Bunyi “Gong Waning” Tak Terdengar Lagi di Kajowair

Maumere, Ekorantt.com – Pengaruh pandemi Covid-19 sangat terasa oleh masyarakat di Desa Kojawair, Kecamatan Hewokloang, Kabupaten Sikka. Wilayah yang terkenal dengan ekspresivitas pariwisata kini senyap bahkan mati suri. Hal tersebut  berdampak pada penerimaan pendapatan sektor pariwisata.

Dalam konteks Kabupaten Sikka, dapat dibayangkan bagaimana Kajowair yang dulunya jadi primadona mendadak kosong. Jauh dari hingar bingar wisatawan mancanegara.

Dua sanggar andalan Bliran Sina dan Watubo menjadi magnet bagi wisatawan sebelum pandemi merebak. Dua sanggar ini dilirik wisatawan karena punya alasan tersendiri. Pasalnya, cara pembuatan kain tenun ikat dilakukan secara tradisional, mulai dari proses pembuatan hingga pewarna secara alami berasal dari tumbuh-tumbuhan.

Sebelum Covid-19, Kojawair seakan menggeliat di atas langit dengan ‘Soka Papak’ sebuah tarian penjemputan tamu, dan sejuta sarung dan berbagai aksesoris yang diburu wisatawan tiba-tiba  terhenti akibat tamparan pandemi.

Kepala Desa Kajowair Silvester Moa prihatin akan nasib warganya yang menggantungkan hidup mereka dari sektor pariwisata.

“Sudah satu tahun bunyi gong waning tak terdengar lagi di Kajowair. Sebelum pandemi setiap hari ratusan wisatawan mancanegara mengunjungi Bliran Sina dan Watubo. Sektor pariwisata ini sama sekali lumpuh. Kasihan dengan mama-mama. Sudah berjuang menghasilkan kain sarung sepi pembeli dan hanya menjadi pajangan semata,” kata Silvester saat ditemui Ekora NTT di Kantor Desa Kojawair pada Selasa, (28/9/2021)

Ekonomi Merosot

Pada bagian lain pembicaraan dengan kades yang menakhodai Desa Kajowair sejak tahun 2016 melitani pelbagai persoalan ekonomi yang mendera warganya.

Selain wabah Covid-19 yang mempengaruhi pendapatan pada sektor pariwisata, hal buruk lagi yang dialami warga ialah virus ASF menyerang ratusan babi hingga punah.

“Warga saat ini banting setir dari beternak babi dengan memilih beternak ayam kampung dan kambing,” pungkas Silvester.

Kepala Desa Kajowair Silvester Moa saat diwawancarai Ekora NTT (Foto : Yuven Fernande/Ekora NTT)

Sandaran ekonomi warga Kajowair lainnya adalah tanaman kakao. Menurut Silvester, 20 tahun lalu tanaman kakao menjadi primadona di seluruh Kecamatan Hewokloang, termasuk Kajowair. Namun sayangnya, penyakit buah busuk kakao mengakibatkan tanaman kakao dibabat habis.

“Ada warga yang menanam lagi tapi tidak maksimal. Mereka masih trauma dengan penyakit yang menyerang buah kakao,” kata dia.

Masalah klasik lainnya ialah soal air bersih. Silvester berkata,  setiap tahun pada bulan Mei- Desember warga setempat kesulitan air bersih. Di satu sisi merosotnya pendapatan ekonomi, disisi lain warga harus kocek saku 400 ribu membeli air tiap bulan.

“Selama delapan bulan setiap tahun warga menjerit soal air bersih. Warga harus keluarkan dari koceknya 400 ribu untuk beli satu tanki air,” terang Silvester.

Selama ini, pemerintahan desa terus mencari akal dan tidak pernah tinggal diam untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, terutama air bersih. “Rencana untuk menarik air dari Baomekot namun terkendala dana,” tutur dia

Yuven Fernandez

TERKINI
BACA JUGA