Media Sosial di Pilkada 2024: Memperkuat Partisipasi atau Menyulut Disinformasi?

Algoritma memprioritaskan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran, sehingga narasi yang penuh sensasi dan tidak terverifikasi menjadi lebih menonjol. Isu-isu yang viral pun cenderung menyingkirkan debat substantif mengenai kebijakan

Oleh: Ernestus Holivil*

Era digital telah mengubah wajah demokrasi di Indonesia, termasuk dalam proses pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Teknologi komunikasi, mencakup fitur-fiturnya seperti media sosial, yang dulu dianggap sebagai jembatan untuk memperluas partisipasi politik, kini menghadirkan tantangan baru yang tak terduga.

Di satu sisi, hal itu memungkinkan jutaan suara terdengar lebih mudah dan cepat, memperkuat partisipasi masyarakat dari berbagai penjuru tanah air. Namun, di lain sisi, juga membuka celah bagi disinformasi, hoaks, dan manipulasi data, yang dapat membelokkan pandangan publik dan merusak esensi demokrasi.

Pilkada 2024 akan menjadi ujian besar bagi kesiapan Indonesia dalam mengelola dampak positif dan negatif dari keberadaan fitur-fitur teknologi digital. Apakah hal tersebut benar-benar dapat memberdayakan masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka, atau justru menjadi senjata yang memperlemah kepercayaan publik? Apakah perangkat media sosial akan memperkuat demokrasi lokal, atau sebaliknya, menyulut api disinformasi yang berbahaya?

Pilkada dan Maraknya Disinformasi

iklan

Pilkada 2024 akan menjadi ajang penting di mana teknologi memainkan peran kunci dalam memperluas partisipasi publik. Dengan semakin meluasnya penggunaan media sosial, kampanye politik tidak lagi terbatas pada ruang fisik, melainkan merambah dunia digital. Platform seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp menjadi alat utama bagi kandidat untuk menjangkau pemilih, terutama di daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau secara fisik.

Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukkan bahwa pada tahun 2024, tingkat penetrasi internet Indonesia mencapai 79,5 persen, meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Terhitung sejak 2018, penetrasi internet hanya mencapai 64,8 persen. Kemudian berurutan, 73,7 persen di 2020, 77,01 persen di 2022, dan 78,19 persen di 2023 (apjii.or.id, 2024). Ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat memiliki akses ke informasi digital, yang seharusnya memperluas keterlibatan dalam Pilkada.

Namun, di balik meningkatnya penetrasi masyarakat Indonesia, ada masalah yang tidak boleh diabaikan begitu saja. Salah satu isu utama adalah maraknya disinformasi dan hoaks yang menyebar melalui media sosial.

Menurut laporan dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), pada Pilpres 2019 terdapat lebih dari 1.200 kasus hoaks yang terkait dengan politik, dan tren ini terus meningkat seiring dengan kedekatan Pilkada 2020.

Disinformasi politik menyebar dengan cepat melalui media sosial, mempermainkan emosi publik, dan sering kali dirancang untuk mendiskreditkan lawan politik. Sebagai contoh, pada Pilkada 2020 di beberapa daerah, beredar berita palsu yang menyasar karakter pribadi calon kepala daerah, yang kemudian mempengaruhi preferensi pemilih.

Kominfo menemukan 38 isu hoaks terkait dengan Pilkada. Dari 38 temuan itu, tersebar sebanyak 217 tautan hoaks di berbagai platform digital (Cnnindonesia.com.,19/11/2020).

Dalam kerangka teori agenda-setting oleh McCombs dan Shaw, fenomena ini dapat dijelaskan melalui peran media digital dalam menentukan apa yang dianggap penting oleh publik. Media sosial, yang kini didorong oleh algoritma, lebih sering mempromosikan konten yang populer atau kontroversial, daripada konten yang faktual dan objektif.

Algoritma memprioritaskan keterlibatan (engagement) daripada kebenaran, sehingga narasi yang penuh sensasi dan tidak terverifikasi menjadi lebih menonjol. Isu-isu yang viral pun cenderung menyingkirkan debat substantif mengenai kebijakan.

