Oleh: Bernardus T. Beding*
Masalah pendidikan sangat kompleks daripada sekadar pembelajaran, karena terkait dengan kondisi dan kemampuan daerah, status sekolah (lembaga pendidikan), dan situasi sosial ekonomi orangtua peserta didik. Dalam era otonomi daerah, sektor pendidikan (dasar dan menengah) diserahkan kepada kabupaten/kota. Artinya, kabupaten/kota memiliki otoritas untuk mengatur persoalan pendidikan (desentralisasi).
Dari segi penyerahan otoritas tersebut tentu positif, karena persoalan pendidikan dapat ditangani langsung oleh daerah. Mereka adalah pihak yang paling paham tentang akar persoalan pendidikan di daerahnya, dan dianggap paling tahu bagaimana merumuskan strategi yang efektif untuk memecahkan persoalan pendidikan tersebut.
Membaca Realitas
Kondisi dan kemampuan sebuah kabupaten/kota ternyata beragam. Benar memang ada kabupaten/kota yang memiliki sumber daya (resources) yang cukup memadai untuk mencukupi kebutuhan sektor pendidikan di daerahnya, tetapi tidak sedikit kabupaten/kota yang masih menggantungkan dukungan dana dari pemerintah pusat. Keragaman kondisi dan kemampuan kabupaten/kota berpengaruh signifikan terhadap kualitas pendidikan di daerah.
Karena itu, implementasi kebijakan pendidikan tidak bisa diseragamkan. Ada kabupaten/kota yang sudah relatif mandiri dalam mengatasi masalah pendidikan, tetapi tidak sedikit kabupaten/kota yang masih menempatkan pemerintah pusat sebagai enabler dalam persoalan pendidikan.
Dari segi penyelenggaraan pendidikan biasanya dipilahkan pendidikan yang dikelola oleh pemerintah (sekolah atau perguruan tinggi negeri) dan pendidikan yang dikelola oleh yayasan atau organisasi keagamaan (sekolah atau perguruan tinggi swasta). Dalam kehidupan nyata, terlihat bahwa kondisi dan kemampuan sekolah atau perguruan tinggi negeri sangat bervariasi.
Umumnya, sekolah-sekolah negeri lebih maju daripada sekolah-sekolah swasta; sekolah-sekolah di perkotaan (ibukota provinsi atau kabupaten) lebih maju daripada di perdesaan karena didukung oleh tenaga pendidik dan komite sekolah yang berkualitas.
Tendensi serupa juga yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Umumnya, perguruan tinggi negeri lebih maju daripada perguruan tinggi swasta. Input dosen dan mahasiswa serta hardware dan software perguruan tinggi negeri kebanyakan lebih baik daripada perguruan tinggi swasta. Umumnya, perguruan tinggi di ibukota provinsi lebih maju daripada perguruan tinggi di ibukota kabupaten/kota.
Dari segi status sosial, kondisi kemampuan ekonomi keluarga (orangtua) peserta didik amat beragam. Peserta didik dari keluarga mampu biasanya dapat memperoleh pelajaran ekstra dari luar sekolah yang biayanya ditanggung secara mandiri; sementara peserta didik dari keluarga miskin lebih banyak mengandalkan kemampuan sekolah.
Itulah sebabnya mudah dipahami kualitas output peserta didik dari keluarga mampu seringkali terlihat lebih baik daripada peserta didik dari keluarga miskin. Umumnya, peserta didik dari keluarga mampu memiliki akses terhadap pelbagai kegiatan pendidikan yang dirancang sekolah atau perguruan tinggi melalui kerjasama nasional dan internasional.
Dunia pendidikan kita masih berhadapan dengan masalah moral seperti tawuran pelajar dan mahasiswa, perundungan, menyontek massal dan soal ujian nasional selalu bocor. Tawuran pelajar dan mahasiswa seakan-akan menjadi kebutuhan gaya hidup urban untuk memperoleh pengakuan jati diri.
Kebebasan pelajar dan mahasiswa mengakses situs-situs porno melalui internet, nonton film, dan membaca majalah dewasa telah memberi stimulan melakukan pelecehan. Ketika ujian nasional terjadi menyontek massal yang justru di bawah koordinasi oknum guru.
Belum lagi persoalan sistem pengelolaan pendidikan di tingkat lokal dinodai dengan praktik jual-beli pendidikan, jabatan kepala sekolah, penyelewengan dana BOS dan sebagainya. Masalahnya menjadi semakin pelik ketika sejumlah perguruan tinggi dilanda plagiarisme yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pengangguran masih cukup tinggi, yakni sebanyak 8,75 juta orang per Februari 2021 yang umumnya merupakan sarjana. Jumlah sarjana yang mampu mengembangkan inovasi, memiliki jiwa enterprenurship, dan mampu mengembangkan industri produktif masih belum memadai.
Beberapa penelitian menunjukkan dunia pendidikan formal di Indonesia masih ditandai kesenjangan input, proses, maupun output. Kesenjangan dimaksud terrefleksi dalam beberapa dimensi. Pertama, kesenjangan pendidikan antara daerah perdesaan dan perkotaan. Sudah lama ditengarai penyelenggaraan pendidikan formal di perkotaan lebih maju daripada perdesaan.
Kedua, kesenjangan pendidikan antara Jawa dan luar Jawa. Kualitas peserta didik dan pendidik sekolah atau perguruan tinggi di Jawa rata-rata lebih baik daripada di luar Jawa.
Ketiga, kesenjangan pendidikan antara Indonesia bagian barat dan timur. Fasilitas pendidikan di Indonesia bagian barat rata-rata lebih baik daripada di Indonesia bagian timur. Oleh karena itu, dapat dipahami manakala peserta didik dan pendidik dari daerah perkotaan, dari Jawa, atau Indonesia bagian barat lebih banyak memperoleh akses pendidikan yang disediakan oleh pemerintah, swasta, maupun dari lembaga atau negara donor.
Implikasi lain dari kesenjangan pendidikan tersebut adalah setiap tahun terus terjadi mobilitas peserta didik yang berkualitas dari perdesaan ke perkotaan, dari luar Jawa ke Jawa, atau dari Indonesia bagian timur ke Indonesia bagian barat.
Kebijakan Pendidikan
Pemerintah sebenarnya telah mengimplementasi berbagai kebijakan pendidikan untuk menjawab masalah kesenjangan tersebut. Kebijakan pendidikan di negeri ini beragam, kerap berubah, dan setiap ganti menteri pendidikan hampir pasti ganti juga kebijakan pendidikan.
Fokus kebijakan pendidikan yang terlihat dalam beberapa terakhir ini adalah usaha pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan melalui pembenahan kurikulum, penguatan sumber daya manusia (pendidik dan tenaga kependidikan), dan dukungan dana pendidikan. Selain itu, pemerintah terus melakukan pembenahan infrastruktur pendidikan, supaya fasilitas proses pembelajaran kondusif bagi upaya meningkatkan kualitas peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Kalangan penyelenggara pendidikan terendap keyakinan bahwa dari pelbagai unsur sumber daya pendidikan, kurikulum adalah salah satu unsur penting yang mampu memberikan sumbangan yang signifikan dalam upaya mendorong proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik. Pengembangan kurikulum diusahakan berbasis kompetensi, dengan maksud output yang dihasilkan dapat menjawab tantangan zaman, terutama memiliki kemampuan menciptakan dan memanfaatkan peluang yang ada di sekitarnya.
Lebih dari itu, mampu menjawab persoalan pendidikan hingga menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh. Artinya, bukan hanya lulusan yang memiliki skill dan pengetahuan luas, tetapi juga mampu mengidentifikasi masalah dan menemukan alternatrif solusinya, serta mampu memanfaatkan dan menciptakan peluang yang ada di sekitarnya.
Institusi pendidikan disibukkan dengan implementasi kurikulum 2013 yang sedang disederhanakan menjadi kurikulum yang beraroma Merdaka belajar dan Kampus Merdeka. Program Merdeka Belajar bertujuan menumbuhkan budaya belajar dan budaya inovasi pada peserta didik.
Peserta didik diharapkan banyak bertanya, banyak mencoba, dan banyak karya karena mereka memiliki pola pikir untuk berkembang, terlepas dari apa pun passionnya. Artinya, konsep kurikulum baru merupakan perpaduan antara hard skill dan soft skill; maksudnya tidak hanya memberikan bekal pengetahuan tetapi juga memberikan bekal keterampilan.
Pengimplementasiannya dengan langkah USBN diganti ujian (asesmen), UN diganti, RPP dipersingkat, dan Zonasi PPDB lebih fleksibel. Harapannya akan semakin banyak tersedia sumber daya manusia (SDM) yang unggul, baik dalam segi kreativitas, kritis, dapat berkolaborasi dengan baik, dapat berlogika dengan baik, serta penuh dengan empati.
Dalam bebrapa tahun terakhir ini pemerintah tampak berupaya keras meningkatkan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan melalui kebijakan dan program sertifikasi guru dan dosen. Sertifikasi menjadi instrumen penting untuk mendorong guru dan dosen menjadi pendidik yang diharapkan berperan menyampaikan atau menjabarkan perspektif yang terendap dalam kurikulum dan silabus kepada peserta didik secata sistematis.
Proses sertifikasi disertai dengan pemberian materi. Materi yang diberikan juga terkait dengan kemampuan guru dan dosen menghubungkan ide-ide atau gagasan dengan dunia nyata melalui penelitian lapangan dan kepustakaan.
Sesungguhnya, SDM yang berkualitas di Indonesia dapat dicapai dengan adanya pembangunan yang terukur dan anggaran yang tepat sasaran. Sejak tahun 2012 sampai sekarang, pemerintah secara rutin telah menyisihkan dana APBN yang dititipkan pada lembaga LPDP. Sampai sekarang, dana yang telah terkumpul sekitar Rp70 triliun dan akan digunakan untuk pendanaan beasiswa dan riset.
Dalam amanat undang-undang, alokasi anggaran untuk sektor pendidikan secara bertahap berdasarkan anggaran belanja dan pendapatan negara. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menggunakan tools/alat/kewenangan yang bisa dipakai, contohnya flexibilitas dana BOS yang semula adalah 15% ditingkatkan menjadi 50% kepada sekolah yang memungkinkan Kepala Sekolah menggunakan dana BOS untuk membayar gaji guru honorer dan pada saat ini pula dana BOS ditransfer langsung ke sekolah, tidak lagi melalui rekening Pemerintah Daerah seperti dulu. Asumsinya adalah semakin besar dana yang tersedia, maka semakin tinggi kualitas yang dapat dicapai.
*Penulis adalah Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng