Larantuka, Ekorantt.com – Masyarakat Desa Lewobele dan Desa Sirinuho di Kabupaten Flores Timur mengadakan upacara rekonsiliasi dan perdamaian secara adat di Lango Belen Ama Kotẽ atau rumah besar suku Koten di Desa Lewobele, Senin (01/06/2020).
Seremonial perdamaian adat tersebut dilakukan untuk mengakhiri konflik antara warga kedua desa yang terjadi sejak tahun 2019 lalu. Konflik bermula dari tawuran antara orang muda kedua desa akibat minum minuman keras.
Konflik setahun silam ini belum diselesaikan secara baik. Akibatnya, orang muda kedua desa masih menyimpan dendam dan saling jaga antar-kampung.
Dendam antara orang muda kedua desa ini berbuntut panjang hingga sekelompok anak muda Desa Lewobele menganiaya seorang staf Desa Sirinuho hingga patah tulang pada Senin (22/05/2020).
Disadari bahwa upacara adat perdamaian dilakukan karena kedua desa ini masih satu keturunan dan berasal dari satu rumpun yakni Kakan Leworook.
Ritual adat dipandang perlu demi memulihkan kesalahan yang telah dilakukan selama konflik terjadi.
“Desa Lewobele dan Desa Sirinuho itu dari dulu sudah kawin mawin. Kampung kakak dan adik, dengan Kakannya adalah Kakan Leworook. Kedua kampung ini dulu adalah kampung sekutu perang,” jelas Kepala Suku Ama Koten Lewobele , Mikael Wuring Koten saat dikonfirmasi Ekora NTT.
“Ada beberapa ritual yang belum kami lakukan untuk menutup perang hingga saat ini. Karena itu roh-roh yang kami minta bantuan saat perang marah karena kami belum lakukan ritual tutup. Maka akibatnya kami sesama kampung kakak-adik ini saling baku pukul. Acara adat ini dibuat untuk menutup kesalahan adat yang belum kami lakukan antar-kedua desa,” tambahnya.
Menariknya, upacara rekonsialiasi adat yang digelar di depan halaman rumah Suku Koten Lewobele dihadiri oleh orang muda kedua desa. Masyarakat, tetua adat, dan unsur pemerintah dua desa juga berbondong-bondong datang sambil tetap mengenakan masker.
Tokoh masyarakat kedua desa berikrar bahwa kedua kampung tidak akan lagi berkonflik dalam bentuk apapun. Apabila ke depannya ada yang melakukan konflik, maka akan dikenakan sanksi adat.
“Kalau ada kacau lagi. Dia akan kasih buat adat, siapkan kambing dan babi untuk kasih makan warga kedua kampung. Kalaupun nanti upacara adat damai dibuat, tapi proses hukum harus tetap jalan biar ada tobat,” tegas Mikael Koten.