Masyarakat Tanpa Sekolah (Catatan Hardiknas 2 Mei 2020)

Oleh: Even Edomeko*

“Bangunan perpustakaan kami hanya berdinding bambu yang banyak lubangnya, Pak”.

“Kalau kami, kekurangan ruangan kelas, Pak. Ruang kelas 1 dan 2 tiangnya lapuk”.

Demikian contoh soal yang disampaikan ibu-bapak Kepala Sekolah Dasar se-Kecamatan Waigete dalam beberapa pertemuan dengan para beliau. Itu soal yang ditemui kala mereka berusaha memenuhi berbagai tuntutan akreditasi sekolah.

Saya coba bercanda. Saya bilang, ibu-bapak guru yang terbaik, saya ini suka membaca, dan tempat favorit saya itu di bawah pohon, di tepi sawah, sambil mendengar kicau burung dan kecipak air mengalir.

iklan

Saya juga cerita tentang sekolah-sekolah hebat yang malas repot dengan bangunan fisik, misalnya Seminari Lela, kami dulu yang robong-roak tanpa dinding selain kawat dan tripleks. Kalau hujan deras, guru dan siswa hanya baku lihat sambil ketawa.

Atau sekolah Romo Mangunwijaya (almarhum) di Yogyakarta yang fisiknya sangat sederhana tapi jadi sekolah yang diburu-buru karena lulusannya hebat-hebat. Setiap kelas terpisah dari kelas lain, ada di tengah rumah warga dan murid-muridnya sangat peduli dengan warga sekitar. Mereka dididik untuk memberi solusi bagi masyarakatnya sejak usia sekolah dasar.

Atau Green School di Bali yang baru saja dua siswinya jadi viral gara-gara diundang berpidato di sidang PBB tentang upaya mereka membersihkan Pulau Bali dari sampah plastik. Mereka berhasil mendorong Gubernur Bali melahirkan Peraturan Daerah tentang Penataan Sampah di Provinsi yang terkenal dengan pariwisatanya tersebut.

Saya juga bercerita bahwa dalam Injil: Tuhan Yesus dipanggil guru, rasul-rasul disebut murid, tapi mereka tidak punya gedung sekolah.

Tapi Ibu-bapak guru tampak kurang puas. Saya takut juga. Agar selamat, terakhir saya bilang: “Baik, saya akan teruskan keluhan bapak-mama guru tadi kepada bapak bupati dan bapak wakil buputi”.

***

Sekarang, gara-gara pandemi corona, kita sekolah di rumah. Kita sedang tidak membutuhkan gedung permanen, perpustakaan keren, kantin yang elok dan tempat parkir yang layak.

Jauh sebelum musim corona, Mendikbud Nadiem Makarim bilang, tantangan masa depan itu kompleks. Maka anak-anak didik perlu punya segudang kompetensi. Kompetensi itu yakni: kreativitas, kolaborasi, kemampuan bekerja sama, kemampuan memproses informasi secara kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan berempati.

Sekarang, corona membuat Pemerintah Kabupaten Sikka jadi kreatif: ada pelajaran lewat Radio Suara Sikka FM.

Di Waigete, Kepala SMP PGRI Egon Irene Litong membentuk study club (kelompok studi) berdasarkan blok tempat tinggal. Siswa yang tinggal berdekatan belajar di bawah pohon, sambil duduk di atas tunggul kayu, menyimak tutur sang guru lewat gelombang radio 104,9 Mhz.

Saya kira, dari situ, sadar atau tanpa disadari, kreativitas mereka tumbuh, kemampuan bekerja sama berkembang, kemampuan mencari solusi dicapai, dan kemampuan empati menggelembung-kembang,  siapa bilang tidak?

Kondisi ini nyaris mirip dengan apa yang disuarakan oleh Ivan Illich dalam bukunya ‘Deschooling Society’ (diterbitkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul: Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah).

Ivan menulis kecurigaannya di buku itu: jangan-jangan kurikulum yang diciptakan justru pesanan dari para kapitalis, agar mencetak para pekerja sesuai dengan permintaan pasar.

Dia mengusulkan, ada suasana di mana anak-anak bebas belajar, tanpa wajib menghafal rumus-rumus yang bikin sinting, karena di dunia kerja nanti, para bendahara toh menghitung uang pakai kalkulator atau Microsoft Exel.
Fakta soal di dunia kerja sering tak pernah diajarkan di bangku sekolah. Banyak hafalan dulu jadi tak berguna untuk hidup.

Maka, idealnya, kata Ivan, anak-anak harus belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka. Karena Tuhan memberi masing-masing anak talenta unik. Yang jago matematika belum tentu jago bikin puisi. Yang jago bola kaki mungkin tak berbakat Bahasa Inggris.

Filsafat Pendidikan Ivan Illich selama ini hanya jadi kajian di sekolah filsafat. Tapi kini, Covid-19 membuatnya jadi nyata.

Selamat belajar, anak-anakku. Selamat merayakan hari pendidikan tanpa tembok kelas.

*Pemerhati masalah sosial & Camat Waigete, Kabupaten Sikka

 

TERKINI
BACA JUGA