NTT dalam Bayang-bayang Stunting

Oleh: Melky Koli Baran*

Belakangan ini, kata dan istilah stunting tidak lagi asing di tengah masyarakat. Realitas ini menjadi perhatian pembangunan mulai dari pusat hingga ke desa. Apa sesungguhnya stunting itu.

Bagi kebanyakan pihak, mendengar kata stunting langsung berpikir tentang kegiatan-kegiatan layanan anak-anak di Posyandu yang dengan kondisi fisik di bawah standard. Ada yang langsung terhubung ke anak-anak bertubuh lebih pendek dari anak-anak lain seusianya. Saking poulernya kata stunting, setiap orang yang bertubuh pendek, termasuk yang sudah dewasa pun sering mendapat guyonan manusia stunting. Orang-orang bertubuh fisik pendek disapa stunting.

Stunting itu kondisi gagal tumbuh pada anak-anak pada usia 1000 HPK (hari pertama kehidupan). Dapat saja gagal tumbuh sejak dalam kandungan ibunya. Karena gagal tumbuh maka, kondisi fisiknya lebih pendek dari anak seusianya. Bahkan saat lahir, panjang badan tidak memenuhi standar layaknya anak bertumbuh normal.

Hal ini karena anak mengalami kekurangan gizi kronis. Akibatnya pertumbuhan fisik, otak, dan organ tubuh penting lainnya tidak normal atau tidak maksimal sejak dalam kandungan.

iklan

Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 silam memperlihatkan bahwa sebanyak 37% atau hampir 9 juta anak balita di Indonesia mengalami stunting. Saat itu Indonesia menempati urutan kelima dari negara-negara di dunia dengan angka stunting tinggi.

Apa yang Terjadi

Tingginya prevalensi stunting di negara ini menyimpan dan menyajikan dampak negatif. Gagal tumbuh pada periode emas 1000 HPK atau usia dua tahun pertama menyebabkan gagalnya pertumbuhan organ-organ vital seorang anak.

Jadi tidak saja pada tampilan fisik seorang anak lebih pendek dari anak seusianya, tetapi terkait juga dengan organ vital dalam tubuhnya juga bertumbuh tidak maksimal.

Dari segi intelektual, kecerdasan anak-anak stunting juga biasanya tidak maksimal. Hal ini karena gagal tumbuh yang dialami seorang anak sejak dalam kandungan ibunya menyebabkan pertumbuhan otak anak tidak maksimal. Karena pertumbuhan otak anak tidak normal seperti anak-anak normal umumnya, maka kapasitas atau “memory” otak anak kecil.

Dalam pertumbuhan, otak seorang manusia mesti berfungsi normal merekam dan menyimpan berbagai peristiwa dan pengalaman bahkan hal-hal yang rumit, anak-anak yang mengalami gagal tumbuh pada usia emas 1000HPK akan selalu kalah.

Ketika masih kecil kemampuan otaknya kadang bagus. Seiring perjalanan usia dan otak anak ini harus menyimpan banyak informasi dan peristiwa, di sinilah kapasitas otaknya tidak mampu menampung. Anak seperti ini secara intelektual mengalami kebodohan.

Tentang hal ini saya ingat analogi Kabid Kesehatan Masyarakat pada Dinas Kesehatan Kabupaten Flores Timur ibu Kamaria Kewa Lamanele bahwa “isi atau ruang memori otak anak tidak stunting itu kapasitasnya Giga Bite (GB). Sedangkan anak-anak yang mengalami gagal tumbuh kapasitas memory otaknya Kilo Bite (KB). Otak kilo bite akan selalu terlambat merespon sesuatu.

Dari segi fisik, anak yang mengalami gagal tumbuh pada usia 1000 HPK cenderung rentan terhadap berbagai penyakit, dan berpotensi mengalami penurunan  tingkat produktivitas di masa depan.

