Tren Lagu Bento: Surplus Hasrat dan Jebakan Ideologi

Oleh: Doni Koli* 

Dalam dua pekan belakangan ini, saya berkesempatan hadir pada beberapa hajatan pesta yang hampir semuanya berlangsung ramai. Kerinduan akan hiburan pasca pandemi Covid-19 serta melonggarnya protokol kesehatan mungkin menjadi alasan di balik atensi masyarakat untuk menjadikan pesta sebagai ajang untuk bersilaturahmi dan mengekspresikan diri.

Sajian menu makan-minum yang mewah, didukung lagu dan musik ria serta pelbagai model joget kekinian kian menyatukan semua yang menghadiri pesta. Kejenuhan selama pandemi sungguh diekspresikan tamu undangan dalam momentum pesta, terutama saat acara patah pinggang, yang di kalangan masyarakat NTT menyebutnya acara joget atau menari.

Saya sendiri bukan tipe orang yang suka menari saat ada pesta. Saya biasanya duduk bercerita, menikmati musik sambil menyaksikan joget para tamu undangan. Namun, ada satu hal berkesan di tengah acara pesta yang sekaligus memprovokasi nalar saya. Di tengah pesta, sebagian besar tamu undangan meminta panitia untuk memutar lagu dengan judul Bento.

Teriakan itu semakin menjadi-jadi ketika panitia tak kunjung memenuhi keinginan undangan. Mendengar judul lagu Bento, pikiran saya langsung terarah pada sebuah lagu lawas yang dipopulerkan penyanyi kondang Iwan Fals.

Lagu Bento sangat boleh jadi adalah sebuah tembang legenda yang tak lekang oleh waktu. Labelling legend lagu Bento tidak terjadi hanya karena popularitas serta predikat ‘tak lekang oleh waktu’, tetapi juga karena makna, kritik serta misi sosial yang digaungkan lagu ini.

Aspek legendaris lagu Bento tidak hanya terakumulasi oleh keindahan musiknya, tetapi karena lagu ini adalah sebuah jejak historis-musikal yang menandai modul antagonisme rakyat terhadap ketamakan rezim establishment yang dipersonifikasi lewat sosok Bento serta program pembangunan politik yang mencoreng hak-hak kalangan akar rumput.

Lagu yang tidak hanya memproduksi hiburan di telinga para penikmat musik, tetapi juga membangkitkan preseden berisikan litani kritik terhadap elit kekuasaan. Tidak aneh apabila lagu ini banyak mendapatkan penghargaan. Salah satunya adalah lagu ini pernah masuk dalam daftar 150 lagu Indonesia terbaik versi majalah Rolling Stone pada tahun 2009.

Kembali pada hal-ikhwal yang memprovokasi nalar sebagaimana saya sebutkan di atas. Tiba saatnya ketika lagu diputar, lagu yang disoraki tamu undangan ternyata bukanlah versi orisinalnya, melainkan lagu joget yang telah diresolusi dan dikemas disk jockey ke dalam konten remix.

Bento versi remix yang diputar ternyata berhasil membangkitkan gairah dan adrenalin para tamu undangan dari kecil sampai yang dewasa. Semuanya larut dalam magis lagu Bento. Keesokan harinya saya coba menelusuri lagu dan tren goyangan Bento tersebut dan ternyata cukup booming dan viral di mana-mana.

Pada saat itulah, tanpa menyalahkan atensi serta sukacita para undangan terhadap lagu dan goyangan Bento, menurut penulis terdapat pergeseran konteks pemaknaan terhadapnya. Betul bahwa matra kritik di satu sisi dan ekspresi rekreatif di sisi lainnya adalah dua aras yang berbeda. Tetapi ketika sebuah karya besar yang sesungguhnya bernada kritik diresolusi menjadi sebuah lagu joget yang terbebaskan dari isi kualitatif-progresifnya, tentu perlu dipersoalkan.

Lagu Bento yang berdaya antagonis diinstrumentalisasi sebagai objek hiburan yang mampu membangkitkan letupan euforia rekreatif. Lagu yang membawa pesan serta misi sosial mulia dijadikan objek pendukung dalam mendulang viralitas. Dengan berkembangnya piranti jaringan melalui pelbagai fitur media sosial, Bento versi remix dirayakan sebagai ajang bagi asketisme eksibisionis dan narsisme.

Di era disrupsi dengan lalu lintas informasi serba liquid, banyak pihak justru meraup keuntungan komersil dengan mengobral goyangan Bento. Pergeseran atau bahkan dekonstruksi konteks pemaknaan terhadap lagu Bento inilah yang menurut saya perlu dianalisis dan dipersoalkan.

Problematisasi sementara itulah yang kemudian membawa saya pada kesimpulan yang semoga saja tidak terlalu dini bahwa fenomena Bento adalah sejenis klise kekinian yang merentangkan dilema besar subjek dalam relung zaman termutakhir. Analisis ini berlanjut menuju pada kontemplasi berpikir yang lebih dalam.

Sebagai respon akademis, tulisan ini hendak membedah aspek klise kekinian tersebut dalam frame filsafat politik. Secara khusus, penulis memberi penekanan pada aspek kritik filsafat politik terhadap hegemoni sebuah ideologi bernama kapitalisme-neoliberal. Hemat penulis, klise kekinian tersebut adalah salah satu wujud merebaknya dominasi kapitalisme dalam pelbagai segi kehidupan manusia.

Kapitalisme Mutakhir: Gejala Subjeksi dan Kembalinya Superego  

Francis Fukuyama seorang penganut konservatif liberal asal Amerika dalam sebuah bukunya yang berjudul The End of Histrory and The Last Men pernah memaklumkan sebuah tesis bahwa kapitalisme adalah satu-satunya sistem yang bertahan, adaptif dan menjadi solusi tunggal atas pelbagai persoalan yang terdapat dalam masyarakat.

Sekilas lalu, tesis yang dikenal sebagai tesis Fukuyamaean terkesan tentatif dan berbau totaliter. Akan tetapi, pendapatnya sangat mungkin benar kalau dijajaki secara empiris. Hingga hari ini kita akan dengan mudah menemukan bahwa pelbagai bidang strategis dan dimensi dasariah kehidupan manusia telah diasuh dalam logika kapitalisme: mekanisme surplus value, privatisasi bidang hidup publik, ekstensifikasi kompetisi predatoris dan maksimalisasi keuntungan (Bdk. Dieter Plehwe dan Bernhard Walpen, 2006, 27-28).

Pelbagai soal-soal strategis dan publik seperti kesehatan, makanan dan minuman, keamanan, industri, mata pencaharian, ideologi dan lain sebagainya – sedang dan berkemungkinan untuk senantiasa diasuh dalam aras kapitalisme. Di pelbagai belahan bumi, semakin banyak orang harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup. Indeks Gini Ratio semakin membengkak dan aneka memoria passionis tentang kemanusiaan tak terelakkan lagi.

Dominasi kapitalisme ini oleh Fredric Jameson, seorang pemikir Marxis asal Amerika Utara dikonklusi sebagai datangnya gelombang baru kapitalisme atau yang disebutnya kapitalisme mutakhir. Perbedaan atau keunikan kapitalisme mutakhir tampak dalam jangkauan luas dari infiltrasinya ke dalam setiap area kehidupan.

Kapitalisme mutakhir ini menurut Jameson tidak muncul tanpa sebab tetapi beriringan, bahkan turut membajak ekspansi sebuah gejala pemikiran, rezim pengetahuan, serta conditio masyarakat yang dikenal sebagai pasca-modernisme. Jameson secara radikal menyebut pasca-modernisme sebagai logika kultural kapitalisme atau respon kebudayaan atas kolonialisasi kapitalisme melalui identitas.

Dalam bidang pemikiran dan filsafat misalnya muncul resistensi dan kritik terhadap eksistensialisme serta bangkitnya gejala-gejala yang ditematisasi sebagai krisis dan kematian: kematian ideologi, kematian seni, kematian kelas sosial dan krisis Leninisme-Komunisme, krisis demokrasi sosial dan krisis negara kesejahteraan (Jameson: 1991, 1-3).

Bersamaan dengan padamnya corak budaya modern tersebut, muncul bentuk-bentuk ekspresi wajah budaya baru yang tampak lebih heterogen, empiris dan chaotic. Estetika pasca-modern bersifat lebih populis karena hilangnya batas-batas antara budaya tinggi (high culture) dan budaya massa (mass/popular culture) atau yang dikenal sebagai suatu populisme estetis.

Menurut Jameson, di era kapitalisme multinasional telah terjadi letupan kebudayaan yang luar biasa dalam pelbagai bidang kehidupan yang ia konsepsikan sebagai “dominan budaya” (cultural dominant). Dominan budaya dalam era pasca-modern ini terjadi karena hampir semua “produksi estetis telah terintegrasi menjadi produksi komoditas” (Jameson: 1991, 4-6). Misalnya gejala merebaknya framework kapitalisme dalam rezim seksualitas manusia seperti tubuh, jiwa, nafsu, erotisme dan bakat-bakat seksualitas manusia.

Jangkauan luas kapitalisme mutakhir ke dalam setiap area kehidupan inilah yang menjadi sebab-musabab mendasar dari suatu keadaan yang ditematisasi banyak sosiolog sebagai ketergerusan efisiensi simbolis atau peran Yang Lain Besar seperti institusi-institusi adat, religius, pelbagai pranata sosial dan simbol-simbol kolektif masyarakat tradisional.

Kondisi merosotnya peran Yang Lain Besar tersebut menurut Slavoj Žižek, seorang filsuf Marxis-Hegelian-Lacanian, menyebabkan subjek tidak lagi menjadi subjek dari suatu tatanan atau tradisi tetapi subjek pilihan (subject of choice) di mana subjek terbebaskan dari ikatan konvensional dan semua yang dilakukannya menjadi persoalan pilihan semata-mata.

Bangkitnya fenomena subjek pilihan yang seolah-olah mengakomodasi otonomi sebagai efek dari reflektivitas diri masyarakat kontemporer ini menghadirkan sebuah persoalan mendasar yakni keterikatannya pada subjeksi. Apabila individu tidak lagi patuh pada hukum maka ia akan berusaha menghadapi tergerusnya otoritas resmi ini dengan membangkitkan hukum-hukum privat (Slavoj Žižek: 1999, 331-342).

Indikasi subjeksi di atas secara global dapat ditemukan dalam kontur dan tendensi masyarakat permisif di mana subjek dibombadir dengan undangan serta ajakan untuk masuk dalam sebuah indulgensi kenikmatan dan kesenangan. Tergerusnya efisiensi simbolik institusi yang lain besar menyebabkan moral kolektif kehilangan relevansinya yang strategis.

Di sana-sini, kita menyaksikan serangkaian gratifikasi kenikmatan seperti potongan iklan serta ajakan untuk menjajal dan masuk dalam pola konsumerisme radikal serta asketisme hedonistik. Aspek permisif, serba liquid, penuh risiko serta unsur chaotic masyarakat kontemporer inilah yang menurut Žižek menandai kembalinya peran otoritatif agensi superego.

Du Kannst, Denn Du Sollst!

Apabila superego adalah sebuah otoritas yang kembali di era kapitalisme mutakhir, maka bagaimana konsepsi superego tersebut dapat dipahami? Pada bagian inilah, kita akan melihat bagaimana perjumpaan Zizek dengan psikoanalisis Lacanian menjadi begitu penting bagi rekonstruksinya atas mazhab ekonomi politik Marxis. Untuk memahami agensi superego, maka kita patut juga berkenalan dengan konsep lain dari Lacan yang juga penting yaitu jouissance atau surplus hasrat.

Jouissance menerangkan pola kerja struktural kapitalisme kontemporer yang tidak menjadikan derita atau kesengsaraan sebagai pra-syarat untuk memproduksi keuntungan melainkan menganjurkan kenikmatan terlebih dahulu pada konsumen. Kapitalisme yang sebelumnya menjalankan garis komando dengan memerintah dan melarang, kini mengembangkan pola kerja persuasif dengan menganjurkan dan merayu.

Reproduksi hasrat lebih ini senantiasa dipertahankan karena dari situlah kekosongan-kekosongan baru dalam diri manusia terus dicipta agar bujukan komodifikasi bisa terus disuguhkan. Ketertarikan seorang konsumen pada sebuah barang, jasa dan tawaran-tawaran kapitalisme bekerja dalam sebuah mekanisme penanaman hasrat lebih. Terdapat semacam pemindahan fantasi akan objek atau barang menuju suatu hasrat lain yang dimunculkan bersamaan dengan objek (Bdk. Suryajaya dalam Indoprogress, 13 Juni 2015).

Mekanisme kerja kapitalisme era kontemporer dengannya tidak hanya mengunggulkan konsepsi nilai lebih (surplus value), tetapi juga menghasilkan hasrat berlebih. Tambal epistemologi Marxisme oleh psikoanalisis Lacanian yang diramu Zizek inilah relevan. Apabila kapitalisme pada era Marx dijalankan dengan mekanisme “nilai lebih” (surplus value), maka pada kapitalisme mutakhir dilengkapi dengan modus operandi “hasrat lebih” (surplus jouissance).

Lantas bagaimana korelasi superego dengan jouissance ini dipakai untuk memahami kapitalisme mutakhir? Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sasaran yang ingin dituju dari imperatif superego adalah jouissance.

Menurut Žižek, peran otoritatif agensi superego ini sebelumnya ditekan dalam era “modernitas padat” melalui administrasi dan judisialisasi aspek-apsek kehidupan manusia. Bertentangan dengan itu, dalam kapitalisme mutakhir yang bernuansa permisif, pelbagai modus kenikmatan seperti mental konsumtif dan eksploitatif yang sebelumnya dinilai keliru atau salah secara moral, kini dianggap sebagai salah satu penyangga hidup yang berkualitas.

Kembalinya agensi superego membuat gratifikasi kenikmatan telah memasuki suatu status dari ideologi resmi di mana subjek dianjurkan, dipaksa dan diwajibkan untuk menikmati. Sebagai akibatnya “permissive jouissance” berubah menjadi “obligatory jouissance”.

Dengan kata lain, superego “menandai suatu titik yang mana kebebasan untuk menikmati diangkat menjadi kewajiban untuk menikmati” (Slavoj Žižek: 2008, 237). Modus operandi super ego untuk “enjoy” atau menikmati ini dapat dibaca sebagai pembalikan simetris dari imperatif kategoris Kant, “du kannst, denn du sollst!” (kamu bisa, karena kamu harus) menjadi “du sollst, den du kannst” (kamu harus, karena kamu bisa).

Dengan memahami logika di balik imperatif superego untuk menjajal jouissance, kita mampu membaca petaka logik kapitalisme mutakhir: ia mewajibkan subjek untuk menikmati sesuatu, namun justru bukan kenikmatan yang didapat tetapi penderitaan. Aspek penderitaan yang dihasilkan inilah yang membedakan kenikmatan biasa dari jouissance.

Salah satu contoh konkrit yang bisa dipakai untuk menjelaskan kolegialitas superego dan jouissance dan petaka di baliknya hemat saya dapat dibaca dalam tren body shaming yang mengemuka akhir-akhir ini.

Di satu sisi, manusia diberi kebebasan untuk mengeksplorasi kesenangannya sambil di sisi lain, kebebasan untuk mengeksplor kesenangan tersebut terhalang oleh branding sosial tentang idealitas tertentu yang diiklankan secara masif.

Seorang perempuan pecinta kuliner umpamanya dapat makan pelbagai jenis makanan dan minuman sepuasnya. Konsekuensinya, kegemukan atau bahkan obesitas adalah kemungkinan yang positif bagi si perempuan.

Kendatipun demikian, si perempuan yang sama tersebut hidup dalam sebuah masyarakat yang secara sosial memasang standar bahwa perempuan yang ideal adalah perempuan yang ramping, yang kadar lemak dalam tubuhnya terjaga.

Di sinilah petaka superego itu menyata: si perempuan mungkin merasa dirinya punya kebebasan penuh, tetapi di saat yang sama kebebasan itu menjadi terbatas karena ia perlu melayani hasrat manusia lainnya. Sebuah kebebasan yang nyatanya tak bebas juga karena konflik perintah yang membingungkan subjek. 

Epilog: Don’t Act, Just Think

Metodologi kapitalisme mutakhir ini hemat saya dalam cakupan tertentu relevan dalam memotret kegandrungan subjek zaman ini akan hal-hal yang serba pragmatis. Klise kekinian yang terpotret dalam lagu Bento sebagaimana dijelaskan di muka: pergeseran konteks pemaknaan lirik lagunya, disfungsionalitas antagonisme yang dibawanya dan viralitas yang menjadi padanannya sangat boleh jadi adalah wujud riil dari infiltrasi kapitalisme mutakhir dalam kehidupan kita. Kita menjadi terlampau permisif dengan semua hal sambil abai akan aspek-aspek penting yang ada di baliknya.

Di mana-mana, kita dibombardir dengan tawaran untuk meng-upgrade diri, mengiklankan diri, merubah otonomitas diri kita yang luhur menjadi sebuah produk brand, masuk dalam pelbagai modus narsisisme serta berani mengorbal tubuh dan privasi kita. Tanpa kita sadar, imperatif untuk menikmati tersebut mengepung kita, mengatasi kita, menggurui kita dan mengajak kita jadi sahabat serentak momok empuk sasarannya. Akibatnya, tanpa disadari banyak aspek kehidupan kita yang menjadi bias nilainya.

Salah satu kritik yang sering dilontarkan Zizek pada pelbagai rezim pemikiran, ideologi serta karateristik masyarakat kontemporer adalah apatisme yang menganggap remeh kontemplasi berpikir serta kesukaan untuk menjajal kemungkinan-kemungkinan pragmatis.

Ketergantungan subjek dewasa ini pada hal-hal yang bersifat segera, siap pakai, mental easy going, karakter work aholic adalah kecenderungan-kecenderungan pragmatis yang justru berbahaya karena memaku kreativitas berpikir serta imajinasi manusia. Tidak heran apabila sering didapati floating mass (massa mengambang) yang mudah terpancing dalam trend-trend baru yang sebenarnya mengubur asa akan visi kehidupan sosial yang lebih baik.

Karakter permisif yang didukung oleh perkembangan teknologi digital super masif memungkinkan subjek mengambil otoritas-otoritas baru sambil menangguhkan pengaruh institusi-institusi kolektif. Seorang tiktokers vulgar umpamanya dapat dengan bebas mengobral tubuh dan sensualisme di pasar media sosial tanpa perlu mawas akan moralitas publik.

Dalam arena serba digital, permisif dan liquid dapat terjadi pula peleburan batas antara fakta dan ilusi. Lenyapnya batas antara yang fakta dan ilusi tersebut pada tarafnya yang akut dapat sampai kepada krisis yang dikenal sebagai aktivisme anti-logika di mana aktivitas subyek tidak lagi dimainkan dalam pandu rasionalitas.

Dalam ruang maya misalnya, setiap orang bisa berkata-kata dan menyampaikan sesuatu tanpa perlu takut akan efek sosial perkataannya. Seorang netizen dapat menjadikan medsos sebagai medium ekstase bagi pelepasan emosi, sentimen, kemarahan dan anarkisme. Ringkasnya, teknologi menyediakan “arena tak bertuan” atau “tong sampah” extra-large tempat subjek boleh menjejalkan pelbagai konten dan informasi ke dalamnya. (Bdk. Doni Koli dalam Mirifica, 25 Maret 2019). Setiap orang dapat menciptakan kehidupan kedua dengan personalitas maya.

Gejala subjeksi inilah yang ikut mendepak subjek menuju sebuah momen peyoratif di mana subjek seolah-olah mecapai kepenuhan otonomi, namun ternyata ada banyak kekosongan pula yang hadir darinya. Dalam masyarakat yang kian permisif, epistemologi yang dianut adalah epsitemologi tanpa prinsip: pengetahuan tidak lagi membutuhkan pandu otoritas dan informasi tak mengenal taksonomi. Setiap orang bebas memainkan pelbagai multitude metodologi dan abai akan rambu-rambu komunikasi yang normatif.

Watak ini kemudian berimbas ke dalam milieu etika dan moral. Masyarakat permisif menghadirkan suatu ruang kehidupan dengan etika tanpa prinsip atau moralitas tanpa substansi.

Hari-hari ini kita sering menyaksikan bagaimana fitur-fitur internet dan pelbagai aplikasi jejaring sosial (Facebook, Instagram, Crowdstorm, Linked In, Twitter, YouTube, WhatsApp, dll) dipakai sebagai instrumen penyebaran berita bohong, fake news, esensialisme isu identitas, black campaign serta arena untuk saling mengadu, membenci dan memprovokasi satu sama lain. Konsekuensinya, nilai-nilai kemanusiaan prinsipil terdelegitimasi. Delegitimasi nilai-nilai prinsipil inilah yang menyediakan pra-kondisi bagi bangkitnya kekerasan.

Kembali pada ajakan untuk berpikir tadi. Kita harusnya atau idealnya perlu menjadi sadar bahwa totalisasi kapitalisme yang diwarnai oleh klaim kemenangan ideologi ini sebagai satu-satunya sistem yang adaptif bagi manusia adalah kejahatan karena secara terang-benderang menimbulkan, memproduksi dan merawat luka menganga manusia. Geliat kapitalisme adalah penjugkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan prinsipil seperti personalitas, otonomitas, privasi dan HAM.

Sekali lagi, penulis tidak berpretensi buruk terhadap viralitas lagu dan joget Bento. Yang saya cemaskan adalah bahwa tren Bento yang viral itu hanyalah satu dari sekian pengalaman faktual yang menunjukkan bahwa kita jauh panggang dari api ketekunan berpikir kritis.

Jargon don’t act, just think pada sub-judul epilog di atas sesungguhnya menyasar pada virus manusia zaman ini yang seringkali abai dan malas untuk berpikir dan mempersoalkan banyak hal baru yang sampai ke hadapan kita.  Tanpa sadar, dengan penuh legawa kita justru sedang hidup dalam perangkap jaringan ideologi yang justru mengaburkan kita dari penglihatan akan aspek-aspek krusial yang jauh lebih penting seperti kemiskinan struktural yang akut, neo-kolonialisme, kesenjangan sosial yang semakin menjadi-jadi serta akumulasi sumber daya pada beberapa kelompok orang (baca: oligarki).

Saya sendiri tidak merumuskan serangkaian solusi praktis yang siap jadi untuk melampaui persoalan ini. Yang terpenting menurut saya adalah kita, para subjek, perlu sadar bahwa geliat kapitalisme mutakhir menuntut kapasitas kita untuk lebih bersikap kritis dan mawas.

Sebagai subjek yang hidup kini dan di sini, kita perlu senantiasa memperkuat kapasitas diri kita dengan tekun membaca dan menganalisa tanda-tanda zaman. Solusi ini tampaknya individualistis dan elitis. Tetapi, tanpa perlu menguburkan optimisme, solusi kolektif-besar melawan ideologi global bernama kapitalisme neoliberal memerlukan kerja keras, kerja cerdas serta sinergi bersama yang tidak mudah. Oleh karena itu, justru solusi paling mungkin, lugas dan terbuka untuk kita buat adalah meningkatkan kualitas dan kapasitas diri.

Akhirnya, semoga kita dapat menjadi subjek yang punya kapasitas untuk berpikir kritis dan berani berkonfrontasi dengan gejala-gejala kekinian. Hingga kita pun tidak ikut terjebak atau bahkan menjadi sosok-sosok reinkarnatif Bento: sosok dalam lagu Iwan Fals yang justru menopang sebuah sistem kehidupan yang penuh dengan narasi ketidakdilan, penjajahan, ketamakan, manipulasi dan penindasan hajat hidup banyak orang. 

*Penulis adalah ASN Kementerian Agama

spot_img
TERKINI
BACA JUGA