Oleh Peter Tan*
Di tengah situasi pandemi covid-19, sejumlah ibu di Desa Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) (5/11/2020) berani bertelanjang dada di depan Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat. Sambil membuka baju, mereka berteriak “ini tanah kami”. Sejumlah warga membawa spanduk bertuliskan “Tolak Penggusuran”. Kini, ibu-ibu ini diancam dengan hukum pidana oleh Pemerintah Provinsi NTT karena dianggap melakukan pornoaksi.
Aksi “nekat” para perempuan dalam upaya menuntut keadilan seperti ini bukan pertama kali terjadi di NTT. Enam tahun lalu (25/8/2014) hal yang sama terjadi di Desa Legur Lai, Manggarai Timur, Flores-NTT, sebagai bentuk penolakan terhadap aktivitas pertambangan. Dengan hanya mengenakan bra dan celana pendek, sejumlah perempuan menghadang rombongan pemerintah yang datang ke lokasi pertambangan.
Fenomena seperti ini menyembunyikan “pesan terselubung” karena semuanya hampir-hampir merupakan dimensi simbolik dari apa yang sesungguhnya sedang terjadi. Kita menemukan sebuah kontras yang sungguh-sungguh absolut di sini: pada tubuh perempuan kita menyaksikan segala bentuk ketidakadilan di dunia, tapi kini melalui tubuh yang sama, ketidakadilan dilawan dengan cara yang sungguh-sungguh militan. Dengan cara itu, perempuan merobek batas-batas tegas antara ruang publik (politik) dan ruang privat (tubuhnya), dan menghadapkannya secara langsung dengan kekuasaan. Apa yang paling intim kini dipertaruhkan sebagai jalan menempuh keadilan.
Dimensi simbolik inilah yang tidak bisa ditangkap oleh “otak” mesin birokrasi Pemerintah Provinsi NTT sehingga menghasilkan anggapan yang kacau bahwa aksi para ibu itu adalah sejenis pornoaksi. Padahal akal sehat dengan jernih bisa melihat, aksi itu adalah jalan paling militan masyarakat bawah memperjuangkan keadilan dan hak mereka, dan bukan tindakan irasional untuk merangsang nasfu birahi laki-laki. Tujuannya jelas-jelas bernilai “politik” dan rasional, yaitu menolak akrobat syahwat kekuasaan, dan bukan merangsang syahwat laki-laki. Politisasi ruang intim pribadi demi sesuatu yang sungguh-sungguh bernilai politik itu mengingatkan saya pada drama Lysistrata.
Lysistrata dan Politisasi Seks
Lysistrata adalah sebuah drama yang disusun Aristhopanes pada abad ke-5 SM dan masih merupakan sumber penting yang kita miliki saat ini mengenai peran perempuan Yunani klasik. Komedi ini berhasil menggabungkan lelucon dan kebenaran tentang bagaimana tubuh perempuan dan seksualitasnya, ruang pribadinya yang paling intim dan rahasia, bisa menunjukkan bahwa perempuan tidak serendah yang dibayangkan pikiran misoginis laki-laki.
Drama ini mengisahkan tentang perang Pelopponesia yang hebat antara Sparta dan Athena. Perang yang berlangsung selama lebih dari dua puluh tahun ini tidak bisa diselesaikan oleh laki-laki dan jenderal manapun. Athena dikenal sebagai kota para filsuf, pemikir dan seniman, dan Sparta dikenal karena kekuatan militernya, tapi tak satupun dari antara “orang-orang hebat” ini yang bisa memecahkan masalah politik ini. Dalam situasi yang menyerupai krisis kepemimpinan itu, perempuan-perempuan Sparta dan Athena memegang kendali meskipun mereka biasanya tidak memiliki kekuasaan atas pria.
Drama ini dimulai dengan dialog Lysistrata dan Calonice. Calonice berbicara tentang bagaimana perempuan didasarkan dari penampilan luar mereka. Ia menilai perempuan berdasarkan ukuran payudara mereka, jumlah rambut kemaluan yang dimiliki, dan seberapa bagus penampilan pantat mereka. Menurutnya, penampilan yaitu terlihat cantik agar menggairahkan suami adalah satu-satunya bakat perempuan.
Namun, Lysistrata melampaui pandangan Calonice dengan menunjukkan bahwa bakat yang dianggap rendah itu bukan kelemahan, melainkan justru kekuatan perempuan serentak titik lemah laki-laki. Kelemahan laki-laki ialah nafsu birahinya dan penampilan perempuan. Lysistrata menunjukkan, inilah jalan bagi perempuan menguasai para pria perkasa Athena dan Sparta: mengatakan “tidak” jika mereka meminta berhubungan seks. Maka tidak ada yang bisa dilakukan pria untuk mengubah pikirannya. Meskipun selama berabad-abad perempuan adalah the silent majority, kaum yang tidak bisa bersuara dengan pikiran mereka secara bebas, Lysistrata menunjukkan bahwa ruang-ruang paling intim dari tubuh perempuan mampu menundukkan laki-laki lebih daripada apa yang bisa dibuat oleh kata-kata dan pikiran.
Pandangan Lysistrata itu menghasilkan keputusan ekstrem: agar perang berhenti dan perdamaian Athena dan Sparta kembali bersemi, satu-satunya cara ialah perempuan-perempuan Athena dan Sparta melakukan pemogokan seks habis-habisan. Mereka berhenti melayani nafsu birahi suami mereka sampai perang benar-benar berhenti. Dengan menghindari seks, perempuan-perempuan itu berhasil menghentikan kekerasan dalam bentuknya yang real yaitu perang, dan merajut kembali dunia yang beradab.
Menghindari seks demi menghentikan perang dan mengembalikan dunia yang beradab sungguh-sungguh sesuatu yang bernilai “politik”. Lysistrata memakai sepenuh-penuhnya dimensi seksualitas perempuan, sesuatu yang amat privat, untuk tujuan politik. Inilah satire yang ditampilkan drama itu: jika politik identik dengan ruang publik, maka perempuan-perempuan itu berhasil masuk ke ruang politik itu tidak dengan kelicikan taktik politik seorang politisi, kefasihan lidah seorang demagog atau kecemerlangan seorang intelektual melainkan justru dengan sesuatu yang sungguh-sungguh privat, yaitu bagian paling intim dan tersembunyi dari tubuh mereka. Dengan cara itulah, mereka membongkar pagar pembatas sphere of the polis dan sphere of the oikos, tahta dan dapur, istana dan rumah tangga, ruang publik dan ruang privat, atau setidak-tidaknya menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya ada di istana, melainkan memancar di mana-mana termasuk pada tubuh perempuan dan seksualitasnya.
Hermeneutika itu menunjukkan, gagasan feminisme dan peran perempuan dalam Lysistrata telah terbukti signifikan dan relevan sepanjang sejarah, termasuk bagi perjuangan para perempuan modern dalam arus gerakan feminis. Tidak masalah apakah karya ini sungguh-sungguh “feminis” atau tidak, drama ini tetap memiliki pengaruh besar pada produksi teater dan musik modern yang menginspirasi kaum perempuan untuk merebut apa yang disebut Marx sebagai kesetaraan kelas. Koneksi antara Lysistrata dan gerakan feminis modern ditemukan tidak hanya di opera atau teater musikal, tetapi juga dalam gerakan wanita dan protes perdamaian di seluruh dunia. Hal itu membuktikan dampak drama ini yang bertahan lama tidak hanya pada budaya Barat, tetapi juga budaya modern di seluruh dunia.
Lysistrata dan Perempuan-Perempuan Bertelanjang Dada
Politisasi ruang intim pribadi untuk menyelesaikan masalah politik yang tidak bisa lagi ditempuh dengan politics as usual adalah titik persinggungan paling jelas antara drama yang ditulis ribuan tahun lalu itu dan aksi perempuan-perempuan menelanjangi tubuh untuk memperjuangkan hak mereka. Politisasi ruang intim pribadi itu juga sama-sama menarik mereka ke dalam medan kekuasaan, kekuasaan laki-laki dan kekuasaan negara, dengan posisi yang jelas yaitu melawan kekuasaan.
Tujuannya juga sama-sama “politis” sifatnya. Dalam Lysistrata, politisasi ruang intim pribadi adalah medium menghentikan kekerasan dan mengembalikan dunia yang beradab. Dalam aksi perempuan-perempuan bertelanjang dada itu, politisasi ruang intim pribadi adalah medium untuk menyuarakan keadilan. Dapat dikatakan, Lysistrata, perempuan-perempuan militan Athena dan Sparta, kini tampak sepenuh-penuhnya dalam diri perempuan-perempuan bertelanjang dada yang mengambil alih sebuah cara berpolitik yang tak biasa untuk menempuh jalan menuju keadilan.