Betapa beratnya beban setiap anak, beban setiap rumah tangga dan beban negara jika angka stunting tinggi. Anak-anak stunting akan banyak mengalami masalah dalam hidupnya.

Prestasi belajar rendah, kalah bersaing dengan teman-teman seangkatan, kreativitas dan produktivitas rendah yang berpengaruh juga pada sektor ekonomi. Biaya Kesehatan juga cenderung tinggi menyebabkan beban negara semakin besar.

NTT Hari Ini

Belum lama ini, CNN mengabarkan, di tahun 2021, sebanyak lima kabupaten di Nusa Tenggara Timur masuk dalam jajaran 10 daerah di Indonesia dengan angka kekerdilan atau stunting tertinggi dari 246 kabupaten dan kota yang menjadi prioritas percepatan penurunan stunting.

Bahwa pada tahun 2021 kemarin, sebanyak 246 kabupaten dan kota di Indonesia menjadi kabupaten prioritas percepatan penurunan stunting. Dan dari jumlah itu, 10 kabupaten menempati urutan paling atas. Dan dari 10 kabupaten itu, 5 di antaranya ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Masuknya lima kabupaten dalam 10 kabupaten tertinggi dari 246 kabupaten dan kota di Indonesia ini berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI). Kelima kabupaten itu adalah Kabupaten Timor Tengah Setalan (TTS), Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Kabupaten Alor, Kabupaten Sumba Barat Daya (SBB) dan kabupaten Manggarai Timur. Sangat miris karena dari 10 kabupaten itu, 5 kabupaten didominasi oleh provinsi Nusa Tenggara Timur.

Provinsi Nusa Tenggara Timur terdiri dari 22 kabupaten dan kota. Studi Status Gizi Indonesia tahun 2021 menyebutkan, ada 15 kabupaten di NTT yang masuk kategori merah dalam hal tingginya jumlah balita stunting. Sisanya masuk kategori kuning dan tidak satupun kabupaten di Nusa Tenggara Timur ini masuk kategori hijau.

Sebuah keterangan tertulis yang dikeluarkan Biro Umum dan Humas Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jumat 4 Maret 2022 menyebutkan, sebanyak 15 dari 22 kabupaten di NTT masuk kategori merah karena prevalensi stunting 15 kabupaten itu masih bertengger di atas 30%.

Kelimabelas kabupaten itu adalah Timor Tengah Setalatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU), Alor, Sumbah Barat Daya, Manggarai Timur, Kupang, Rote Ndao, Belu, Manggarai Barat, Sumba Barat, Sumba Tengah, Sabu Raijua, Manggarai, Lembata dan Malaka.

Lima belas kabupaten dengan prevalensi stunting di atas 30% dan berstatus merah inilah yang menempatkan  Nusa Tenggara Timur pada urutan paling atas sebagai provinsi dengan angka stunting atau anak-anak kerdil tinggi. NTT menjadi juara pertama provinsi dengan angka anak kerdil paling banyak di Indonesia.

Kabupaten sisa (7 kabupaten), masih berstatus kuning karena prevalensi stunting-nya berkisar antara 20 hingga 30%. Ketujuh kabupaten itu dengan urutan mulai dari atas adalah Ngada, Sumba Timur, Nagekeo, Ende, Sikka, Kota Kupang dan terakhir paling rendah angka stuntingnya adalah Flores Timur. Kabupaten dengan prevalensi stunting terendah di NTT adalah Flores Timur. Posisi di bulan Mei tahun 2022, persentase stunting di Flores Timur sebesar 20,4%.

Dari 7 kabupaten dengn kategori kuning ini, ada tiga kabupaten yang mendekati merah, yakni Ngada, Sumba Timur dan Nagekeo. Penanganan kasus stunting di tiga kabupaten ini mesti dilakukan secara sungguh agar tidak menambah jumlah kabupaten dengan kategori merah.

Ironis

Tingginya prosentase anak-anak stunting di Nusa Tenggara Timur terbaca sebagai ironi. Dari segi potensi pendukung penurunan stunting, NTT tidak jauh tertinggal dari provinsi lain di Indonesia. Dari segi intervensi sensitif dan intervensi spesifik penutunan stunting, Nusa Tenggara Timur punya potensi yang tak kalah dengan provinsi lainnya.

Pada level paling rendah di desa-desa hadir para kader posyandu. Para tenaga Kesehatan (nakes) seperti dokter, bidan, perawat, tenaga gizi dan tenaga sanitarian hampir semua desa punya, kecuali dokter. Dari segi pembiayaan, semua desa telah punya Dana Desa.

Dari segii asupan gizi yang dibutuhkan untuk tumbuh kembangnya seorang anak secara normal, provinsi NTT tidak mesti diremehkan. Propinsi ini walau mayoritas wilayahnya kering dan hanya mengenal pertanian dan panen di musim hujan, namun hampir semua rumah tangga di desa-desa punya aneka pangan bergizi produksi sendiri.

Sumber karbohidrat berupa beras dan jagung, tanah pertanian NTT bisa untuk budi daya pangan sumber karbohidrat. Protein nabati dan hewani juga ada NTT. Demikian dengan vitamin dan mineral. Tanah pertanian di NTT sangat memungkinkan. Belum lagi laut yang memisahkan pulau-pulau di NTT ini menyimpan kekayaan pangan ikan dan kerang sumber protein.

Realitas stunting di NTT hari ini menjadi bukti bahwa potensi-potensi lokal di NTT ini belum banyak membantu provinsi kepulauan ini keluar dari problem banyaknya anak-anak yang gagal tumbuh pada masa dua tahun pertama dalam kehidupannya.

Kurang lebih dua riset di Flores Timur yang dilakukan tahun 2000 dan 2021 silam menjadi bukti bahwa selain potensi pangan sumber gizi yang dimiliki masyarakat di Provinsi ini, masih ada aspek lain yang menyebabkan angka stunting melambung tinggi.

Riset ini memberi bukti bahwa tidak ada sebab tunggal anak stunting atau gagal tumbuh di NTT. Bahwa potensi pangan tersedia, namun ada masalah pada asupan gizi yang disajikan di setiap rumah tangga. Hal ini ada pada ruang pengetahuan tentang asupan gizi, yakni pengolahan. Selain itu, ada masalah non pangan yang mesti jadi perhatian.

Riset pertama membuktikan bahwa pada keluarga dengan perhatian ayah yang rendah pada tumbuh kembang anak, peluang anak stunting lebihg tinggi. Hal ini meyangkut pengetahuan sang ayah tentang pangan dan gizi, kesehatan, sanitasi terhadap tumbuh kembang anak.

Riset kedua memberi bukti bahwa kurang lebih 60-70% anak stunting menderita parasit cacing di dalam tubuhnya atau usus besarnya. Anak-anak dengan masalah seperti ini akan tetap kerdil walau asupan gizi terus diperbaiki.

Beban

Hitung-hitungan dampak jangka Panjang anak-anak stuting memberi bukti bahwa masa depan pembangunan di Nusa Tenggara Timur ini akan bermasalah ketika para pelaku pembangunan kelak punya masalah intelek, yang adalah dampak dari gagal tumbuh pada usia 1000 HPK.

Selain tidak banyak berkontribusi bagi pembangunan masa depan, generasi yang hari ini lahir stunting akan menjadi beban ekonomi bagi daerah ini lantaran cenderung rendah produktivitas.

Dari segi keahlian, NTT akan tetap bergantung pada daerah lain di luar NTT. Sedangkan anak-anak NTT sendiri lebih banyak berada pada barisan pekerja dan bukan pemikir atau konseptor. Kita akan selalu kalah, jika angka anak-anak gagal tumbuh sejak 1000 HPK tak bisa kita perangi.*

*Penulis adalah Direktur YPPS (Yayasan Pengkajian dan Pengembangan Sosial)

TERKINI
BACA JUGA