Oleh: Yohanis Fransiskus Lema
Rabu (11/8/2021) sore, Pater Henri Daros, SVD meninggal dunia di Ende. Almarhum Pater Henri adalah sosok yang konsisten menulis dan mendokumentasikan kisah pembuangan Soekarno di Ende (1934-1938), persahabatan dan diskusi Bung Karno dengan para pastor misionaris SVD yang berkontribusi bagi penggalian nilai-nilai Pancasila.
Tidak hanya itu, Pater Henri menjadi jembatan yang menghubungkan serentak merawat persahabatan historis antara putri Soekarno, Presiden ke-5 RI sekaligus Ketua Umum PDI Perjuangan Ibu Megawati Soekarnoputri dan SVD. Sebelum meninggal, pada 2018, Pater Henri memrakarsai atau menggagas pendirian Serambi Soekarno di Biara Santo Yosef milik Kongregasi Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) di Ende.
Pater Henri dikenal sangat multi-talenta: intelektual, penulis, penyair, seni musik (gitaris), pemain bola, komponis-dirigen andal, dan memiliki kemampuan memimpin tentunya. Gaya bicaranya tenang, terukur, dan logis.
Teman-temannya mengenalnya sebagai pribadi yang cerdas, rendah hati, terbuka (toleran), dan sangat mencintai NKRI.
Lahir di Manggarai, 5 Oktober 1948, kekaguman almarhum kepada Soekarno berawal sejak ia mengenyam pendidikan di SMP Seminari Pius XII Kisol. Adalah Bruder Arnold Streng, SVD yang kala itu mengurus pertanian milik Seminari Kisol, memiliki banyak rekaman koleksi pidato Bung Karno, dan atas izin pemimpin komunitas memutarkan pidato-pidato tersebut kepada para siswa di saat senggang. Atau, saat pidato Presiden Soekarno sebagai presiden, para siswa Seminari dikumpulkan untuk mendengar langsung dari radio.
Pengenalan almarhum kepada Bung Karno makin mendalam ketika ia belajar Filsafat dan Teologi di Seminari Tinggi Filsafat dan Teologi, Flores Indonesia (1973-1977). Di sana, ia mendengar langsung dari saksi hidup, sekaligus teman diskusi Soekarno di Ende, yang kala itu menjadi dosen sejarahnya sendiri, yaitu Pater Dr. Mathias Van Stipout, SVD.
Ia juga mendengar cerita tentang kisah Soekarno, diskusi dan persahabatan Presiden Pertama Republik Indonesia itu dengan para pastor misionaris SVD dari Pater Adriaan Mommersteeg, SVD di Ende.
Saat itu, keduanya (Pater Stipout dan Pater Mommersteeg) adalah pastor muda yang baru saja tiba di Ende dari Eropa, sehingga saat senggang menemani Bung Karno berdiskusi, bertukar pikiran, bahkan membahas tonil-tonil yang ditulis Bung Karno di Ende.
Pater Henri fasih berbahasa Inggris, Italia, Jerman, dan Jepang. Ia menamatkan Pascasarjana Komunikasi Sosial di Universitas Gregoriana Roma Italia (1984-1985). Sebagian besar karya pelayanan adalah sebagai pastor, sebagai dosen, di antaranya Dosen Tamu Akademi Pengembangan Masyarakat (1981-1982), Dosen STFK Ledalero (1987-2002), Dosen STKIP Ruteng (1987-1991), Dosen Studi Indonesia, Departemen Studi Asia Universitas Nanzan, Nagoya Jepang (2000-2017).
Serentak itu, ia mengabdikan dirinya dalam dunia pers, penerbitan dan percetakan buku. Ia pernah menjabat Direktur Utama Harian Flores Pos (1999-2002), Ketua Yayasan Surat Kabar Dian (1986-2002). Lewat penerbitan Nusa Indah dan surat kabar Dian, Pater Henri dan komunitas SVD aktif melakukan edukasi bagi masyarakat.
Khusus sebagai Direktur Penerbitan Buku Nusa Indah (1986-2002) perlu ditekankan di sini, karena menjadi pintu masuk perkenalan almarhum dengan Ibu Megawati Soekarnoputri, pada akhir Desember tahun 1989.
Ia menerima Ibu Megawati Soekarnoputri di Kantor Penerbit Nusa Indah Ende, saat-saat di mana rezim otoriter Soeharto sedang berkuasa. Pilihan itu sangat berisiko karena saat itu instansi pemerintah dan masyarakat diintimidasi untuk tidak berhubungan dengan hal-hal yang terkait dengan Presiden Soekarno. Ia melawan arus, menerima Ibu Megawati Soekarnoputri dan rombongan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Relasi tersebut terjalin erat hingga akhir hayatnya.
Maka, Pater Henri Daros sesungguhnya merupakan sosok yang menyambung kembali hubungan historis luar biasa antara SVD dengan Bung Karno dan putri biologis-ideologisnya, Ibu Megawati Soekarnoputri.
.Alasan substantif almarhum menerima Ibu Megawati dan rombongan PDI kala itu didasarkan pada sikap kritis dan ketidaksetujuannya kepada pengekangan kebebasan berpendapat di era Orde Baru. Ia mendukung kebebasan masyarakat sipil yang kritis terhadap otoritarianisme rezim Orde Baru.
Para Pastor di Ende sangat berkontribusi bagi Soekarno. Di Ende, Soekarno berinkarnasi dari orator ke konseptor kenegaraan. Selama empat tahun, yakni tahun 1934-1938 diasingkan di Ende, Bung Karno memiliki banyak waktu untuk merenung, merefleksikan, berkontemplasi serta memikirkan falsafah negara Pancasila.
Sambil merenung, berkontemplasi dan melakukan refleksi, Soekarno sering menghabiskan waktu untuk membaca buku dan majalah di perpustakaan Biara SVD Santo Yosef Ende. Setelah itu ia bertukar pikiran, berdiskusi, dan berdialektika dengan para pastor Katolik yang belajar mendalam tentang filsafat. Putra Sang Fajar itu menjadi semakin reflektif-kontemplatif kala diasingkan di Ende. Dari diskusi dengan para pastor SVD, Bung Karno semakin mendalami makna kemanusiaan, demokrasi, kebebasan, toleransi, dan ketuhanan yang berkebudayaan.
Perkenalan awal dengan Pater Gerardus Huijtink, SVD yang sehari-hari bertugas melayani Umat Katolik Ende, tak dapat disangkal telah membangkitkan semangat baru dalam diri Soekarno muda. Melalui persahabatan mereka, Bung Karno mendapat akses untuk meminta izin dari Pater Dr. Joannes Bouma, SVD untuk dapat membaca di perpustakaan SVD.
Karena keluwesan dan keluasan wawasannya, kedatangan Soekarno ke biara SVD pun menjadi kunjungan rutin seorang sahabat, bahkan Bung Karno sudah seperti “orang dalam” SVD, karena selama 4 tahun lebih diasingkan di Ende, Bung Karno rutin mengunjungi biara SVD. Jalan yang selalu dilewati Bung Karno dari rumah pengasingannya ke biara SVD dengan berjalan kaki diberi nama Jalan Soekarno. Dari Ende, Bung Karno kemudian diasingkan ke Bengkulu pada tanggal 18 Oktober 1938.
Di Biara Santo Yosef Ende, Bung Karno leluasa menikmati berbagai bacaan di ruang baca/perpustakaan yang pada waktu itu terletak di ujung gedung rumah biara; santai menelusuri lorong depan sepanjang gedung, menuju ke pendopo biara di mana dia melewatkan waktu untuk berdiskusi, bertukar pikiran dan berbincang-bincang dengan para pater, atau sekadar menikmati pemandangan pantai Ende yang memang tampak jelas dari pendopo tersebut, sering sambil menikmati bacaan dan merenung; ya, pendopo yang saat ini menjadi lokasi ‘Serambi Soekarno; dan, secara rutin pula, mampir mengunjungi Pater Bouma di ruang kantornya yang terletak di sisi lain dari ruang pendopo, baik untuk meminjam buku maupun untuk berbincang-bincang.
