Oleh: Bernardus T. Beding*
Kata sendok dan garpu sangat familiar dalam kehidupan manusia. Sendok merupakan alat yang digunakan sebagai pengganti tangan dalam mengambil sesuatu (seperti nasi), bentuknya bulat, cekung, dan bertangkai (ada bermacam-macam, misalnya centong, sudip); sedangkan garpu merupakan sendok yang bentuk ujungnya seperti jari-jari tangan untuk mencocok daging, lauk, dan sebagainya (KBBI V).
Keberadaan dua benda ini kadang terlupakan dan dianggap tidak bernilai, karena masih ada tangan sebagai pengganti. Bahkan, jarang ada kepedulian pada keduanya, kecuali orang yang setiap hari di dapur dan tempat cuci perabot dapur, serta saat menyediakan santapan. Padahal sangat dibutuhkan. Apalagi saat hidangan berupa sup atau berkuah, orang pasti mencari sendok. Lebih dari itu, siapa saja dan kapan saja mereka menggunakan kedua benda yang sama ini.
Sendok (dan garpu) sebagai media penyampaian informasi dari mulut ke mulut, entah siapa pun yang memakainya secara bergantian; sekaligus simbol satu rasa makanan (dan minuman) informasi ketika dimanfaatkan untuk menciduk dan mengaduk informasi itu.
Demikian halnya, ketika sendok hilang, maka makna darinya akan hilang juga. Segala informasi tidak disatukan sehingga masing-masing sepihak bersuara tanpa saling mendengarkan.
Satu sisi, berbagai bentuk sendok menunjukkan kekhasan berbagai informasi menyatu untuk menghadirkan persatuan dan kehidupan yang rukun; tidak peduli dari mana asalnya dan bagaimana bentuknya. Satu hal yang pasti, wujud sendok yang besar dengan genggaman kecil menunjukkan satu sisi kemerdekaan Republik Indonesia. Walaupun rakyat Indonesia hidup dalam keberagaman etnis, ras, budaya, dan agama, tetap memiliki satu wawasan kebangsaan.
Dari kecilnya keberagaman membuat bangsa menjadi besar dalam mewujudkan cta-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia, memupuk semangat Nasionalisme, Bhinneka Tunggal Ika dalam bingkai NKRI, wawasan Nusantara, dan kebebasan warga negara dalam demokrasi Pancasila.
Kemerdekaan juga merupakan buah harmonisasi hidup masyarakat yang tentuhnya lahir juga dari gesekan-gesekan pertengkaran dan permusuhan. Seperti sendok dan garpu digunakan saat makan, mereka selalu saling gesek dan beradu dalam piring, tetapi piring tidak pernah pecah.
Relasi sosial masyarakat Indonesia selalu berakhir damai setelah bertengkar, karena satu nadi Indonesia mengalir dalam jiwa masing-masing. Secara historis, para pahlawan berjuang dalam peperangan untuk tetap mempertahankan keutuhan NKRI.
Kemerdekaan merupakan buah kekompakan, satu pengikat yang membuat semua masalah menjadi teratasi; juga dari kesendirian yang tidak membuat ia kehilangan jati dirinya. Seperti sendok dan garpu menjadikan makanan dalam piring cepat beralih tanpa merepotkan penikmatnya. Jika tanpa salah satu, tidak menghilangkan selera makan.
Bunyi sendok dan garpu akibat pertemuan tidak membuat piring menjadi pecah, tetapi menimbulkan alunan nada indah. Demikian kemerdekaan lahir dari perjuangan dan tantangan hidup tidak tidak akan membuat kapal Indonesia menjadi pecah, melainkan menjadi pengindah laju berbangsa dan bernegara.
Sesungguhnya, kemerdekaan merupakan dambaan seluruh masyarakat Indonesia. Sekarang Hari Ulang Tahun ke-76 Kemerdekaan Indonesia. Harapan untuk menjadi bangsa yang ‘kenyang’ dan ‘puas’ bagi rakyat terus menjadi tantangan bagi pemimpin ‘sendok’ dan ‘garpu’, karena harus menjawabi harapan Bung Hatta, “tujuan akhir kita bukanlah merdeka tapi sejahtera”.
Apalagi hidangan Covid–19 yang membuat banyak rakyat kelaparan akibat kehilangan pekerjaan. Banyak yang meninggal akibat hidangan Covid–19 yang bukan makanan yang diharapkan dalam kehidupan. Satu hidangan ini menjadi tantangan berat rakyat pemimpin bangsa (sendok dan garpu) ke depan. Karena itu, bagai sendok dan garpu, langkah bersama seiring dan sejalan menjadi prioritas urgensi, agar hidangan Covid-19 ini bisa keluar dari piring bangsa Indonesia.
Untuk membuang hidangan Covid–19 ini, sikap saling mendengarkan dan bekerja sesuai tupoksi dalam bingkai keteladanan antara sendok dan garpu, antara rakyat dan pemimpinnya. Bukan hanya sendok yang bekerja atau garpu yang beraksi. Bukan sendok yang berjuang sendiri mengeluarkan hidangan Covid-19, sedangkan garpu membiarkannya berlabuh di piring Indonesia hanya karena menghasilkan banyak uang.
Perjuangan melawan Covid-19 semakin berat ketika sendok menggunakan kuasa untuk membungkam garpu sebagai kaum oposisi, lawan-lawan politik atau suara-suara kritik.
Piring Bangsa Indonesia seakan tidak bisa lagi menikmati perbedaan politik ‘sendok’ dan ‘garpu’ sebagai sebuah keniscayaan demokrasi. Padahal pendiri bangsa ini sudah mengajarkan kepada kita bahwa karena perbedaan itulah negeri ini diproklamirkan.
Hidangan Covid–19 mengajarkan kepada kita semua (sendok dan garpu) untuk bersatu, tetap tangguh, dan terus tumbuh bersama. Piring negeri ini milik bersama bukan milik sendok penguasa atau garpu kaum oposisi. Bangsa Indonesia merdeka karena nadi selalu mengalirkan persatuan.
Sakitnya penjajahan pandemi Covid–19 melahirkan kesadaran untuk bersatu. Sikap bersatu menjadi penting untuk menggerakkan bangsa dalam perjalanannya dan juga dalam menghadapi setiap tantangan, khususnya dalam melawan pandemi ini.
Tinggalkan keegoan, ciptakan persatuan dalam berjuang bersama-sama, menaati peraturan yang telah ditetapkan pemerintah, seperti pakai masker, menjaga jarak dan tidak melakukan kerumunan. Tentu, pemerintah proaktif memberikan bantuan dan perhatian terhadap masyarakat ekonomi kecil.
Bagaikan sendok dan garpu, kita bersama, seiring, sejalan, satu semangat dalam perjuangan melawan pandemi Covid-19 ini. Artinya, kita bersatu ibarat sendok dan garpu karena kita masih punya piring bangsa Indonesia.
* Dosen PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng