Sekolah Virtual, ‘New Normal’, dan Dilema Daerah Tertinggal

Oleh: Louis Jawa*

“Saya lebih memilih berhadapan dengan virus ini walaupun nyawa taruhannya, daripada berdiam diri dan bersembunyi dan kemudian masyarakat mati karena kelaparan. NTT ini daerah termiskin, oleh karena itu pola pikir saya selalu berpikir sebagai orang miskin. Dan ciri khas orang miskin itu pasti akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup,” Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat lewat Siaran Pers 26 Mei 2020

***

Gerakan ‘New Normal’ tidak lama lagi (15 Juni 2020) akan menggebrak kekakuan dan ketakutan masyarakat, ketika kepanikan dan kebingungan harus dientas lebih tegas sebagaimana keberanian kepemimpinan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) beserta jajaran birokrasinya.

Satu hal yang mengagumkan, yang saya temukan dalam diri Gubernur NTT saat ini adalah keberanian dan ketegasannya untuk membangun salah satu provinsi termiskin menjadi sebuah provinsi ‘kuda hitam’ di antara provinsi-provinsi lainnya.

Dalam salah satu kesempatan perjumpaan jajaran pemerintahan, gubernur dengan tegas menyebut dirinya sebagai ‘Profesor Penjahat’, sebagai sebuah imperasi bagi dunia kehidupan masyarakat NTT yang masih dikuasai preman-preman pencuri yang merugikan masyarakat.

Saya lebih memilih ‘Profesor Pemberani’ untuk menggantikan ‘Profesor Penjahat’, karena keberanian dan ketegasan seorang pemimpin sangatlah dibutuhkan untuk membangun sebuah daerah tertinggal, yang perlu didobrak dan digebrak lebih kuat lagi.

Pada bagian lain, Gubernur menegaskan imperasi iman yang mesti selaras dengan pembangunan, antara doa-doa dan kesalehan dengan kekuatan untuk bangkit dalam pembangunan provinsi NTT. Kepemimpinan saat ini hendak membangun perekonomian yang kuat di tengah ketakutan pemerintah kabupaten/kota pada pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19).

Senada dengan gerakan nasional di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat  membangun sebuah optimisme yang berani, yang secara kasat mata, ditampakkan dalam ketegasan dan kesungguhan untuk memulai sebuah titik mulai yang tidak mudah untuk zona nyaman yang enggan bergerak maju.

Saya memfokuskan gagasan ini pada salah satu sektor kehidupan, yakni dunia pendidikan, tepatnya persekolahan pada tingkat dasar dan tingkat menengah. Sejauh mana gerakan ‘New Normal’ bisa diterapkan dengan metode yang efektif dan efisien sesuai dengan protokol kesehatan WHO dan Gugus Pencegahan Covid-19.

Lantas bagaimana dengan dunia pendidikan kita? Sudah siapkah kita memberlakukan gerakan ‘New Normal’ bagi sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga menengah, dengan jumlah massal? Apakah kebijakan shift secara bergantian tidak berbahaya bagi kesehatan anak-anak dan remaja? Apakah kebijakan belajar dalam jaringan (Daring) sudah sesuai dengan konteks pemerataan akses internet di seluruh wilayah NTT?

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dalam acara Selamat Pagi Indonesia stasiun MetroTV (27 Mei 2020) mengingatkan pentingnya perhatian pada kesehatan anak pada masa normal yang baru. Dengan tajuk ‘New Normal’, Sekolah Kapan Kembali Normal, Retno Listyarti mengungkapkan tiga hal ini.

Pertama, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) harus secara jeli memetakan skenario persekolahan dengan standar risiko yang aman bagi anak sekolah. Kemendikbud tidak boleh lepas tangan pada rancangannya sendiri, meskipun keputusan normal kembali melibatkan Gugus Pencegahan Covid-19 dan Kementerian lainnya.