Tak cuma itu. Soekarno pun memperoleh izin untuk menggunakan gedung ‘Immaculata’, sebuah gedung serba guna yang terletak tak jauh dari rumah biara, sebagai tempat pementasan 13 tonil hasil karyanya selama berada di Ende, dengan fasilitas yang disiapkan oleh Bruder Cherubim, SVD dan Bruder Lambertus, SVD yang pada waktu itu masing-masing memimpin Percetakan Arnoldus dan Bengkel Santo Yosef.
Atas alasan itu, Pater Henri Daros, SVD rajin menulis dalam akun facebook-nya dan membuat blog yang mengulas tentang hubungan historis luar biasa antara Soekarno, Pancasila, dan SVD. Upaya mengulas dan mendokumentasikan tersebut ditutup dengan sempurna oleh almarhum dengan menggagas pembangunan Monumen Soekarno pada tahun 2018 dengan menamakan Serambi Soekarno.
Untuk mendapat izin dari Provinsial SVD Ende, almarhum menjelaskan secara lengkap dalam tujuh halaman. Serambi Soekarno diresmikan pada tanggal 14 Januari 2019 yang lalu, dengan nama SERAMBI SOEKARNO, bertepatan dengan peringatan 85 tahun silam Soekarno memijakkan kaki untuk pertama kalinya di Ende sebagai tempat pengasingannya. Ende adalah kota pengasingan terlama dalam sejarah pengasingan Bung Karno di banyak tempat.
Patung Soekarno dan foto pastor SVD di Serambi Soekarno dilukiskan almarhum sebagai berikut: “Sosok Bung Karno dalam patung sedang merenung, pandangannya jauh ke depan ke Indonesia masa depan, duduk berpangku kaki; suatu sikap tenang, dan menyerap segala sesuatu ke dalam sambil melihat ke depan. Di situ, juga fakta sejarah hubungan SVD dan Soekarno kita hadirkan dalam lukisan dinding, di mana Pater Gerardus Huijtink, SVD dan Pater Joannes Bouma, SVD yang mengapit Soekarno muda itu.”
Kini Serambi Soekarno banyak dikunjungi berbagai kalangan yang datang untuk mengetahui sejarah Bung Karno dan pemikiran Bung Karno. Sebagai bagian dari mata kuliah Pancasila dan kewarganegaraan, anak-anak sekolah di Ende juga melakukan study tour di sana.
Dalam satu postingannya, almarhum juga menginformasikan bahwa Serambi Soekarno juga dikunjungi mahasiswa studi Indonesia dari luar negeri. Mereka ingin merasakan dan melihat langsung tempat yang turut berjasa membangkitkan kembali semangat serta mengasah nalar dan imajinasi untuk merenungkan dan menggali nilai-nilai Pancasila.
“Apakah Pancasila tidak disalahgunakan untuk menyelubungi, bahkan dijadikan alat pembenar yang keramat bagi kepentingan tertentu dari hanya sebagian warga, tapi sungguh secara adil menjamin hak, kesetaraan, kesejahteraan dan kepentingan seluruh warga bangsa, apapun latar belakang kehidupan dan keberadaannya? Apakah memang tidak terabaikan sila-silanya (dengan sengaja atau karena kelalaian), sebagai tolok ukur atas apa yang baik dan buruk, sesuai atau bertentangan, dengan cita-cita awal bersatunya bangsa dan berdirinya negara ini?” (Henri Daros. 2018).
Selamat Jalan Pater Henri Daros, SVD. Requiescat in Pace. Terima kasih telah aktif memublikasikan gagasan-gagasan besar Bung Karno mengenai Pancasila, kebangsaan dan kebinekaan Indonesia. Bung Karno riang gembira menyambut di keabadian.
*Penulis adalah Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan. Naskah ini diambil dari laman facebook Ansy Lema untuk kepentingan edukasi.