Environmental Accounting, Jalan Alternatif untuk Keberlanjutan

Oleh: Paul Lamawitak

Gerakan postmodernisme memberikan sudut pandang yang berbeda tentang banyak hal termasuk dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kemunculan aliran posmodernisme menjadi titik awal gerakan yang mengubah tatanan tradisi intelektual yang sudah mapan.

Salah satu bidang ilmu yang banyak mendapat sentuhan posmodernisme adalah ilmu akuntansi. Para pembelajar akuntansi sudah pasti paham tentang konten dan esensi dasar dari belajar akuntansi; ilmu yang penuh dengan angka dan hitungan matematis.

Tetapi beberapa dekade terakhir ini, terdapat banyak riset yang menunjukkan sisi lain dari ilmu akuntansi.

Meminjam kata-kata Sukoharsono bahwa justifikasi kebenaran dengan timbangan matematis-statistikal mendapat tinjauan baru dari sudut pandang yang lebih ‘kontekstual, naratif dan transendetal’ (Sukoharsono, 2010).

Tulisan ini mencoba memberikan pertimbangan dan alternatif kebijakan berdasarkan semangat accounting movement; pergeseran konsentrasi akuntansi yang bukan hanya sebagai ilmu yang matematis-kalkulatif tetapi juga melakukan pendekatan yang lebih kontekstual, naratif dan transendental.

Untuk itu, ada beberapa point of view yang menjadi konsentrasi dalam tulisan ini yakni Triple Botton Line, konsep green accounting, dan kontekstualisasi gerakan Environmental Accounting.

Triple Bottom Line

Konsep Triple Bottom Line (TBL) adalah sebuah konsep ekspansi pembelajaran tentang akuntansi konvensional; dari single bottom line kepada konsep yang lebih ekologis-humanis yaitu konsep triple bottom line. Peletak dasar konsep TBL ini adalah John Elkington (Sukoharsono, 2010).

Terdapat tiga unsur utama dari konsep TBL ini yakni, pertama: profit. Akuntansi selalu berhubungan dengan dunia bisnis.

Dalam dunia bisnis, tujuan pertama yang hendak dicapai adalah profit atau keuntungan. Akuntansi, kemudian menjadi salah satu instrumen yang digunakan untuk mengukur dan menjelaskan keadaan bisnis dari sisi keuangan (single botton line).

Akuntansi hanya digunakan untuk menjelaskan atau menginformasikan posisi keuangan sebuah organisasi bisnis. Dengan konsep TBL, maka akuntansi tidak hanya sekadar sebagai instrumen-finansial tetapi juga sebagai instrumen-naratif tentang manusia dan lingkungan.

Unsur kedua adalah people. Selain aspek profit, manusia menjadi perhatian berikutnya. Bahwa aktivitas bisnis tidak hanya sekedar mengejar keuntungan semata.

Ada aspek lain yang perlu mendapat perhatian yaitu kesejahteraan manusia. Manusia perlu mendapat perhatian dari sisi ekonomi, sosial dan lingkungan. Kesejahteraan manusia tidak hanya diukur dari kemapanan ekonomi tetapi juga dari lingkungan yang sehat.

Unsur yang ketiga adalah planet. Konsep planet dalam hal ini adalah keberlanjutan lingkungan hidup (Sukoharsono, 2010).

Unsur ketiga ini yang menjadi dasar atau konsentrasi berbagai riset dalam bidang akuntansi dan juga ekonomi pada umumnya yang kemudian dikenal dengan green accounting.

Ilmu akuntansi mengambil peran dan tanggung jawab untuk memastikan keberlanjutan (sustainibilitas) alam-lingkungan yang sehat. Bumi sebagai locus prime; tempat utama dan pertama bagi eksistensi semua makhluk hidup.

Green Accounting

Manifestasi kesadaran akan pentingnya dimensi lain akuntansi dalam menjawab berbagai permasalahan dunia adalah dengan munculnya konsep dalam akuntansi yang disebut green accounting.

Konsep ini mulai berkembang di Norwegia sejak tahun 1970-an. Mengalami perkembangan hingga tahun 1999.

Badan Lingkungan Hidup Jepang mengeluarkan panduan akuntansi lingkungan (environmental accounting guidelines) dan dipraktikkan secara masif pada semua perusahaan di Jepang (Pujayanti, 2012).

Nada dasar konsep akuntansi lingkungan adalah realitas bahwa industri atau perusahaan hanya mengejar keuntungan dan lantas mengabaikan faktor lingkungan (Pujayanti, 2012).

Secara makro, gerakan ekonomi hijau adalah satu gerakan bersama seluruh negara dunia. Kesadaran akan krisis planet (planetary crisis) membangunkan gerakan kolektif para bangsa untuk menentukan arah kebijakan demi pemulihan planet/lingkungan (Keliat et al., 2022).

Gagasan pelestarian lingkungan dalam kajian akuntansi kemudian mengambil ruang pada akuntansi lingkungan (environmental accounting).

Environmental Accounting dan Spiritualitas Ekologis

Istilah Environmental Accounting (EA) dalam literatur akademik dapat diartikan sebagai akuntansi lingkungan. Dalam pandangan yang lebih teknis, EA adalah bagaimana setiap organisasi yang melakukan aktivitasnya (terutama aktivitas bisnis) perlu memasukkan biaya untuk menjaga dan memulihkan lingkungan yang rusak akibat aktivitas bisnis.

Tak dapat dimungkiri bahwa aktivitas bisnis dalam mengeksplorasi bahan mentah atau bahan baku telah mendatangkan malapetaka bagi lingkungan. Banyak hutan yang terancam keberlanjutannya.

Untuk itu, kehadiran EA hendaknya menjadi titik terang baru yang bisa memberikan secercah harapan akan keberlanjutan alam lingkungan yang layak huni. Ada beberapa implikasi praktis yang bisa dilakukan atau paling kurang menjadi perhatian para pengambil keputusan.

Pertama, seruan profetis untuk kelestarian lingkungan harus terus dilakukan oleh semua pihak (pemerintah dan masyarakat).

Seruan dan ajakan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup bisa dilakukan pertama dari urusan sampah rumah tangga. Bagaimana masing-masing individu memiliki kesadaran untuk mengelola dan mengolah sampah rumah tangga dengan lebih higienis.

Kedua, gerakan untuk melestarikan lingkungan bisa digalakkan dengan cara menanam pohon dan melestarikan hutan lindung untuk memastikan ketersediaan air tanah. Ini kelihatan sepele dan sudah sering dilakukan oleh berbagai kelompok atau individu.

Tetapi terkadang gerakan ini hanya sebuah gerakan tanpa muatan spiritualitas ekologis yang kuat. Yang muncul hanyalah gerakan musiman tanpa ada aksi keberlanjutan seperti memastikan bahwa setiap pohon yang ditanam telah tumbuh.

Ketiga, biaya untuk pelestarian lingkungan hendaknya perlu diperkuat oleh semua pihak terutama oleh pemerintah dan organisasi bisnis. Dengan sokongan dana yang lebih besar, setidaknya dapat memberikan sinyal yang baik terhadap berbagai gerakan pelestarian lingkungan. Biaya ini dipastikan mengalir seimbang dari hulu hingga ke hilir agar ada dampak yang bisa dirasakan dari proses hilirisasi ini.

Keempat, kesadaran ekologis yang dibangun hendaknya berdasar pada spiritualitas religius. Menyentuh kesadaran ekologis dengan pendekatan spirit religius bisa menjadi alternatif bagi upaya membangun kesadaran ekologis yang lebih natural dan berakar.

Aspek yang ditekankan dalam spiritualitas akuntansi lingkungan adalah cinta yang tulus, kejujuran, kesadaran transendental (Sukoharsono, 2010).

Spiritualitas ini bisa dijadikan sebagai landasan dalam upaya membangun kesadaran untuk mencintai lingkungan dengan cinta yang tulus demi keyakinan transendental terhadap Sang Pencipta untuk menjaga alam lingkungan secara lebih bertanggung jawab. Gerakan ini menjadi katalisator untuk memastikan keberlanjutan (sustainabilitas) alam lingkungan yang layak huni.


*Dosen di Program Studi Akuntansi Universitas Nusa Nipa Maumere

spot_img
spot_img
TERKINI
BACA JUGA