Meninjau ASG, Membaca Pendidikan Tinggi

Oleh: Paul Ama Tukan*

Pada Sabtu (15/10/2022), P. Dr. Paul Budi Kleden, SVD  salah satu teolog dan ilmuwan NTT membawakan seminar internasional bertema “Ajaran Sosial Gereja dan Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia” bertempat di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero-Maumere.

Pater Budi yang juga adalah pemimpin kongregasi religius Katolik SVD sedunia itu mempresentasikan Tantangan Pendidikan Tinggi di Indonesia hari-hari ini dari perspektif Ajaran Sosial Gereja (ASG).

ASG: Tanggung Jawab Sosial dan Ekologis

“Gereja bersifat sosial tidak hanya karena Gereja adalah salah satu struktur sosial tetapi karena Allah Tritunggal yang diimani itu adalah Allah yang sosial, Allah yang memotivasi kita untuk bersolider,” demikian basis konseptual mengapa Gereja bersifat sosial.

Selain itu, ASG sebenarnya adalah intervensi Gereja terhadap ketidakadilan dan eksploitasi alam yang begitu masif. ASG adalah tanggung jawab sosial serentak tanggung jawab ekologis.

ASG dapat dikatakan sebagai corpus dari semua dokumen Vatikan yang menjadi praksis iman secara konkret. Budi menegaskan, praktek iman dewasa ini cenderung terjebak dalam individualisme akut. Orang beriman hanya mau selamat sendiri-sendiri tanpa bersolider dengan yang lain; sesama, dan lingkungan di mana ia hidup.

Karena itu, ASG sebenarnya menjadi titik pijak praktek beragama yang menawarkan humanisme integral; kemanusiaan yang peka terhadap “yang lain” (sesama dan alam ciptaan).

Secara historis, dokumen awal ASG dimulai ketika terbitnya ensiklik Rerum Novarum yang ditulis oleh Paus Leo XIII pada 1891. Dokumen ini menjadi langkah awal Gereja merespons persoalan kepincangan dunia dari banyak dimensi; sosial, politik, ekonomi, dll. Gereja mulai keluar dari sekedar kesalehan religius dan ritualisme dogmatis untuk menjangkau dan menanggapi problematik sosial.

Perlu dicatat, Ensiklik Rerum Novarum diterbitkan 24 tahun setelah karya Das Kapital Karl Marx (1818-1883). Marx adalah filsuf dan sosiolog yang terkenal karena karyanya memicu berbagai revolusi ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Marx menanggapi persoalan sosial di mana terjadi disparitas sosial antara kaum buruh dan pemilik modal.

Karyanya tersebut membangkitkan kesadaran bagi kaum buruh akan struktur sosial-ekonomi yang menindas; para pemilik modal semakin kaya dan para buruh yang miskin akan tetap miskin kendati bekerja keras.

Kesadaran itulah yang membangkitkan perlawanan kaum buruh untuk membebaskan dirinya dari penghisapan para kapitalis. Ensiklik Rerum Novarum, dengan demikian tidak lain adalah suara etis-profetis perlawanan versi Gereja untuk menentukan keberpihakannya di tengah situasi ketidakadilan dan krisis kemanusiaan. Di sini, terlihat komitmen Gereja terhadap humanisme dari sisi dimensi sosial.

Jika Rerum Novarum menjadi titik pijak ASG, maka dokumen Gereja seperti Laudato Si dan Fratelli Tutti dari Paus Fransiskus adalah keberlanjutan suara profetik sosial Gereja dimaksud. Laudato Si adalah ensiklik yang menanggapi masalah ekologis sedangkan Fratelli Tuti adalah ensiklik yang menanggapi persoalan kemanusiaan seperti pengungsian, terorisme, kekerasan dan migrasi dengan cara membangun rasa persaudaraan universal.

Pater Budi mengatakan, Ajaran Sosial Gereja mengajak kita untuk melampaui kesempitan dan kepicikan yang membatasi ruang pergaulan kita untuk menjangkau yang lain; yang berbeda warna kulit, asal usul, agama, kebangsaan, dan etnis.

Karena itu, menurutnya, ada empat prinsip utama ASG yaitu Martabat manusia, Bonum Commune (kebaikan bersama), Subsidiaritas (melawan paternalisme dalam kehidupan sosial di mana kelompok-kelompok minor selalu diintervensi oleh struktur yang lebih superior) dan Solidaritas (keluar dari diri untuk menjangkau dan merangkul yang lain).

Pendidikan Nilai dan Pragmatisme Pendidikan

Jika ASG dipakai sebagai ‘pisau’ analisis Pendidikan Tinggi di Indonesia, maka kita sebenarnya menghadapi dilema serius; pendidikan nilai di satu sisi dan pragmatisme pendidikan di lain sisi. Di sini, Pater Budi membeberkan temuan internasional Federation of Catholic Universities (2012-2014) yang menunjukan, hanya terdapat 1,2 % mahasiswa yang memiliki minat terhadap persoalan sosial-politik.

Jika dihubungkan dengan komitmen Gereja dalam ASG, temuan ini tentu sebuah keprihatinan, mengingat Perguruan Tinggi Katolik adalah perpanjangan tangan Gereja merespons persoalan-persoalan konkret dalam tatanan sosial-politik masyarakat. Persis pada poin ini, pragmatisme pendidikan mendapat tantangan serius.

