Oleh: Bernardus T. Beding*
Sebuah pepatah tua berbunyi, “manusia adalah makhluk pekerja”. Adagium tersebut menyiratkan kenyataan bahwa manusia, siapa pun dia, sejak semula ditentukan untuk menghidupi dirinya melalui kerja.
Dengan demikian, sesungguhnya identitas manusia sebagai makhluk pekerja berintensi pada perwujudan diri sebagai makhluk yang bermartabat. Dengan kata lain, melalui kerja manusia mewujudkan jati dirinya.
Dalam alur pemikiran yang demikian, realitas kehidupan kita sering berbicara sebaliknya. Tidak sedikit orang memandang bahwa tidak selamanya kerja menunjukkan kesejatian martabat manusia.
Kerap kali pengalaman segelintir orang berbicara bahwa kerja hanyalah sebuah instrumen yang memanipulasi tenaga manusia demi keuntungan pribadi dan kelompok tertentu. Setidak-tidaknya, inilah kenyataan yang banyak kali menjadi pengalaman pahit banyak kaum buruh di negeri mana pun.
Sorotan terhadap kaum buruh dan dunia perburuhan zaman kini menjadi kian hangat. Hal ini justru menjadi persoalan karena orang memosisikan kaum buruh secara tidak profesional.
Dalam banyak kasus, posisi kaum buruh selalu ada pada tepian dan marginal. Mereka adalah orang-orang yang terlupakan, yang sejarah peradabannya sengaja dihilangkan. Peradabannya sebagai manusia bermartabat dimanipulasi sebagai kaum yang ditindas oleh sesamanya.
Mungkin orang terlanjur membaptis kaum buruh sebagai golongan kelas dua sehingga perjuangannya menuntut keadilan hak dan kewajiban dipandang sebagai sesuatu yang melawan kodrat. Karena itu, tidak mengherankan apabila tindakan sewenang-wenang terhadap kaum buruh dipandang sebagai sesuatu yang lumrah dan tak patut dipersoalkan.
Padahal, hal tersebut justru menjadi satu persoalan urgen yang belum tuntas terjawab. Hal ini dapat terjadi ketika majikan memperlakukan kaum buruh semata-mata sebagai objek pemenuhan ambisi ekonomi mereka. Perlakuan tidak adil ini terjadi ketika kerja terlalu ditekankan pada kemajuan-kemajuan fisik dan ekonomi sambil mengingkari hakikat kerja itu sendiri, yakni memanusiakan manusia.
Pada titik ini, kita patut bermenung sejenak, sungguhkah kaum buruh “ditakdirkan” sebagai pengabdi mutlak pada kaum berpunya. Benarkah martabat kemanusiaan seseorang ditentukan oleh kedudukan sosial, prestasi, dan keadaan ekonomi?
Kesalahan memandang dunia kaum buruh, yakni dengan mengecilkan arti non-fisik kemanusiaan kaum buruh secara menyeluruh, hanya akan menelantarkan mereka, kaum yang tidak berpunya di satu pihak, dan menguntungkan lapisan orang-orang yang berada di lain pihak.
Demi kehidupan yang bermartabat, kaum buruh berani “memperdagangkan” tenaga kerjanya kepada majikannya. Arti sesungguhnya, di antara kaum buruh dan majikan terbangun sebuah hubungan saling membutuhkan. Satu membutuhkan yang lain. Satu tidak pernah ada dan tidak dapat berkembang tanpa yang lain.
Dengan demikian, hubungan ini tidak sebatas hubungan fungsional-struktural, tetapi lebih bersifat personal. Artinya, hubungan ini tidak semata-mata berkutat dengan soal untung rugi secara ekonomis, tetapi seberapa jauh lewat hubungan itu kedua-duanya sama-sama saling mendukung mewujudkan diri.
Atau, katakan saja hubungan seperti ini merupakan sebuah simbiosis mutualisme, yakni sama-sama berhasrat untuk mengekspresikan dirinya. Ini tidak berarti soal ekonomi tidak diperhitungkan. Akan tetapi, tujuan ekonomis tidak boleh merendahkan hal-hal yang lebih prinsipil dalam kaitan dengan kemanusiaan seseorang.