Di dunia modern, terdapat banyak cara tubuh perempuan bisa masuk ke dalam ruang publik dan bersinggungan dengan kekuasaan. Melalui Marx dan Foucoult, kita mengetahui hal itu dengan baik. Keduanya mengungkapkan apa yang umumnya diyakini kaum feminis bahwa tubuh perempuan secara politis dibentuk oleh praktik-praktik pengendalian dan kolonisasi.
Menurut Marx, kolonisasi itu berlangsung dalam bentuk praktik-praktik komodifikasi seperti pornografi sehingga tubuh perempuan dan ruang intimnya yang privat dieksploitasi ke ruang publik, dijadikan komoditas demi kepentingan pasar. Sedangkan menurut Foucoult, tubuh perempuan, ruang intimnya yang paling pribadi, sepanjang sejarah telah didisiplinkan untuk melayani tubuh kekuasaan yang lain, yaitu power of state. Dengan cara itu, tubuh perempuan masuk ke dalam ruang publik dan pusaran kekuasaan.
Meskipun sama-sama masuk ke ruang publik dan pusaran kekuasaan, politisasi ruang intim pribadi yang dilukiskan Marx dan Foucoult itu berbeda secara tajam dengan apa yang terjadi dalam Lysistrata dan aksi perempuan-perempuan bertelanjang dada itu. Letak perbedaannya ialah pada posisinya dengan kekuasaan. Sementara pada Lysistrata dan aksi perempuan-perempuan itu, politisasi mengambil posisi melawan kekuasaan baik pasar (kapitalisme) maupun negara dengan tujuan merebut keadilan, pada tubuh perempuan yang dilukiskan Marx dan Foucult, politisasi ruang intim itu dieksplotasi untuk memuaskan hasrat kekuasaan pasar dan negara yang justru semakin menajamkan ketidakadilan atas tubuh perempuan.
Dengan cara itu, penampilan tubuh perempuan dalam ruang pornografi dan media atau di atas panggung kampanye politik sama sekali tidak bernilai politik, kalau politik diartikan sebagai jalan menempuh keadilan. Tubuh perempuan dalam pasar atau pentas syahwat kekuasaan adalah tubuh lemah yang tak bisa mentransendensi diri melampaui penampilan belaka sebagaimana diungkapkan lewat mulut rekaan tokoh Calonice di atas. Cara Pemerintah NTT memahami aksi ibu-ibu yang menelanjangi dada itu sebagai sebuah pornoaksi adalah representasi dari cara berpikir misoginis laki-laki yang mengunci perempuan pada fungsi seksualnya semata-mata.
Sebaliknya, tubuh perempuan dalam Lysistrata dan aksi perempuan-perempuan bertelanjang dada itu adalah tubuh yang militan, sejauh militansi diartikan sebagai kemampuan mengambil posisi antagonistik dan perlawanan yang real dan sepenuh-penuhnya terhadap kekuasaan yang mengeksploitasi, power of state dan kapitalisme. Tubuh ini telah mentransendensi dirinya dari tubuh seksual menjadi tubuh politik.
Dengan jalan yang militan itu, perempuan-perempuan yang menelanjangi tubuhnya itu tidak saja berhasil melakukan intervensi ke ruang publik atau politik dengan menghancurkan kekuasaan domestik dan kekuasaan kolonial berupa tekanan rumah tangga dan adat-istiadat yang memihak laki-laki. Lebih dari pada itu, politisasi seksualitas itu sungguh-sungguh berhasil menarik seluruh ruang publik ke tubuh seorang perempuan, menjadikan tubuhnya sendiri sebagai politik itu sendiri atau politik adalah tubuhnya sendiri, serta mentransformasikan tubuhnya menjadi medan kekuasaan dengan daya antagonistik yang sempurna baik terhadap power of state maupun power of capitalism.
Lysistrata dan aksi perempuan-perempuan bertelanjang dada itu barangkali tak benar-benar menciptakan kondisi politik yang sempurna secara absolut. Kekerasan terhadap perempuan masih saja terjadi. Hak politik mereka terus digusur. Ketidakadilan dan ekspoitasi yang rakus demi kepentingan investasi masih saja belum berakhir. Tapi, mereka berhasil menunjukkan titik lemah dan impotensialitas kekuasaan, power of man dan power of state, dalam menyelesaikan isu-isu keadilan sosial. Dengan cara yang militan itu, dengan politisasi relung-relung paling intim pada tubuh mereka, mereka memberi pesan kepada dunia: “jangan pernah mengganggap remeh perempuan!”.
*Peminat Masalah Sosial-Politik