Temuan ini adalah sebuah awasan bagi pendidikan tinggi di Indonesia untuk tidak mendepolitisasi mahasiswanya terlibat dalam persoalan sosial-politik. Sebaliknya, Pendidikan Tinggi mesti memotivasi bahkan memfasilitasi mahasiswanya merespons persoalan sosial-politik secara intens.

Di samping itu, dari temuan yang sama, hanya 25% mahasiswa yang berkomitmen menciptakan suatu dunia yang lebih adil. Mayoritas menunjukkan bahwa yang diharapkan dari universitas tempat mahasiswa belajar adalah kualifikasi untuk bekerja.

Persis di sini letak kepincangan pendidikan; bahwa hasrat akan efisiensi sangat mendominasi motivasi para pelajar dan bukan pada internalisasi nilai-nilai. Jika prinsip efisiensi yang diutamakan maka Perguruan Tinggi hanya menjadi mesin yang memproduksi manusia untuk bekerja. Tentu, tak jauh bedanya dengan logika pasar.

Absennya internalisasi nilai-nilai akan berdampak pada degradasi nilai etis-moral dan profesionalisme yang sering terjadi dalam dunia kerja dan birokrasi. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah dampak konkret dari absennya internalisasi nilai-nilai untuk menyebut beberapa contoh.

Ada juga 2 tantangan lain dalam Pendidikan Tinggi Indonesia yang disebutkan Pater Budi yakni kualitas Pendidikan Tinggi di tengah persaingan global dan Pendidikan Tinggi menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Dari segi akses, pendidikan Indonesia terbilang sangat menjangkau tetapi kualitas personal para pelajar tidak sebanding dengan kemajuan akses tersebut.

Hal ini terbukti dari minimnya manusia yang bekerja profesional dan manajerial. Dalam Stars University Ranking pada 2018, demikian Pater Budi menjelaskan, Pendidikan Tinggi Indonesia menempati urutan ke 250-an. Sedangkan dalam konteks ASEAN, Indonesia menempati urutan ke-9 kendati dari segi akses, Indonesia terbilang maju ketimbang negara-negara lain.

Dalam konteks revolusi industri 4.0, tantangan Pendidikan Tinggi menyasar antara lain pada persoalan kebebasan dan tanggung jawab di tengah determinasi Big Data. Jika semua aspek kehidupan pada akhirnya menghamba pada Big Data dan semua keahlian diambil alih oleh mesin maka kebebasan manusia tentu mesti direfleksikan secara serius.

Manusia dengan dirinya yang integral ditantang. Di samping itu, pendidikan digempur habis-habisan oleh tendensi selfie dan selfishness yang boleh jadi menjebak pendidikan pada superfisialitas, kedangkalan karena mengejar popularitas.

Laudato Si Action Platform dan Budaya E.P.I.C

Pater Budi pada bagian akhir pemaparannya menganjurkan Pendidikan Tinggi untuk terlibat dalam Laudato Si Action Platform. Sudah ada 153 Universitas di dunia yang berkomitmen untuk menjalankan Laudato Si Action dengan beragam agenda kerja nyata.

Namun, di Indonesia baru ada 3 universitas yang menyatakan siap; Universitas Sanata Dharma, Univeristas Soegijapranata, dan Universitas Widya Mandira Kupang. Persis, di NTT baru ada satu perguruan tinggi yang menyatakan siap.

Platform yang berjangka waktu 7 tahun itu didasarkan pada 4 pilar: Doa Pribadi dan Bersama, Edukasi, Aksi dan Advokasi (membangun tindakan yang lebih sistematis dan konsisten). Perguruan Tinggi mesti secara responsif berkomitmen pada persoalan sosial yang konkret termasuk terlibat dalam Laudato Si Action.

Pater Budi juga mengutip P. Antonio Pernia, SVD tentang bagaimana Gereja mendengar kaum milenial untuk merumuskan model keterlibatannya yang tepat sasar dan sadar konteks. Dari hasil temuannya, Antonio Pernia menyebut bahwa kaum milenial melekat dengan budaya EPIC.

Demikian E.P.I.C itu dijabarkan sebagai berikut. Experience: karakteristik milenial yang lebih menyukai pengalaman. Orang memang tertarik pada teori tetapi lebih menyukai teori yang dikaitkan dengan pengalaman.  Teori menjadi menarik kalau mereka sendiri telah mengalaminya. Partisipatory: terlibat dan menjadi bagian dari sebuah proses pengambilan keputusan dan keterlibatan dalam proses belajar. Sebuah karakteristik yang condong pada keaktifan dan bukan pada kepasifan.

Image Driven: lebih terdorong untuk berpikir dan merasa melalui gambar-gambar, analogi dan cerita-cerita. Connected: milenial adalah orang yang terkoneksi, terhubung lewat media. Jika Rene Descartes dengan adagium terkenalnya Cogito Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada) maka milenial dewasa ini memegang prinsip Colligo Ergo Sum; saya terhubung maka saya ada.

Dengan basis riset ini, ASG yang hanya dipandang sekedar seruan moral itu dapat didaratkan sesuai situasi zaman. Tinjauan ASG yang komprehensif dari Pater Budi sepatutnya mendorong Perguruan Tinggi (baik Katolik maupun non-Katolik kendati merumuskan ASG dengan cara yang berbeda tetapi dengan spirit yang sama) mengevaluasi geliatnya terutama merombak kepasifan terhadap persoalan sosial-politik dan mulai tergerak untuk menentukan keberpihakannya lewat aksi-aksi konkret.

*Penulis adalah Anggota KMK dan Diskusi Filsafat Ledalero

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA