Jakarta, Ekorantt.com– Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) melaporkan sepanjang tahun 2023, terjadi peningkatan pelanggaran hak-hak digital di Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan pemilu 2024.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum menjelaskan, dari sisi akses internet, pelanggaran hak terjadi akibat ketersediaan dan keterjangkauan akses yang kurang merata. Padahal, akses internet menjadi infrastruktur penting untuk informasi pemilu dan penggunaan teknologi pemilu.
“Setiap tahun sejak 2019, SAFEnet membuat laporan pemantauan atas pelanggaran hak-hak digital di Indonesia. SAFEnet membagi hak-hak digital dalam empat topik yaitu akses internet, kebebasan berekspresi, keamanan digital, dan kekerasan berbasis gender online (KBGO),” jelas Nenden saat peluncuran laporan situasi hak-hak digital di Indonesia di Serambi Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan pada Selasa, 6 Februari 2024.
Ia mencontohkan, tercatat bahwa sebagian warga Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tidak dapat mengakses internet dengan lancar.
Padahal, KPU DIY akan menggunakan sistem informasi rekapitulasi dalam pemilu 2024.
Selama 2023, gangguan akses internet pun terus terjadi.
Setidaknya terdapat 63 gangguan akses dengan rincian 49 gangguan pada aspek infrastruktur, tujuh kali pada aspek layanan, dan tujuh kali pada aspek kebijakan. Gangguan akses internet yang berlarut masih ditambah dengan berbagai keadaan kahar yang terjadi dan berulang.
Nenden juga menyetil pada sisi kebebasan berekspresi. Selama 2023, terdapat tren peningkatan pelaporan ke kepolisian dengan motif politik menjelang pemilu.
“Pada tahun 2023, kriminalisasi terhadap ekspresi di ranah digital meningkat dibandingkan tahun sebelumnya,” katanya.
Nenden mengungkapkan jumlah terlapor pada tahun 2023 meningkat sebanyak 15,9 persen dengan total 124 orang yang dilaporkan ke polisi.
Kemudian dari sisi keamanan digital juga semakin mengkhawatirkan. Kata dia, terjadi peningkatan jumlah serangan digital, baik serangan secara halus (menyasar psikologi korban) maupun secara teknis (menyasar aset-aset digital korban).
Secara konteks pemilu 2024, lanjut Nenden, terdapat beberapa serangan digital yang secara spesifik menyasar akun-akun peserta pemilu 2024 maupun yang membahas politik.
SAFEnet menemukan insiden dan serangan digital pada tahun 2023 sebanyak 323 kali. Angka tersebut meningkat terus dibandingkan tiga tahun sebelumnya, yakni 302 kali (2022), 193 kali (2021), dan 147 (2020).
Nenden menambahkan, kasus KBGO juga meningkat akibat dampak Pemilu 2024. Seorang politisi perempuan asal Nusa Tenggara Timur (NTT) gagal mencalonkan diri sebagai caleg setelah video intimnya tersebar di beberapa platform media sosial seperti Facebook, Twitter hingga WhatsApp.
Selain mundur sebagai kandidat caleg, dia juga mengundurkan diri sebagai anggota Partai NasDem.
“Serangan terhadap caleg perempuan lain juga terjadi melalui media sosial yang mengeksploitasi gender caleg tersebut,” pungkas mantan Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet itu.
Dari sisi angka, KBGO mengalami peningkatan secara signifikan. Selama tahun 2023, SAFEnet menerima 1.052 aduan KBGO.
Jumlah aduan itu meningkat 33,65 persen dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yaitu 677 aduan pada tahun 2021 dan 698 aduan pada tahun 2022. Aduan paling banyak diterima pada Juli 2023 dengan total 120 aduan.
Senada, Koordinator Pemantauan dan Direktur Program SAFEnet Anton Muhajir mengatakan, pelanggaran hak-hak digital pada tahun 2023 terpantau naik.
Hal ini mengkhawatirkan dan masyarakat harus berupaya berbuat sesuatu untuk menghindari dampak-dampak pemilu. Apalagi, kata dia, tahun 2024 ini dampak pemilu masih akan terasa.
Merespons hasil pemantauan SAFEnet, Ketua Komnas HAM Dr. Atnike Nova Sigiro mengatakan, fenomena demikian dikarenakan regulasi yang ada (UU ITE) sering terkendala perbedaan interpretasi dan juga dapat diskriminatif.
“Jadi memerlukan kehati-hatian. Kebebasan berekspresi memang tidak boleh semaunya, tapi pembatasannya juga sama saja, tidak boleh semaunya,” tekan Atnike.
Nurul Amalia dari Perludem menilai, terdapat banyak gangguan informasi menjelang pemilu yang beredar di media sosial.
Nurul juga menekankan pembatasan akses akibat pelanggaran hak-hak digital dimulai dari kondisi jaringan internet yang tidak bisa diandalkan hingga beragam kriminalisasi dan intimidasi di media sosial.