Labuan Bajo Ekorantt.com – Direktur Badan Pelaksana Otoritas Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatima menemui Bupati Manggarai Barat, Edistasius Endi, Rabu (30/6/2021). Kedatangan Shana disambut hangat oleh nomor satu di Mabar itu. Keduanya kemudian menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) dalam upaya percepatan pengembangan pariwisata dan ekonomi kreatif.
Shana bilang, maksud MoU itu agar menjadikan pariwisata dan ekonomi kreatif di Manggarai Barat menjadi kelas dunia yang tangguh dan berdaya saing. Selain itu, peningkatan pendapatan daerah dan masyarakat yang ada di kabupaten itu dengan melakukan koordinasi lintas kementerian, lintas kabupaten dan lintas kelembagaan. “Itu menjadi komitmen BPOLBF selama ini,” kata Shana.
Ia ingin sinergitas pembangunan pariwisata di Labuan Bajo dan Flores bisa terlaksana dengan baik seiring dengan ditetapkannya Labuan Bajo Flores sebagai destinasi pariwisata super prioritas.
BPOLBF berjanji mendorong desa wisata dan ekonomi kreatif yang dihasilkan oleh masyarakat serta perencanaan pengembangan pariwisata meliputi atraksi, amenitas, dan aksesibilitas. Selain itu, pengembangan tata kelola SDM dan kelembagaan serta pelatihan pengemasan. Semuanya didujung oleh BPOLBF.
Edi Endi mengatakan kehadiran BPOLBF untuk melakukan koordinasi, menyambungkan antara kebutuhan daerah dengan pemerintah pusat. BPOLBF berperan untuk berkoordinasi dengan seluruh aktivitas kepariwisataan di Manggarai Barat yang memberi dampak langsung bagi masyarakat.
Edi Endi ingin adanya keterlibatan masyarakat lokal setiap penyelenggaraan event kepariwisataan di kabupaten itu, misalnya sebagai Event Organizer (EO) harus orang lokal.
“Oleh karena itu, Pemda Mabar harus menyiapkan sumber daya seperti EO tersebut yang memiliki kompetensi, sehingga dalam penyelenggaraan event baik skala nasional maupun internasional masyarakat sudah siap dan memiliki skill di bidang itu,” kataya.
Terkait lahan 400 hektare yang akan dikelola oleh BPOLBF, Edi bikang harus mengacu pada peraturan sesuai dengan landasan yuridis pembentukannya, yakni Perpres No. 32 Tahun 2018 dan secara struktur dibentuk tahun 2019 mengemban peran sebagai akselerator pembangunan pariwisata melalui fungsi koordinatif dan otoritatif di kawasan Labuan Bajo dan 10 kabupaten lainnya di daratan Flores.
Lahan itu, kata dia, merupakan kewenangan pemerintah pusat.
“Lahan yang dipakai tersebut merupakan lahan milik negara di bawah otoritas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujarnya.
Ia menegaskan, Pemda sangat siap untuk mendorong BPOLBF dengan satu prinsip harus memberi dampak positif bagi masyarakat. Padahal, Senin (17/5/2021) lalu, ia baru saja menerima pengaduan dari sejumlah warga adat Lancang, Kelurahan Wae Kelambu, Kecamatan Komodo terkait lahan garapan mereka yang diklaim menjadi kawasan hutan oleh Dinas Kehutanan yang kemudian diserahkan kepada BPOLBF untuk dijadikan destinasi parwisata.
Dami Odos, perwakilan warga adat, secara tegas menolak peta kawasan yang dikeluarkan oleh Dinas Kehutanan dan BPOLBF. Mereka minta Pemda Mabar mendesak Dinas Kehutanan Pemprov NTT dan BPOLBF membatalkan peta yang melewati lahan garapan warga.
“Meminta Pemda Mabar agar mendesak Dinas Kehutanan untuk membatalkan SK Kehutanan Tahun 2016 dan mengembalikan batas Pal yang pilarnya masih di lokasi hutan berjarak sekitar 60 meter dari batas tanah garapan masyarakat,” ujarnya.
Bukan Datang Caplok
Menjawabi laporan warga kala itu, Bupati Edi menegaskan bahwa kehadiran BPOLBF bukan mencaplok lahan yang selama ini digarap masyarakat. Bukan itu substansi kehadirannya, tetapi bagaimana agar masyarakat lebih sejahtera. “Tolong tunjukkan di mana batas yang benar pal ini. Supaya masyarakat jangan dibuat seperti kelinci percobaan,” tegasnya.
“Kalau tiba-tiba BOP menguasai itu, masyarakat mau dibuang ke mana? Apa gunanya pembangunan kalau masyarakat disingkirkan dari ruang di mana mereka hidup. Begitu BOP. Buka datang mencaplok wilayah yang selama ini milik masyarakat. Termasuk Wae Teku masuk di dalam lahan BOP. Mau jadi apa daerah ini,” pungkasnya.
