“Kita Mesti Telanjang” (Sebuah Refleksi Pra Paskah)

Oleh: Yurgo Purab

“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin,” demikian penggalan syair lagu Ebit  G. Ade.

Demokritos, seorang filsuf  Yunani pernah mengatakan untuk menjelajahi diri sendiri kita membutuhkan waktu bertahun-tahun. Menjelajahi diri adalah sebuah pekerjaan yang terlampau sulit, seperti apa yang dikatakan oleh filsuf Yunani lainnya, Socrates gnoti se auton (kenalilah dirimu).

Untuk mengenal diri, orang harus masuk ke dalam dirinya. Sebuah alasan yang sederhana tetapi sebuah pekerjaan yang memakan waktu yang lama. Orang yang mau mengenal dirinya adalah mereka yang mampu menciptakan ruang kesunyiaan batin serentak membangun kedekatan dengan Sang Sunyi (Allah).

Ebit G. Ade, adalah musikus yang terkenal dengan kelihaiannya dalam membangun refleksi pada deretan syair-syair lagu.

iklan

“Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih, suci lahir dan di dalam batin.” Syair ini merupakan sebuah ajakan  untuk ‘telanjang’.

Telanjang di sini mendapat arti  keterbukaan hati yang total di hadapan Allah. Ketika kita masih bayi, lahir di palungan bunda, kita masih didekap dalam keadaan telanjang.

Seperti itulah gambaran yang mau ditekankan oleh Ebit G. Ade. Bahwa orang mesti menelanjangi batinya, memeriksa batin agar mencapai hidup yang berkenan di hati Allah.

Telanjang juga mendapat gambaran hidup yang polos, apa adanya, tanpa topeng dan kemunafikan diri. Ajakan dari Ebit G. Ade untuk hidup benar-benar bersih merupakan ajakan untuk lahir baru, suci dari dalam batin.

Selain itu, dalam syair berikutnya Ebit menulis : “Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat oh, singkirkan debu yang masih melekat.”

Syair ini merupakan sebuah ajakan untuk menengok diri, menyelami kedalaman batin, serentak menyadari segala kekurangan-kekurangan masa lalu. Menengok diri berarti melihat segala keteledoran hidup pribadi sebelum menatap selumbar balok di mata seorang sahabat.

Artinya, kita mengkritik diri terlebih dahulu sebelum memberi kritik atas persoalan orang lain. Mengkritik diri berarti mengambil waktu barang sejenak, membiarkan batin berbicara atas apa yang sudah-sudah.

Memang sulit sekali seseorang mengakui kesalahannya, yang ada ia malah membela diri.

“Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya, kita mesti tabah menjalani. Hanya cambuk kecil agar kita sadar, adalah Dia diatas segalanya.”

Kerap dalam hidup, kita mempertanyakan bencana yang menimpa kita. Sepertinya kita mau menghindar dari sebuah persoalan hidup. Ada banyak pertanyaan yang muncul, mengapa peristiwa seperti ini menimpa hidup  saya?

Ebit G. Ade mau mengajak kita melihat segala persoalan hidup dari kaca mata iman. Bahwa Tuhan tidak pernah meletakkan beban di atas pundak kita lebih dari yang bisa kita pikul.

Dalam buku When Bad Things Happen to Good People, Harold S. Kushner menulis: Tuhan melakukan ujian dan cobaan hanya kepada orang-orang, yang Tuhan anggap mereka mampu menjalaninya, supaya setelah ujian itu berlalu, orang dapat melihat begitu teguh iman mereka.

Hal ini mau mengungkapkan kepada kita bahwa kita mesti tabah dan bersabar terhadap rancangan Allah. Mungkin, hanya cambuk kecil yang Tuhan berikberikan supaya kita menjadi sadar bahwa kita mesti harus banyak berbenah, membangun hidup  yang jujur dan berlaku adil terhadap sesama.

Akhirnya, saya mengajak kita sekalian untuk menelanjangi hati dan batin kita, yang kerap dipenuhi oleh keegoisan diri serta topeng kemunafikan.

Kita diajak hidup jujur di hadapan Allah seraya menyadari kerapuhan dan kelemahan kita. Kita harus ber-metanoia, menjaga mulut dan hati  agar dilayakan untuk memasuki masa suci Pra Paskah. Jika kita hidup bersih, Tuhan masuk dan bersemayam.

*Penulis adalah tamatan STFK Ledalero, sekarang bekerja sebagai jurnalis Ekora NTT.

TERKINI
BACA JUGA