Apabila ini yang menjadi dasar pijakan hubungan majikan dengan kaum buruh, maka spirit penghormatan, penghargaan, keadilan, kebenaran, dan kejujuran sungguh-sungguh dibatinkan dalam seluruh hubungan kehidupan majikan bersama kaum buruh.
Kembali pada fakta hidup harian kita. Banyak majikan dalam perusahan, komunitas, lembaga, atau pun rumah tangga apa saja memperlakukan kaum buruh, karyawan-karyawatinya secara tidak adil. Mereka lebih suka berhitung soal untung-rugi, yang berakibat pada pembayaran gaji yang serendah mungkin.
Selain itu, banyak buruh karyawan-karyawati tidak tahu dan sengaja tidak diberi informasi tentang jam kerja yang sesungguhnya dengan gaji yang sesuai dengan standar kehidupan yang layak. Terkadang, mereka dipaksa secara langsung maupun tidak langsung untuk bekerja melampaui jam yang seharusnya, tanpa diberi uang lembur. Tambahan lagi, banyak karyawan-karyawati bekerja tanpa perlindungan dan asuransi kesehatan, ketidakjelasan dana jaminan hari tua, dan sebagainya.
Berhadapan dengan kenyataan tersebut, kita perlu memiliki pemahaman bahwa masalah kaum buruh merupakan masalah keadilan, sebagai masalah hak dan kewajiban. Ini bukan sekadar masalah kemanusiaan.
Mereka, kaum buruh yang dieksploitasi dan ditindas tidak hanya menderita. Pertama-tama, mereka diperlakukan secara tidak adil. Dalam keadaan yang demikian, mereka berhak dibebaskan dan membebaskan diri dari eksploitasi dan penindasan itu.
Perjuangan kita bersama kaum buruh sebagai subjek perjuangan untuk mewujudkan harapannya, untuk mengembalikan hak-haknya, pertama-tama harus dimulai pada diri kita sendiri, dalam lingkungan tanggung jawab kita masing-masing. Sebab, berteriak lantang tentang masalah penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan orang lain, tetapi memperlakukan karyawan-karyawati sendiri secara tidak adil adalah munafik.
Kita perlu selalu sadar diri, entahkah para pekerja kita di dalam komunitas, lembaga-lembaga pendidikan, pelayanan masyarakat, rumah tangga, dan perusahan sudah diperlakukan secara manusiawi? Apakah mereka memiliki upah yang wajar dan seimbang dengan jam kerja, jam-jam lembur mereka dibayar? Apakah kita bersama-sama menentukan syarat kerja, asuransi kesehatan, dan jaminan hari tua?
Untuk mewujudkan keadilan bagi kaum buruh kita, kita membutuhkan dukungan penuh dari pihak pemerintah. Untuk itu, pemerintah mesti menentukan upah minimum reguler secara lebih wajar, jam kerja, jaminan kesehatan, dan jaminan hari tua.
Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan kontrol yang ketat terhadap pelaksanaan undang-undang perburuhan, dan tanpa segan memberi sanksi keras terhadap pihak yang melawan undang-undang tersebut.
Kita menyadari bahwa kita tengah bergelut dengan sebuah tantangan besar, tantangan yang berasal dari dunia perburuhan, sebuah dunia yang oleh banyak orang dipandang sebagai dunia yang penuh kenistaan, ketidakadilan, penindasan, dan menghinaan terhadap martabat manusia. Tantangan seperti ini menuntut perjuangan mewujudkan hubungan kerja yang sesuai dengan martabat manusia kaum buruh.
Berhadapan dengan hal ini, kita patut mengutuki setiap tindakan tidak adil terhadap kaum buruh kita, yang menganggap kaum buruh sebagai komponen kelas dua, objek untuk mencapai tujuan ekonomis. Dengan demikian, kita perlu menegaskan dan memperjuangkan hak-hak kaum buruh demi kehidupannya yang lebih wajar.
* Pegiat Literasi dan Pendidik di Prodi PBSI Unika Santu Paulus Ruteng