Menurutnya, pemerintah daerah, provinsi, pusat termasuk BOPLBF harus melindungi hak-hak rakyat. Harus dipastikan kehadiran siapa pun, stabilitas daerah harus terjamin. Ia meminta BPOLBF untuk menghentikan aktivitasnya sebelum menemukan titik terang.
“Cepat di-clearkan supaya masyarakat tidak cemas dan putus asa. Teman-teman BOP, tolong aktivitasnya dihentikan dulu di daerah sana supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Kalau termasuk Wae Teku, berarti sudah di sebelah jalan,” pintanya.
Menuju DPRD
Seusai bertemu Bupati Edi warga adat Lancang kemudian mendatangi kantor DPRD setempat. Tiba di DPRD mereka diterima oleh Ketua DPRD Mabar, Martinus Mitar, Wakil 1, Darius Angkur, Wakil 2, Marsel Jeramun, dan beberapa anggota DPRD.
Keluhan mereka masih sama. Meminta Pemkab Mabar untuk mendesak Dinas Kehutanan Pemprov NTT dan BPOLBF membatalkan peta yang melewati lahan garapan mereka.
Selain itu mendesak Pemda Mabar agar Dinas Kehutanan membatalkan SK Kehutanan Tahun 2016 dan mengembalikan batas pal yang pilarnya masih di lokasi hutan berjarak sekitar 60 meter dari batas tanah garapan masyarakat.
Dami Odos mengatakan peta BPOLBF yang menguasai seluruh hutan/kawasan di belakang kampung Lancang merupakan sumber mata air bagi masyarakat kampung itu.
Setelah mendengar laporan warga,
Darius Angkur berjanji akan melakukan RDP internal bersama BPOLBF dan Dinas Kehutanan. RDP selanjutnya akan digelar bersama warga adat Lancang. DPRD juga akan menelusuri pendasaran terkait surat keputusan (SK) terbaru tahun 2016 dan melakukan investigasi pal batas tahun 1972.
“Di mana sesungguhnya?. Tiba-tiba ada perubahan masuk di kampung Lancang apa alasannya?,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Kata Darius, apa yang menjadi hak kaisar tetap diberikan kepada kaisar. Sebab peristiwa sejak 1972 hingga 2021 sudah menyejarah, bahkan diwariskan kepada anak cucu. “Saya kira sebagai pemerintah segera mungkin kita akan panggil untuk mengklarifikasi,” katanya.
Darius juga berjanji akan melakukan komunikasi dan koordinasi bersama DPR RI, KLHK dan BPOLBF di tingkat pusat untuk mempertanyakan, apakah BOPLBF mensejahterakan atau mengeliminir rakyat yang menjadi pemilik Manggarai Barat.
Dokumen Lain
Sementara Marsel Jeramun berharap kehadiran warga adat Lancang menjadi rujukan pemangku adat lain. Dia mengaku ada juga dokumen lain yang sudah bekerjasama dengan BPOLBF. Namun, ia tidak menjelaskan secara detail. Tetapi dokumennnya ada.
“Ini yang mungkin yang sudah mencuat ke permukaan. Ada dokumen lain kurang lebih 1.000 hektare yang sudah dikerjasamakan dengan BOP dengan pihak lain,” ujarnya.
Ia menilai polemik lahan itu sangat penting. Sebab, menyangkut kepentingan anak cucu ke depan. Ia pun meminta agar Ketua DPRD segera mengagendakan RDP bersama instansi teknis. “Mungkin waktu satu minggu ini kita akan memastikan para pihak harus hadir untuk dengar pendapat, dari masyarakat juga,” katanya.
Belum Ada Jawaban
Warga adat Lancang, Gabriel Ganggur mengaku cemas. Sebab, Bupati, dan DPRD belum memberikan jawaban pasti usai pihaknya melakukan pertemuan pada bulan Mei lalu. Ia hanya mendapat informasi dari media bahwa Edi Endi bilang lahan 400 hektare milik Negara.
“Bupati belum konfirmasi dengan kami. Kami juga waktu ke DPRD. Lalu mereka bilang mau bertemu BPOLBF, kemudian bahas kepentingan kehutanan dengan masyarakat tetapi sampai sekarang tidak ada,” ujar Ganggur kepada Ekora NTT, Kamis (8/7/2021).
Ia mengatakan warga adat butuh kepastian terkait pernyataan Bupati Edi Endi. Apakah 400 hektare lahan termasuk lahan warga atau tidak? Status lahan itu harus jelas agar tidak menimbulkan kecemasan dan konflik di tengah masyarakat.
Diakui bahwa warga dan dinas lingkungan hidup sudah mendatangi lokasi hutan untuk melihat batas-batas pal. Namun, sampai saat ini warga belum mendapat pemberitahuan terkait hal itu.
Ia berharap Bupati dan DPRD harus menyampaikan hasil dan keputusan mereka kepada warga Lancang. “Segera mengembalikan kepada warga lahan itu. Supaya warga tidak cemas. Saya mewakili teman-teman di Lancang agar kembalikan lahan itu kepada warga,” pintanya.
Sandy Hayon