Hal yang lebih miris lagi, individu cenderung memilih untuk tidak berbicara jika pandangan mereka bertentangan dengan opini dominan yang disuarakan oleh media atau komunitas mereka. Jika disinformasi menjadi narasi dominan di media sosial, pemilih yang mendapatkan informasi yang benar mungkin merasa terintimidasi atau tidak mau mengekspresikan pandangan mereka secara terbuka. Ini tidak hanya merusak debat publik yang sehat, tetapi juga menghambat keterlibatan aktif dalam proses demokrasi, karena ketakutan akan tekanan sosial.

Masalah disinformasi semakin diperburuk oleh rendahnya literasi digital di kalangan masyarakat. Data dari APJII di tahun 2022, menunjukkan bahwa meskipun penetrasi internet tinggi, tingkat literasi digital di Indonesia masih berada di kategori “sedang”.

Ini berarti bahwa banyak pengguna internet belum sepenuhnya memahami cara memverifikasi informasi yang mereka terima. Hal ini menciptakan situasi di mana pemilih dapat dengan mudah tertipu oleh berita palsu yang didesain untuk memengaruhi persepsi dan perilaku politik mereka.

Selain itu, efek dari filter bubble dan echo chamber—dua konsep yang sering dibahas dalam studi komunikasi digital modern—memperparah polarisasi di masyarakat. Filter bubble, sebagaimana diungkapkan oleh Eli Pariser, terjadi ketika algoritma media sosial hanya menampilkan konten yang sejalan dengan pandangan pemilih, sementara echo chamber memperkuat keyakinan yang sudah ada melalui interaksi dengan kelompok yang berpikiran sama.

Dalam konteks Pilkada, kedua fenomena ini mempersempit ruang diskusi dan membuat masyarakat semakin terpisah secara ideologis, sehingga sulit untuk mencapai konsensus berdasarkan informasi yang objektif.

Dengan semua data dan teori ini, terlihat jelas bahwa kehadiran fitur-fitur media sosial Pilkada membawa dampak yang kompleks. Meskipun memiliki potensi besar untuk meningkatkan partisipasi politik, tentu juga membuka pintu bagi disinformasi yang dapat merusak integritas pemilu dan mengganggu proses demokrasi. Masalah ini harus dipahami secara mendalam sebelum dapat diatasi secara efektif.

Perkuat Pusat Kendali Disinformasi 

Untuk menghadapi maraknya disinformasi yang mengancam integritas Pilkada 2024, solusi inovatif yang dapat diterapkan adalah pembentukan “Pusat Kendali Disinformasi Pilkada”. Pusat ini akan menjadi lembaga independen yang berfungsi sebagai pengawas real-time terhadap penyebaran informasi palsu, memanfaatkan teknologi big data untuk mendeteksi pola-pola penyebaran hoaks di media sosial dan platform digital lainnya.

Keunggulan dari solusi ini terletak pada penggunaan AI-driven algorithms yang dapat menganalisis jutaan data secara instan, memfilter konten-konten yang berpotensi disinformasi, dan mengidentifikasi sumber-sumber hoaks dengan lebih cepat daripada pengawasan manual.

Dengan algoritma yang mampu belajar secara otomatis, pusat ini dapat terus memperbarui kemampuan deteksinya sesuai dengan dinamika dan tren informasi yang berkembang di masa kampanye.

Selain itu, kolaborasi publik-swasta menjadi kunci keberhasilan pusat kendali ini. Pemerintah, platform media sosial, lembaga pemantau pemilu, dan masyarakat sipil perlu bekerja sama untuk memberikan akses data yang relevan dan memastikan hasil analisis dapat digunakan untuk memperbaiki ekosistem informasi selama Pilkada.

Dengan membentuk tim pakar yang terdiri dari teknolog, akademisi, dan aktivis demokrasi, pusat kendali ini dapat menjadi pelopor dalam menghadapi tantangan digital di masa depan. Hal ini kemudian bisa menjamin meningkatkan kepercayaan publik terhadap integritas Pilkada 2024.


*Penulis adalah Dosen Administrasi Publik Universitas Nusa Cendana Kupang

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA