid-19. Dalam jumlah seperti itu, dengan terbatasnya fasilitas kesehatan dan tenaga medis, mudik sungguh-sungguh menjadi sumber masalah.
Bergesernya cara pandang terhadap pemudik
Masyarakat lokal memaknai kehadiran pemudik sebagai ancaman. Pandangan ini mengingatkan kita pada konsep sesama dalam drama yang ditulis Jean Paul Sartre-Huis Clos. Dalam drama tersebut-Sartre menggeser konsep neraka: baginya neraka tidak hadir dalam bentuk lecutan cambuk atau luka; neraka hadir dalam bentuk kehadiran orang lain.
Dalam konteks pandemik Covid-19, reaksi masyarakat lokal kepada pemudik-tak bedanya dengan konsep “neraka” dalam Huis Clos sebab masyarakat lokal menganggap pemudik memiliki potensi mengidap Covid-19 dan kehadiran mereka bisa menyebabkan kematian bagi masyarakat lokal.
Menyelesaikan akar Masalah
Akar persoalan dari: larangan mudik; sikap protes masyarakat; kegelisahan pihak Pemda; dan gejolak sosial di masyarakat adalah “kecurigaan” bahwa in potensia seorang pemudik terinfeksi Covid-19. Kecurigaan ini dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan status kesehatan pemudik.
Untuk itu, pemerintah harus segera melakukan 4 hal: pertama, melakukan tes kesehatan bagi pemudik sebelum mereka kembali ke daerahnya. Jika ada indikasi ke arah Covid-19, sebaiknya pemudik ditahan dan dilarang mudik. Pilihan pertama ini lebih mudah dilakukan mengingat daerah asal pemudik umumnya kota-kota besar yang memiliki fasilitas kesehatan yang memadai. Mereka yang sehat layak melakukan mudik.
Kedua, melakukan sterilisasi fasilitas transportasi yang digunakan pemudik juga tes kesehatan untuk petugas transportasi. Hal ini penting dilakukan agar terjamin kesehatan penumpang selama perjalanan.
Ketiga, distribusi fasilitas kesehatan ke daerah-daerah. Pemerintah pusat harus segera mendistribusikan fasilitas kesehatan ke daerah-daerah sebab ketiadaan status pengidap Covid-19 di suatu daerah bukan terutama karena tidak adanya pasien terinfeksi corona, tetapi karena mereka tidak memiliki alat pendeteksi.
Keempat, pentingnya komunikasi dan penggunaan media komunikasi yang efektif untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat mendapat informasi yang jelas dan valid tentang status pemudik. Menyelesaikan akar dari kecurigaan merupakan langkah penting untuk menjaga sehatnya integrasi bangsa di tengah pandemik Covid-19.
*Flobamora Research Institute