Kedua, sekolah bisa menjadi klaster baru penyebaran virus. China menerapkan persekolahan setelah 10 hari bersih dari virus, sebagai uji coba pertama dengan standar risiko keamanan yang tinggi. Indonesia dengan konteks penyebaran yang beragam tidak boleh gegabah memulai sekolah.

Berdasarkan data KPAI, hanya 18 persen daerah yang relatif aman untuk memulai sekolah. Sedangkan 89 persen daerah belum bisa memulai pembelajaran normal di sekolah.

Ketiga, skenario yang memungkinkan untuk memulai sekolah terbagi dalam tiga, yakni pertengahan Juli (tanggal 13), pertengahan September  dan awal Januari 2021.

Untuk tahun ajaran ini, sekolah akan berakhir antara tanggal 15 sampai 20 Juni dan lazimnya akan dimulai pada 13 Juli. Skenario 13 Juli ini masih jauh dari aman, dan pemerintah setempat harus menggandeng ahli penyakit menular, Ikatan Dokter Anak dan pakar kesehatan untuk mempertimbangkan kemungkinan yang paling baik.

Sekolah Virtual (Virtual Schooling) menjadi satu-satunya pilihan terbaik dari pelbagai kemungkinan terbaik. Memaksakan pembelajaran massal dengan kontak fisik hanya melahirkan mutasi virus yang lebih mematikan dari yang sebelumnya.

Sekolah virtual, mengandaikan ketersediaan sarana komunikasi yang memadai beserta jaringan yang baik. Sekolah virtual tidak saja belajar dalam jaringan (Daring), melainkan sekolah dengan penguasaan teknologi canggih dengan alat pintar.

Beberapa waktu lalu, media massa kita mengisahkan situasi perekonomian membuat orang tua harus memilih untuk memiliki alat pintar seperti HP Android ataukah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebuah cerminan retak tentang idealisme virtualisasi dunia pendidikan dengan situasi konkret kehidupan masyarakat.

Bonefasius Zanda, kolumnis muda, guru SMAK Regina Pacis pernah mengkritik kehidupan provinsi kita, di satu sisi, berbangga atas terpilihnya anak tanah NTT sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkoinfo), di sisi lain tanahnya sendiri masih tergolong sebagai daerah dengan akses internet paling sulit.

Ironi kebanggaan dan kenyataan, ketika hidup ini tetap sama, dan tidak bisa mengandalkan kebanggaan semata.

Sekolah virtual hadir dalam sebuah tradisi masyarakat dengan pemaknaan hidup melalui perjumpaan fisik, tradisi kehidupan yang normal, demikian menyebutnya.

Keberanian dan ketegasan Gubernur VBL, hanya bisa berdampak ketika dunia birokrasi sanggup menerjemahkan dan menerapkan visi misi kepemimpinannya. Praksis, birokrasi dinas pendidikan kita harus cerdas menyikapi skenario terbaik persekolahan, dan tidak menjadi gagap manajerial ketika metode pembelajaran harus menjadi lebih virtual.

Yang ada hanyalah sebuah imperasi penjabat yang begitu hebat menuliskan pada surat edaran pemerintah, tentang tiga metode pembelajaran tanpa lebih jeli memetakan analisis konkret kehidupan masyarakat NTT.

Yang ada hanyalah kepongahan penjabat yang karena berada di ibu kota pemerintahan, mengirimkan instruksi, seolah-olah NTT ini sejahtera dan terjangkau internet semuanya. Rumusan birokrasi ini memang menjadi pekerjaan rumah bagi seorang VBL di tengah ambisi besarnya untuk mengubah provinsi, yang selalu dicap miskin dan terkebelakang.

‘Profesor Pemberani’ harus bisa menghajar birokratisme NTT dengan godam keperkasaan, tanpa kepentingan politis dan bisnis tertentu, seperti industri pertambangan yang pernah dimoratorium, pada waktu silam.

*Pastor Desa, tinggal di Manggarai, Flores, NTT

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA