Mbay, Ekorantt.com – Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika membeberkan tipe-tipe konflik agraria yang diciptakan oleh pemerintah terhadap masyarakat adat dan petani.
Dalam rangka pembangunan infrastruktur proyek strategis nasional (PSN) di Indonesia, hak-hak masyarakat rentan diabaikan. Bahkan, kata Dewi, strategi memecah belah masyarakat tingkat bawah untuk menimbulkan konflik horisontal justru selalu diangkat.
“Padahal ini adalah konflik agraria pada tingkat struktural. Artinya masyarakat akan berhadapan dengan perusahan berskala besar termasuk di dalamnya ada pemerintah,” ujar Dewi dalam Konferensi Pers Konsolidasi Gerakan Masyarakat Sipil di Desa Rendubutowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo pada Rabu (19/01/2022) pagi.
Dewi menyebutkan beberapa tipe-tipe konflik agraria terhadap masyarakat adat dan petani, yakni pertama; proyek-proyek strategis nasional yang dipercepat oleh pemerintah.
“Yang terjadi di Rendu (Nagekeo), bahwa pembangunan Waduk Lambo sedang dipercepat proses pengadaan tanah dan pengukuran. Tetapi sayangnya, proses dilakukan sangat tertutup dan memaksa sehingga terjadi konflik agraria yang dihadapi masyarakat setempat,” kata Dewi.
Sementara konflik agraria yang kedua ialah terkait penerbitan hak-hak guna usaha (HGU) bagi perusahan-perusahan berskala besar.
Ia mengatakan pihaknya mendengar testimoni masyarakat terkait HGU atau perusahan perkebunan itu sebenarnya masuk ke dalam wilayah hidup masyarakat.
“Sehingga statusnya menjadi tumpang tindih yang menimbulkan konflik berkepanjangan,” ujar dia.
Ketiga adalah konflik agraria struktural yaitu dimana masyarakat berhadap-hadapan dengan klaim kawasan hutan. Kawasan hutan dimana memasukan kampung-kampung adat ke dalam klaim kawasan hutan negara.
Keempat ialah konflik agraria akibat operasi kerusakan pertambangan yang merampas tanah masyarakat adat. “Jadi itu tipe-tipe yang kita dengar secara langsung untuk kemudian merancang strategis kerja kita ke depan,” tegas Dewi.
Pengadaan Tahan Dipercepat
Dewi menuturkan KPA setiap tahun mendapatkan laporan konflik agraria, kasus-kasus perampasan tanah, penggusuran wilayah adat termasuk intimidasi dan kriminalisasi yang dialami masyarakat adat, petani dan aktivis di NTT.
Sejak pandemi Covid-19 dua tahun terakhir, PSN sedang diakselerasi percepatannya pengadaan tanah dan pembebasan lahan lebih cepat tanpa mempertimbangkan hak-hak hidup masyarakat.
Hal itu dipicu oleh UU Cipta Kerja yang sudah disahkan dimana UU Pengadaan Tanah semakin dipermudah bagi investasi skala besar sehingga semakin mudah pula penetapan lokasi.
“Masalahnya, prosesnya sangat tertutup sehingga masyarakat hanya bisa meraba-raba, menerka-nerka sebenarnya rencana pembangunan itu seperti apa. Dan bagaimana nasib masyarakat yang wilayah akan tergusur,” ujar Dewi.
Ia menambahkan PSN selama pandemi semakin meningkat, bahkan di 2021 PSN meningkat hampir 50%. Pada tahun 2021, proses pengadaan tanah untuk proyek-proyek strategis nasional termasuk di Waduk Lambo kurang lebih sudah mencapai 11.000 hektar.
“Kita sudah pernah meminta Presiden agar konflik agraria hampir 50% itu diharapkan segera diselesaikan. Tapi justru ini tidak berjalan. Sehingga pengukuran tanah secara paksa, pemaksaan pembebasan lahan masih dilakukan,” katanya.
Dengan konsolidasi masyarakat sipil se-daratan Flores-Lembata ini, Dewi mengharapkan agar ada gerakan masyarakat adat untuk menekan konflik agraria secara paksa.
Untuk diketahui, hadir dalam konferensi pers ialah Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi, Direktur Eksekutif FWI Mulfi Fathul Barri dan Direktur Eknas WALHI Zenzi Suhadi.
Ian Bala